Menu Tutup

Kedudukan Dan Fungsi Ṭarekat dalam Islam

Kata ṭarekat berasal dari bahasa Arab ṭārīqah, (jamak: ṭurūq atau ṭarāiq), yang berarti: jalan atau metode atau aliran (madzhab). Tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan untuk sampai (wusul) kepada-Nya. Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru atau mursyid tarekat masing-masing, agar berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Tarekat secara literal juga bermakna jalan tanpa rambu di padang pasir. Jalan ini tidak ditandai dengan rambu keluar yang jelas, laksana jalan bebas hambatan. Untuk menemukan jalan keluar di padang pasir tanpa rambu ini, kita perlu mengenal daerah tersebut dengan baik, atau kita memerlukan pemandu yang mengetahui arah yang dituju dan akrab dengan tanda-tanda setempat. Memasuki tahapan ini, seorang murid mencapai kekuatan untuk memulai tasawuf; mengubah pemahaman ibadah eksoterik (lahiriah) menjadi ibadah esoterik (batiniah). Tanpa ada kepatuhan yang tinggi, kebajikan, ketabahan, dan kesabaran, seorang murid tidak akan mampu memasuki tahap ini.

Suatu ketika, Syaikh Bahauddin al-Naqsyabandi ditanya, apa tujuan ṭarekat? Beliau menjawab: “Tujuannya adalah untuk mengetahui secara rinci apa yang baru engkau ketahui secara singkat, dan untuk merasakan dalam penglihatan apa yang engkau ketahui lewat penjelasan dan argumen”. Tujuan ṭarekat adalah untuk memperkuat keyakinan terhadap syari’at, meyakini kebenarannya, mematuhi ajaran-ajarannya dengan senang dan spontan, mengikis kemalasan dan meniadakan penentangan atas keinginan diri (nafsu). Ahli tasawuf mengaitkan istilah ṭarekat dengan firman Allah Swt.

Artinya: dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak) (QS. Al-Jin [72]: 16)

Metode yang digunakaUn pJarIa sPufíUunBtukLmeInKdekatkan diri kepada Allah berbeda-beda, sebagian mereka melalui cara selalu dalam keadaan ẓikir kepada Allah (mulāzamah al-zikr), selalu melatih diri (riyāḍah), selalu bersungguh-sungguh untuk membersihkan hati dan sifat-sifat tercela dan hara nafsu (mujāhadah). Sebagian yang lain melalui tujuh metode yaitu: memperingati diri (musyāratah), mengawasi diri (murāqabah), introspeksi diri (muhāsabah), menghukum diri (mu’āqabah), kesungguhan lahir batin (mujāhadah), menyesali diri (mu’ātabah), dan pembukaan hijab (mukāsyafah). Bersamaan dengan itu mereka akan melintasi tingkatan-tingkatan (maqāmat) antara lain taubat, sabar, ridha, zuhud, mahabbah, dan ma’rifat.

Pada dasarnya, ṭarekat yang ditempuh oleh para sufí berupa ibadah ẓikir yang berasal dari praktik Nabi Muhammad Saw. yang kemudian diamalkan oleh al-khulafa’ al- rasyidūn, tabi’īn, tabi’i at-tabi’īn, dan seterusnya sampai kepada para syaikh atau mursyid secara sambung-menyambung sampai sekarang. J. Spencer Trimingham menyimpulkan perkembangan tarekat sebagai berikut:

  1. Tahap khanqah terjadi sekitar abad ke-10 M. Pada tahap ini tarekat berarti jalan atau metode yang ditempuh seorang sufi untuk sampai kepada Allah secara individual (farḍiyah). Pada masa ini para sufí melaksanakan kontemplasi dan latihan-latihan spiritual secara ā
  2. Tahap ṭarekat terjadi sekitar abd ke-12 M. Pada masa ini sudah terbentuk ajaran- ajaran, peraturan dan metode tasawuf, muncul pula pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Pada tahap ini tasawuf telah mengambil bentuk kelas
  3. Tahap ṭā’ifah terjadi pada abad ke-15 M. Pada masa ini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan-peraturan dari guru tarekat yang disebut syaikh kepada para pengikut atau murid-muridnya. Pada masa ini muncul organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain, misalnya Tarekat Qadariyah, tarekat Naqsyabandiyah, dan Tarekat

Dalam tradisi tarekat, murid-murid bisaanya berkumpul di suatu tempat yang disebut ribāt, zāwiyah, atau khanaqah untuk melakukan latihan-latihan ruhani (ẓikir Allāh) yang materi pokoknya adalah membaca istighfar, membaca salawat nabi dan membaca ẓikir nafi isbāt dan ismu żāt secara bersama di bawah bimbingan guru (mursyid), yang di dalamnya ada ajaran-ajaran (‘amaliyyah), aturan-aturan (adab), kepemimpinan (mursyid), hubungan antara murid dan mursyid atau antara guru dengan anggota tarekat , wāsilah, rābiṭah, silsilah, ijāzah, sulūk, dan ritual-ritual seperti bay’ah atau talqīn, khusūsiyah, haul, dan manāqib.

Dalam menjalankan ṭarekat, seorang murid dipersyaratkan untuk memenuhi unsur- unsur sebagai berikut:

  1. Mempelajari ilmu pengetahuain yang berkaitan dengan syari’at agama
  2. Mengamati dan bersaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak langkah guru; melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
  3. Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan
  4. Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhususan dalam mencapai maqamat yang lebih tinggi.
  5. Mengekang kawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang menodai

Baca Juga: