Menu Tutup

Kedudukan Dan Fungsi Syari’at dalam Islam

Syari’at berasal dari akar kata syara’a yang berarti jalan. Ia adalah jalan yang benar, sebagai rute perjalanan yang baik, dan dapat ditempuh oleh siapa saja. Kata syari’at terdapat dalam al-Quran, baik dalam bentuk kata kerja (verb),  kata benda (noun), ataupun kata sifat (adjective) terdapat dalam beberapa ayat, misalnya dalam QS. al-Jatsiyah (45): 8, al-Maidah (5): 48, al-A’raf (7): 163.

Artinya: kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-Jatsiyah [45]: 18

Artinya: ….untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS. Al-Maidah [5]: 48)

Artinya: ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu (QS. Al-A’raf [7]: 163)

Artinya: Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan- Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (QS. Asy-Syura [42]: 13)

Dalam dunia tasawuf, syari’at dijadikan sebagai dasar/pondasi bagi tahap berikutnya (tarekat , hakikat, dan ma’rifat) sehingga kedudukannya sangat penting. Sebagian besar sufí memahami syari’at dalam pengertian yang luas, mencakup ilmu dan seluruh ajaran Islam. Syari’at bukan hanya sekedar kumpulan kode atau peraturan yang mengatur tindak lahiri tetapi juga menjelaskan tentang keimanan, tauhid, cinta (mahabah), syukur, sabar, ibadah, ẓikir, jihad, takwa, dan ihsan, serta menunjukkan bagaimana mewujudkan realitas tersebut. Syaikh Ahmad Sirhindi mengemukakan: “di dalam syari’at terkandung tiga hal yaitu pengetahuan (ilmu), praktik (amal), dan ikhlas. Artinya meyakini kebenaran syari’at dan melaksanakan perintah-perintah-Nya dengan tulus dan akhlak demi mendapatkan keridaan Ilahi”.

Al-Qusyairi, dalam al-Risālah al-Qusyairiyyah menjelaskan: “Syari’at berkaitan dengan konsistensi seorang hamba, sementara hakikat adalah penyaksian Tuhan. Setiap syari’at yang tidak ditopang hakikat tidak diterima, sebaliknya setiap hakikat yang tidak dikekang syari’at tidak tercapai. Syari’at datang menetapkan beban kewajiban terhadap para makhluk, sementara hakikat adalah kabar tentang gerak-gerik Yang Maha Benar (Allah), syari’at adalah hendaklah engkau menyembah-Nya, sementara hakikat adalah hendaklah engkau menyaksikan-Nya. Syari’at adalah pelaksanaan terhadap apa yang diperintahkan, sementara hakikat adalah penyaksian terhadap apa yang ditetapkan dan ditentukan ataupun yang disembunyikan dan ditampakkan.”

Dalam amalan tasawufnya, para sufí menjauhi apa yang dilarang, melaksanakan apa yang diwajibkan (amalan farḍu) dan melaksanakan apa yang dianjurkan (amalan sunnah). Mereka percaya bahwa barangsiapa yang mengabaikan dan menafikan syari’at maka itu adalah pelanggaran berat. Para tokoh besar sufí mengutuk anggapan yang menyatakan: “syari’at hanya untuk orang awam yang belum mengetahui kebenaran sejati, dan bagi yang sudah mencapai tingkatan pemahaman sejati maka tidak perlu menaatinya”. Yang benar adalah mereka yang sudah lanjut (tinggi tingkat kesufiannya) harus beribadah lebih banyak lagi dibandingkan dengan orang bisaa, dan keberhasilannya (memahami kebenaran) amat tergantung pada kepasrahannya dalam melaksanakan syari’at.

Baca Juga: