Menu Tutup

Islam Normatif dan Islam Historis

Islam telah berkembang dan tersebar di seluruh dunia atas usaha Ulama dalam menyebarkannya. Dakwah yang dilakukan oleh ulama melalui proses panjang untuk bisa diterima masyarakat baru. Dilihat dari sudut pandang studi agama, maka ada dua pandangan dalam kajian Islam itu sendiri. Keduanya pandangan tersebut adalah Islam dilihat dari segi normatif dan Islam dilihat dari segi historis.

Islam normatif sendiri adalah studi Islam yang kajiannya berkutat pada masalah kewahyuan, teks al-quran dan al-Hadith, melalui pendekatan doktrinal-teologis, sedangkan Islam historis sendiri adalah kajian Islam dari sudut pandang keberagamaan manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keberagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun antropologis.[1]

Pendekatan normatif juga memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fiqih (Usuliyah), ahli hukum Islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang berusaha menggali aspek legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan normatif.[2]

Menurut Abuddin Nata, pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.[3]

Lebih lanjut, Islam normatif di sini adalah suatu pendekatan untuk memahami Islam dengan melalui ajaran atau doktrin-doktrin Islam. Dapat juga dijelaskan dengan pengertian lain yaitu Islam pada dimensi sakral, yang diakui adanya realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Yang tentunya sudah tercakup dalam kitab suci al-Quran dan al-Hadits.

Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.[4]

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenya­taan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menam­bah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama.[5]

Dengan mempelajari Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits kita akan memperoleh pelajaran-pelajaran yang orisinil. Dalam tingkat normatif Islam meliputi berbagai hal, diantaranya adalah tauhid dan aqidah sebagai inti dari ajaran Islam itu sendiri. Selanjutnya akan normatifitas mencakup hal-hal seperti fiqih, tasawuf dan sebagai hasil pemahaman dari teks al-Qur’an tersebut. Kaitannya dengan konteks ini, Islam dipahami menjadi sebuah agama yang diyakini masyarakat.

Dari sisi normatif, Islam dipahami sebagai sebuah keyakinan. Pertanyaan-pertanyaan atau pun jawaban-jawaban dari sebuah agama pun dipahami dengan dasar keyakinan, bukan suatu proses pemikiran yang logis. Seperti pertanyaan “siapakah yang menciptakan alam ini?” jawabannya adalah Tuhan. Jawaban tersebut termasuk jawaban agamis atau teologis bukan rasional. Karena sudah ada konsep bahwa Tuhan itu kebenaran absolut.

Berdasarkan pengertian studi Islam dalam bingkai normatif di atas yang mengatakan bahwa pemahaman agama pada teks, maka dapat diperinci ruang lingkup dalam memahami Islam sebagai berikut.

  1. Tafsir

Tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.

Al-qur’an menjadi objek pembahasan tafsir merupakan sumber agama Islam. Kitab suci ini menduduki posisi sentral, bukan hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini.

  1. Hadits

Menurut jumhur ulama’ hadits adalah segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah saw., sahabat atau tabiin baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak diikuti oleh para sahabat.[6]

Seiring dengan waktu, ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadits nampaknya masih terbuka luas terutama kaitannya dengan permasalahan dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadits yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadits-hadits yang ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadits sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, maka tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih bersifat parsial.

  1. Teologi

Secara etomologis, kata teologi diartikan ilmu agama, ilmu tentang Tuhan berkaitan dengan sifat-sifatnya, khususnya berkaitan dengan kitab suci. Sedangkan dalam arti istilah teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, sifat-sifat wajibNya, sifat-sifat mustahilNya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perbuatanya. Dengan demikian teologi adalah istilah ilmu agama yang membahas ajaran dasar dari suatu agama atau suatu keyakinan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin memahami seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang diyakininya.

Teologi, sebagaimanaa kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku –bukan sebagai pengamat- adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[7] Dalam Islam terdapat teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya muncul teologi yang bernama Khawarij dan Murjiah.

Menurut Abuddin Nata, bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamannyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.

Berdasarkan uraian di atas, Amin Abdullah berpendapat bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama.

Islam dilihat dari sudut historisitasnya juga mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan dari praktek sejarah. Sebagaimana dalam buku Islam di tinjau dari berbagai aspeknya, harun nasution menjelaskan berbagai aspek dalam Islam. Antara lain aspek ibadah, spiritual, moral, aspek sejarah, aspek politik, mistik, filsafat dan lain sebagainya. Begitu juga Fazlur rahman mengemukakan bahwa Islam memiliki aspek hukum, teologi, syari’ah, filsafat, tasawuf dan pendidikan.

