Menu Tutup

Jarak Safar Adakah Dasarnya Dari Al-Quran?

[otw_shortcode_dropcap label=”D” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]isebutkan berapa jarak minimal seorang dikatakan menjadi musafir. Jangankan jarak safar, berapa jumlah rakaat shalat yang wajib kita kerjakan dalam sehari pun juga tidak ada ayatnya. Sehari harus shalat lima waktu pun juga tidak ada ayat yang memerintahkannya.

Lalu apakah kita jadi boleh mengarang sendiri jumlah rakaat dan waktu shalat yang kita lakukan sehari-hari? Jawabnya tentu saja tidak boleh. Kalau kita hanya bertumpu pada Al-Quran sudah pasti tidak akan menemukan dalil tentang jarak safar.

Dasar ketentuan jarak safar ini hanya kita temukan di dalam hadits nabawi, yaitu sesuai dengan hadits-hadits berikut ini :

Praktek Ketika Nabi SAW Berhaji

Yang disepakati bahwa Rasulullah SAW melakukan jama’ dan qashar shalat ketika berhaji di tahun ke-10 hijriyah. Sebagaimana keterangan dari Haritsah bin Wahab berikut ini :

Dari Haritsah bin Wahab dia berkata,”Aku shalat bersama Rasulullah SAW di Mina dan jumlah yang ikut begitu banyak. Beliau shalat 2 rakaat pada haji wada’ (HR. Muslim)

Nabi, Abu Bakar dan Umar Melarang Penduduk Mekkah Mengqashar

Selama 4 hari berhaji yaitu sejak tanggal 9 – 12 Dzulhijjah Nabi SAW beserta seluruh shahabat tidak pernah meninggalkan jama’ qashar, namun khusus untuk penduduk Mekkah, ternyata Nabi SAW melarang mereka untuk melakukannya.

Imran bin Hushain meriwayatkan dalam hadits yang panjang bahwa dirinya pernah berhaji tiga kali. Haji pertama bersama Rasulullah SAW, haji kedua bersama masa Abu Bakar dan haji ketiga bersama Umar. Dalam ketiga haji itu masing-masing mengingatkan penduduk Mekkah untuk tidak boleh mengqashar shalat dan memerintahkan untuk shalat sempurna (itmam) empat rakaat.

Wahai penduduk Mekkah, shalatnya dengan sempurna (4 rakaat). Karena kami ini musafir. (HR. Al-Baihaqi). (Al-Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jilid 3 hal. 194)

Ibnu Abbas Juga Melarang

Dalam hadits yang lain juga disebutkan bahwa Ibnu Abbas ikut melarang penduduk Mekkah untuk mengqashar shalat dan menambahi berapa jarak yang dibolehkan untuk boleh mengqashar shalat.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu,”Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan”. (HR. Ad-Daruquthuny)

Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata,”Bolehnya qashar shalat itu kalau jaraknya setara antara Mekkah dan Thaif, atau seperti Mekkah dan Jeddah, atau seperti Mekkah dan Usafan”. Imam Malik mengomentari bahwa itu setara dengan 4 Bard.

Ibnu Abbas radhiyallahuanhu pernah ditanya orang,”Apakah Anda mengqashar bila sampai di Arafah?”. Beliau menjawab,”Tidak. Namun saya mengqashar shalat kalau sampai ke Usafan, Jeddah atau Thaif. (Al-Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jilid 3 hal. 196)

Atha’ bin Abi Rabah meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhuma berdua mengqashar shalat dan tidak berpuasa bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud atau lebih.

Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain.

Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya,

“Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?”. Beliau menjawab,”Empat burud”. Ditanya lagi,”Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?”. Beliau menjawab,”Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari”.

Dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya bahwa dia bepergian ke Rim dan mengqashar shalat dalam jarak itu. (Al-Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jilid 3 hal. 196)

Jumhur Ulama Mazhab

Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud.

Dan semua ulama sepakat bahwa meski pun disebut masa perjalanan dua hari, namun yang

dijadikan hitungan sama sekali bukan masa tempuh. Tetapi yang dijadikan hitungan adalah jarak yang bisa ditempuh di masa itu selama dua hari perjalanan.

Pertanyaannya, kalau memang yang dimaksud dengan jarak disini bukan waktu tempuh dua hari, lalu mengapa dalilnya malah menyebutkan waktu dan bukan jarak.

Jawabnya karena di masa Rasulullah SAW dan beberapa tahun sesudahnya, orang-orang terbiasa menyebutkan jarak antar satu negeri dengan negeri lainnya dengan hitungan waktu tempuh, bukan dengan skala kilometer atau mil.

Di masa sekarang ini, kita masih menemukan masyarakat yang menyebut jarak antar kota dengan hitungan waktu. Salah satunya di Jepang yang sangat maju teknologi perkereta-apiannya. Disana orang-oran terbiasa menyebut jarak satu kota dengan kota lainnya dengan hitungan jam. Maksudnya tentu bukan dengan jalan kaki melainkan dengan naik kereta cepat Sinkansen.

Sedangkan perjalanan dua hari di masa Rasulullah SAW tentunya dihitung dengan berjalan kaki dengan langkah yang biasanya. Meski pun naik kuda atau unta, sebenarnya relatif masa tempuhnya kurang lebih sama. Karena kuda atau unta bila berjalan di padang pasir tentu tidak berlari, sebab tenaganya akan cepat habis.

Perjalanan antar negeri di masa itu yang dihitung hanya perjalanan siang saja, sedangkan malam hari tidak dihitung, karena biasanya malam hari para khafilah yang melintasi padang pasir beristirahat.

Masa tempuh seperti ini kalau dikonversikan dengan jarah temput sebanding dengan jarak 24 mil. Dan sebanding pula dengan jarak 4 burud, juga sebanding dengan 16 farsakh. Jarak ini juga sama dengan 48 mil hasyimi.

Abu Hanifah dan para ulama Kufah mengatakan minimal jarak safar yang membolehkan qashar itu adalah bila jaraknya minimal sejauh perjalanan tiga hari, baik perjalanan itu ditempuh dengan menunggang unta atau berjalan kaki, keduanya relatif sama. Dan tidak disyaratkan perjalanan itu siang dan malam, tetapi cukup sejak pagi hingga zawal di siang hari.

Safar selama tiga hari ini kira-kira sebanding dengan safar sejauh 3 marhalah. Karena kebiasaannya seseorang melakukan safar sehari menempuh satu marhalah.

Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.

Orang yang muqim mengusap sepatu dalam jangka waktu sehari semalam, sedangkan orang yang safar mengusap sepatu dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ibnu Abi Syaibah) (Nashbur-rayah jilid 2 hal. 183)

Demikian juga ketika Rasulullah SAW menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari.

Dari Ibnu Umar radhiyallhuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram”. (HR. Muslim)

Menurut mazhab Al-Hanafiyah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.

 

 

Baca Juga: