Biografi Imam Syafi’i
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy- Syafi`i atau Imam Syafi’i adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina, pada tahun yang sama wafat Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar Sunni Islam dan beliau wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H atau tahun 809 M pada usia 52 tahun
Beliau dinamai ayahnya, Idris bin Abbas ketika mengetahui bahwa istrinya, Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung. Idris bin Abbas berkata, “Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan aku namakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib”.
Ayah Imam Syafi’i meninggal setelah dua tahun kelahirannya, lalu ibunya membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyang. Sejak kecil beliau cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai al-Ashma’i berkata, “Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris, ia adalah imam bahasa Arab”.
Perjalanan pendidikan di Makkah, beliau berguru kepada Muslim bin Khalid Az Zanji, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al- Ayyad dan beberapa ulama lainnya pada bidang fikih.
Saat usia 20 tahun, beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas pada bidang fikih. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Beliau sangat mengagumi Imam Malik di Al- Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Hal itu terlihat ketika menjadi Imam, beliau pernah menyatakan, “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”
Selain kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada beberapa ulama besar lainnya di Madinah seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi.
Setelah belajar di Madinah, beliau melanjutkan perjalanan ke Yaman dan belajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Kemudian beliau melanjutkan belajarnya kepada Muhammad bin Al- Hasan, seorang ahli fiqih, Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi di negeri Irak.
Setelah itu beliau bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Darinya, beliau menimba ilmu fikihnya, ushul maẓhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis perkataan lamanya (Qaul Qadim) dan di Mesir pada tahun 200 H beliau menuliskan perkataan baru (Qaul Jadid).
Kisah Imam Syafi’i Yang Perlu Diteladani
Tidak sewenang-wenang meskipun kepada murid
Suatu hari Imam Syafi’i yang saat itu berada di Mesir memanggil seorang muridnya yang bernama Rabi’ bin Sulaiman. Imam Syafi’i berkata, “Wahai Rabi’, Ini Surahku. Pergilah dan sampaikan Surah ini kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal). Sesampai di sana kamu tunggu jawabannya dan sampaikan padaku”.