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya di bahas berbagai peristiwa dengan peratian unsur tempat,waktu,objek,latar belakang,dan pelaku dari peristiwa tersebut.menurut ilmu ini,segala peristiwa dapat dilacak dengan,melihat kapan peristiwaitu terjadi,dimana,apa sebabnya,siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.[8]

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.[9] Tujuan pendekatan historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. Seringkali penelitian yang demikian itu berkaitan dengan hipotesis-hipotesis tertentu.

Melalui pendekatan historis seseorang diajak menukik dari alam idealis yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis. Maka lapangan sejarah adalah meliputi segala pengalaman manusia. Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman perisriwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari peneliti sejarah.

Dengan kata lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.

Pendekatan historis ini juga dimaksudkan diamana islam dikaji dari persefektif yang dikenal dalam ilmu-ilmu sejarah. Misalnya dalam hal ini sebuah sejarah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sejarah dipengaruhioleh masa dan cara berpikir masa itu dan seterusnya.[10]

Dengan demikian pendekatan historis dalam kajian islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.

Dengan menggunakan pendekatan sejarah ada minimal dua teori yang bisa digunakan yaitu Idealist Approach dan Reductionalitst Approach. Maksud idealist approach adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan. Sedangkan reductionalitst approach adalah seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan penuh keraguan. Seperti dijelaskan sebelumnya ada 3 teori lain yang penting di pahami dengan pendekatan sejarah, yakni: diakronik, sinkronik dan sistem nilai.

  1. Diakronik

Diakronik dalah penelusuran sejarah dan perkembangan satu fenomena yang sedang diteliti. Misalnya kalau sedang meneliti konsep  riba, menurut Muhammad Abduh diakroninya adalah harus lebih dahulu membahas kajian-kajian orang sebelumnya yang pernah membahas tentang riba.[11]

  1. Sinkronik

Sinkronik adalah kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti. Kembali pada contoh konsep riba Muhammad ‘Abduh, maka sosial kehidupan Muhammad ‘Abduh dan sosial kehidupan tokoh-tokoh yang pernah membahas fenomena yang sama juga harus dibahas.

  1. Sistem nilai

Sistem nilai adalah sistem nilai atau budaya sang tokoh dan budaya dimana dia hidup. Maka penelitian dengan teori diakroni, sinkroni dan sistem budaya adalah penelitian yang menelusuri latar belakang dan perkembangan fenomena yang diteliti lengkap dengan sejarah sosio-historis dan nilai budaya yang mengitarinya. Maka wajar kalau alat analisis ini lebih dikenal sebagai alat analisis sejarah dan atau sosial (sosiologi).

Oleh karena itu, jika kita dapat mengkaji Islam dengan melihat semua sisi dalam sejarah baik itu sebagai disiplin Ilmu atau fenomena keagamaan masyarakat, maka akan didapatkan pengetahuan tentang Islam secara komprehensif. Sebaliknya jika kita mengkaji Islam dari satu atau dua sudut pandang saja, akan dapat menimbulkan pemahaman Islam yang pincang. Sebagai contoh, memahami Islam hanya dari sejarah perkembangan, akan didapati sebuah praktek kepemimpinan pada masa kahlifah tersebut. Dan hanya menjadi sebuah pemahaman Islam bahwa Islam adalah agama yang disebarkan oleh pedang kekejaman dan kekuasaan yang sewenang-wenang.[12]

Jadi, Islam normatif dan historis masih ada kaitannya antara satu dengan yang lain, dimana dari pemahaman teologis, kemudian diperkuat dengan bukti-bukti sejarah.

Sejalan dengan pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis, ada pula ilmuan yang membuat pengelompokkan lain. Nasr Hamid Abu Zaid mengelomokkan menjadi tiga wilayah (domain).

Pertama, wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang otentik.

Kedua, pemikiran Islam yang merupakan ragam penafsiran terhadap teks asli Islam (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli Islam, seperti tafsir dan fiqh. Dan dalam kelompok ini dapat ditemukan dalam empat pokok cabang:

  1. Hukum / Fiqh
  2. Teologi
  3. Filsafat
  4. Tasawuf / Mistik

Hasil ijtihad dalam bidang hukum/fiqh muncul dalam bentuk: fiqh, fatwa dan yurispundensi (kumpulan putusan hakim), kodifikasi/unifikasi, yang muncul dalam bentuk UU (undang-undang) dan kompilasi.

Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contohnya adalah praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada, sementara muslim Indonesia meletakkan tangan di dada-nya.

Kedua pendekatan ini bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.

Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang bercorak normatif dan historis tidak selamanya akur dan sinergi. Hubungan antara keduanya seringkali diwarnai dengan ketegangan (tension) baik yang bersifat kreatif maupun destruktif (merusak). Pendekatan normatif di satu sisi merupakan pendekan yang selalu berpijak pada teks yang tertulis dalam kitab suci masing-masing agama sehingga pendekatan ini cenderung bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis.

