Menu Tutup

Jaminan menurut KUHP dan Hukum Islam

Pengertian Jaminan

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, jaminan berasal dari kata jamin yang artinya menanggung. Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima (brog) atau garansi atau janji seseorang untuk menanggung utang atau kewajiban tersebut tidak terpenuhi.[1]

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya disamping pertanggung-jawaban debitur terhadap barang-barangnya.[2]

Jaminan Menurut KUH Perdata

Di Indonesia telah diatur mengenai hukum jaminan. Pengaturan hukum positif tentang jaminan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1150-1161.

Jaminan merupakan perjanjian yang bersifat accesoir yaitu perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.[3] Perjanjian pokok dari jaminan adalah perjanjian pemberian kredit atau pembiayaan. Perjanjian terbagi menjadi dua jenis, yaitu Jaminan Materiil (Kebendaan) dan Jaminan Immateriil (Perorangan). [4]

Jaminan Menurut Hukum Islam

Jaminan dalam hukum Islam dekenal dengan A«¬aman. Perkataan “«aman” itu keluar dari  masdar «immu yang berarti menghendaki untuk ditanggung. ¬aman menurut pengertian etimologis atau lugat ialah menjamin atau menyanggupi apa yang ada dalam tanggungan orang lain. Yang semakna dengan «aman adalah kata kafa>lah. Dalam kamus istilah fiqih disebutkan pengertian «aman adalah jaminan utang atau dalam hal lain menghadirkan seseorang atau barang ketempat tertentu untuk diminta pertanggungjawabannya atau sebagai jaminan.[5] Selain «aman dan kafa>lah dalam hukum Islam dikenal juga degan istilah rahn, yaitu berarti £ubu>t dan dawa>m yaitu tetap dan lestari. Secara Syara’, rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diberikan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.[6]

Fungsi Jaminan

Jaminan memiliki fungsi antara lain :

  1. Jaminan berupa watak, kemampuan, dan prospek usaha yang dimiliki debitur merupakan jaminan imateriel yang berfungsi sebagai first way out. Dengan jaminan imateriel tersebut, debitur diharapkan dapat mengelola modal dan perusahaannya dengan baik sehingga memperoleh pendapatan (revenue) bisnis guna melunasi pembiayaan yang telah diterimanya dari bank syariah/UUS sesuai dengan akad pembiayaan.[7]
  2. Jaminan pembiayaan berupa agunan yang bersifat materiel/kebendaan sebagai second way out. Sebagai second way out, pelaksanaan penjualan agunan (eksekusi) baru dilakukan apabila debitur gagal (wanprestasi) atau macet dalam pelunasan/pembayaran kembali pembiayaan melalui first out way.[8]
  3. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggal usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.[9]
  4. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.[10]

[1] Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 348.

[2] Salim HS, op. cit, h. 21

[3] Ibid, h. 30.

[4] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perseorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2001), Cet. II, h. 47.

[5] M. Abdul Mujieb et al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), Cet. III, h. 59.

[6] Muhammd Firdaus NH, et al., Mengatasi Masalah dengan Penggadaian Syariah, (Jakarta: Renaisans, 2005), Cet. 1, h. 16.

[7] Wangsawidjaja, op. cit, h. 290.

[8] Ibid, Pembiayaan Bank Syariah, h. 291.

[9] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet. 2, h. 286.

[10]  Ibid,

Baca Juga: