Herman Willem Daendels adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat dari tahun 1808 hingga 1811. Pengangkatan Daendels sebagai gubernur jenderal di Nusantara adalah bagian dari strategi politik dan militer Napoleon Bonaparte, penguasa Prancis saat itu, untuk memperkuat pertahanan Belanda di Jawa sebagai basis melawan Inggris. Meskipun di awal pemerintahannya Daendels dikenal sebagai seorang pemuda demokratis, ia kemudian berubah menjadi sosok otoriter yang menerapkan kebijakan-kebijakan kontroversial selama masa jabatannya.
Latar Belakang Pengangkatan Daendels
Pengangkatan Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara pada tahun 1808 merupakan usulan dari Napoleon Bonaparte yang mengangkat adiknya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Belanda pada tahun 1806. Tugas utama Daendels di Indonesia adalah memperkuat pertahanan Belanda di Pulau Jawa melawan serangan pasukan Inggris, yang kala itu menguasai India. Sebagai tambahan, Daendels juga diinstruksikan untuk mereformasi pemerintahan yang korup peninggalan VOC dan memperbaiki administrasi pemerintah di Nusantara.
Kebijakan Daendels di Bidang Pertahanan dan Keamanan
Dalam upayanya memperkuat pertahanan Jawa, Daendels menerapkan beberapa kebijakan yang berfokus pada pembangunan infrastruktur militer dan peningkatan kekuatan pertahanan:
- Membangun Benteng dan Pangkalan Angkatan Laut: Daendels mendirikan benteng-benteng pertahanan baru serta pangkalan angkatan laut di Anyer dan Ujungkulon. Tujuannya adalah untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris.
- Meningkatkan Jumlah Tentara: Ia meningkatkan jumlah tentara dengan merekrut orang-orang pribumi sehingga jumlahnya mencapai sekitar 18.000 orang.
- Pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan: Salah satu proyek terbesar Daendels adalah pembangunan Jalan Raya Pos (Grote Postweg), yang membentang sepanjang 1.000 km dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur. Jalan ini bertujuan untuk memperlancar angkutan perbekalan antar kubu pertahanan. Namun, proyek ini menggunakan sistem kerja paksa (kerja rodi) yang menyebabkan penderitaan besar bagi masyarakat pribumi, dengan banyak pekerja menderita kelaparan, penyakit, bahkan kematian.
Kebijakan di Bidang Pemerintahan
Daendels juga melakukan berbagai reformasi di bidang pemerintahan untuk memperkuat kontrol Belanda atas wilayah Jawa. Kebijakan tersebut meliputi:
- Reorganisasi Pemerintahan Lokal: Pulau Jawa dibagi menjadi sembilan daerah yang masing-masing dipimpin oleh seorang residen. Kekuasaan raja-raja lokal dibatasi secara ketat, sementara para bupati dijadikan pegawai pemerintahan yang digaji.
- Pembentukan Pengadilan: Daendels mendirikan pengadilan baru untuk memperbaiki sistem peradilan yang korup di masa VOC. Pengadilan ini dibagi menjadi dua jenis: pengadilan untuk orang Jawa yang menggunakan hukum adat Jawa, dan pengadilan untuk orang Eropa, Cina, dan Arab yang menggunakan hukum perundang-undangan Hindia Belanda.
- Penghapusan Kerajaan Banten dan Cirebon: Daerah ini dinyatakan sebagai wilayah pemerintahan kolonial, mengurangi otonomi kerajaan lokal.
Kebijakan di Bidang Sosial dan Ekonomi
Untuk mendukung keuangan kolonial, Daendels menerapkan sejumlah kebijakan sosial dan ekonomi yang bersifat eksploitasi terhadap penduduk pribumi:
- Penyerahan Wajib Hasil Pertanian: Rakyat pribumi diwajibkan menyerahkan sebagian hasil pertanian mereka kepada pemerintah kolonial.
- Penjualan Tanah kepada Swasta: Daendels memperdagangkan tanah-tanah kolonial kepada pihak swasta untuk meningkatkan pemasukan negara.
- Pemungutan Pajak yang Tinggi: Pajak yang berat dikenakan kepada rakyat pribumi, yang seringkali memberatkan dan menyebabkan kesulitan ekonomi.
- Peningkatan Produksi Tanaman Komoditas: Ia mendorong penanaman tanaman komoditas yang laku diperdagangkan di pasar internasional untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi pemerintah kolonial.
Pemerintahan yang Otoriter dan Dampaknya
Meskipun Daendels mengadopsi kebijakan-kebijakan yang bertujuan memperkuat pertahanan dan memperbaiki administrasi, gaya pemerintahannya yang militeristik dan otoriter menyebabkan banyak ketidakpuasan. Ia kerap bertindak sebagai diktator, memaksakan kehendaknya melalui kekerasan dan ancaman. Kebijakan kerja paksa, pembatasan kekuasaan lokal, dan eksploitasi ekonomi menyebabkan penderitaan besar di kalangan rakyat pribumi dan menuai banyak kritik, baik dari penduduk lokal maupun pejabat Belanda.
Akhir Jabatan dan Dampak Setelahnya
Pemerintahan Daendels berakhir pada Mei 1811 setelah pemerintah Belanda memutuskan untuk menariknya dari Indonesia. Ia digantikan oleh Gubernur Jenderal Jansens. Namun, hanya beberapa bulan setelah penggantiannya, pasukan Inggris yang dipimpin oleh Lord Minto mendarat di Batavia pada Agustus 1811. Jansens menyerah kepada Inggris pada 18 September 1811, yang ditandai dengan Perjanjian Tuntang, di mana Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Indonesia kepada Inggris. Hal ini menandai awal dari periode kolonial Inggris di Indonesia.
Kesimpulan
Herman Willem Daendels meninggalkan warisan yang kompleks selama masa jabatannya sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara. Meskipun ia memperkenalkan beberapa reformasi administratif dan infrastruktur yang signifikan, metode pemerintahan yang otoriter dan kebijakan eksploitasi yang diterapkannya membawa penderitaan besar bagi rakyat Indonesia. Masa pemerintahannya yang kontroversial ini menunjukkan dampak dari pendekatan kolonial yang keras dan represif, serta mengingatkan kita akan pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan dalam mengelola pemerintahan.
Sumber:
- “Masa Pemerintahan H.W. Daendels (1808-1811): Kebijakan dan Akhir Masa Jabatannya.” SMA Negeri 13 Semarang, diakses pada 31 Agustus 2024, sma13smg.sch.id.
- “Kedatangan Daendels ke Indonesia, Begini Tujuannya.” Detik Edu, diakses pada 31 Agustus 2024, detik.com.
- “Herman Willem Daendels.” Wikipedia, diakses pada 31 Agustus 2024, id.wikipedia.org.
- “Kebijakan Daendels di Indonesia.” Kompas, diakses pada 31 Agustus 2024, kompas.com.