Islam Normatif dan Islam Historis

Islam telah berkembang dan tersebar di seluruh dunia atas usaha Ulama dalam menyebarkannya. Dakwah yang dilakukan oleh ulama melalui proses panjang untuk bisa diterima masyarakat baru. Dilihat dari sudut pandang studi agama, maka ada dua pandangan dalam kajian Islam itu sendiri. Keduanya pandangan tersebut adalah Islam dilihat dari segi normatif dan Islam dilihat dari segi historis.

Islam normatif sendiri adalah studi Islam yang kajiannya berkutat pada masalah kewahyuan, teks al-quran dan al-Hadith, melalui pendekatan doktrinal-teologis, sedangkan Islam historis sendiri adalah kajian Islam dari sudut pandang keberagamaan manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keberagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun antropologis.[1]

Pendekatan normatif juga memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fiqih (Usuliyah), ahli hukum Islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang berusaha menggali aspek legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan normatif.[2]

Menurut Abuddin Nata, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.[3]

Lebih lanjut, Islam normatif di sini adalah suatu pendekatan untuk memahami Islam dengan melalui ajaran atau doktrin-doktrin Islam. Dapat juga dijelaskan dengan pengertian lain yaitu Islam pada dimensi sakral, yang diakui adanya realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Yang tentunya sudah tercakup dalam kitab suci al-Quran dan al-Hadits.

Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.[4]