Puasa Ramadan adalah kewajiban bagi setiap muslim yang memenuhi syarat. Namun, ada beberapa golongan yang mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa, salah satunya adalah musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh. Musafir diberikan pilihan untuk berpuasa atau berbuka, tetapi mana yang lebih utama?
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Menurut Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, lebih utama bagi musafir untuk tetap berpuasa jika tidak ada kesulitan atau bahaya. Mereka berpendapat bahwa puasa adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan alasan yang kuat.
Sedangkan menurut Imam Ahmad dan sebagian ulama lainnya, lebih utama bagi musafir untuk berbuka jika perjalanannya melebihi dua marhalah (sekitar 88 km). Mereka berpendapat bahwa berbuka adalah kemurahan dari Allah yang diberikan kepada musafir untuk meringankan beban dan kesulitan perjalanan.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa musafir boleh memilih antara berpuasa atau berbuka sesuai dengan keadaan dan kepentingannya. Jika ia merasa kuat dan tidak terganggu oleh puasa, maka ia boleh berpuasa. Jika ia merasa lemah atau mengalami kesukaran karena puasa, maka ia boleh berbuka.
Hal ini didasarkan pada hadits dari Hamzah bin Amr Al-Aslami yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa dalam perjalanan. Rasulullah SAW bersabda: “Itu adalah kemurahan dari Allah. Siapa yang memanfaatkannya hal itu bagus. Dan siapa yang ingin tetap berpuasa, maka tidak ada dosa atasnya.” (HR. Muslim)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa puasa dan berbuka bagi musafir sama-sama boleh dan tidak ada dosa. Namun, ada kebaikan dalam memanfaatkan kemurahan Allah dengan berbuka jika memang dibutuhkan.
Bagaimana dengan orang yang berbuka karena musafir? Apakah ia harus mengganti puasanya? Jawabannya adalah ya. Orang yang berbuka karena musafir wajib mengqadha atau mengganti puasanya di hari-hari lain setelah Ramadan. Ini merupakan kesepakatan para ulama yang didasarkan pada firman Allah SWT:
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)