Sementara di sisi lain, pendekatan kedua, historitas, melihat kitab suci dan fenomena keagamaan tidak melalui cara tekstualitas, namun dengan sudut pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi demensional, baik secara sosiologis, filosofis, psikologis, historis, kultur, maupun antropologis.[13]

Jenis pendekatan apa pun masih terdapat kekurangan, kelemahan masing-masing, dan jauh dari memuaskan, karena fenomena agama bersifat komplek. Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Religiositas atau keberagamaan manusia pada umumnya adalah bersifat universal, infinite (tidak terbatas, tidak tersekat-sekat), transhistoris (melewati batas-batas pagar historis-kesejarahan manusia), namun religiositas yang begitu mendalam-abstrak, pada hakikatnya tidak dapat dipahami dan tidak dapat dinikmati oleh manusia tanpa sepenuhnya terlibat dalam bentuk religiositas yang konkret, terbatas, tersekat, historis, terkurung oleh ruang dan waktu tertentu secara subjektif. Kedua dimensi religiositas tersebut, menurut M. Amin Abdullah bersifat dialektis, dalam artian saling mengisi, melengkapi memperkokoh, memanfaatkan bahkan juga saling mengkritik dan mengontrol.

Untuk meredakan ketegangan antara dua faksi pendekatan normativitas dan historisitas, Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas” dan “integrasi” yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humiliy (rendah hati), dan human (manusiawi).[14]

Berangkat dari paradigma “interkoneksitas” yang berasumsi memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi manusia, maka setiap bangunan keilmuan apa pun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kaealaman tidak dapat berdiri sendiri dalam menyatukan, saling menyapa antara satu bangunan ilmu dengan lainnya, terutama sains dan agama.[15]

Interkoneksitas atas sains dan agama dapat didekati melalui tiga persepektif: ontologis, epistimologi, dan aksiologi. Dari setiap pendekatan ini mampu menawarkan padangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru, terbuka dan dialogis serta mencairkan hubungan berbagai disiplin keilmuan agar menjadi terbuka. Walaupun begitu, tidak bisa dihindari masih adanya persinggungan antara wilayah tekstual, kebudayaan atau keilmuan, serta filsafat. Diharapkan pradigma ini mampu memberikan perubahan cara berpikir dan sikap ilmuan.

Dengan pendekatan “integrasi” keilmuan ini seolah-olah diharapkan tidak ada ketegangan, karena ada peleburan dan pelumatan yang satu kedalam yang lainnya. Baik dengan cara melebur sisi normatif-sakralis keberagamaan secara menyeluruh masuk ke wilayah “historisitas-propanitis”, atau justru sebaliknya, dengan membenamkan dan meniadakan seluruh sisi historitas keberagamaan Islam ke wilayah normatifitas-sakralitas tanpa reserve. Ini sebanarnya yang menjadi alasan M. Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas”[16]

Keberagamaan dapat diibaratkan “sinar”. Sinar tidak dapat dinikmati secara konkret oleh manusia melainkan jika sinar tersebut telah termanifestasikan dalam warna-warna tertentu (merah, jingga, kuning, biru, hijau, dsb).  Walaupun begitu, warna-warna sinar yang beraneka ragam tersebut hanya bisa dinikmati secara partikulistik. Salah satu warn yang bersifat partikulistik tidak dapat mengklaim bahwa warna merah sajalah yang paling unggul, apalagi jika klaim tersebut diikuti dengan keinginan dan tindakan ingin memerahkan seluruh yang ada.

Berarti kedua pemahaman atas keberagamaan bisa bersanding dan beriringan, jika pemahaman agama yang bersifat normativitas mau membuka diri atas pemahaman yang berkembang sesuai kondisi keadaan yang sebenarnya. Begitu juga pemahaman agama yang bersifat historisitas diharapankan mampu menahan diri dan tidak memaksakan untuk memberikan pemahaman akan keberagamaan berdasarkan riil kehidupan bermasyarakat dan mengenyampingkan dasar agama.

[1] Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), v

[2] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Jogjakarta: academia, 2010) 190.

[3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), 28.

[4] Ibid., 29.

[5] Ibid., 30.

[6] Abuddin Nata, Metodologi, 237.

[7] Amin Abdullah, Studi Agama, 29

[8] Ibid., 46.

[9] Ibid., 47.

[10]  Kamaruzzaman, Bustaman Ahmad, ISLAM HISTORIS: Dinamika Studi Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Galang press, 2002), 7.

[11] Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), 92.

[12] http://Islamalternatif.com/Islam-normatif-historis/ diakses pada 19 April 2016 pukul 06.48 WIB

[13] Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), 62

[14] Ibid., 64

[15] Ibid., 65

[16] Ibid., 66

Sumber: Ahmad Nadhif Faishal, www.academia.edu

Baca Juga: