Menu Tutup

Kedudukan Filsafat Agama Islam

Kedudukan Filsafat dalam Struktur Ilmu Agama Islam

Mengenai kedudukan filsafat dalam islam sepanjang sejarah. Kedudukan itu mengalami pasang surut pemuliaan dan kecaman.

Kedudukan pilsafat sebagai asing atau sebagai alat saja jelas berkaitan dengan takrif teologi. L. Gardet mendefinisikan teologi muslim sebagai apologi depensif. Teologi hanya perlu diperhatikan sewaktu-waktu, yaitu bila dalil-dalil agama diragukan oleh orang didalam atau diserang dari luar. Karena itu Al-Ghazali memperbandingkan teologi dengan obat untuk orang sakit bukan dengan gizi orang sehat. Pada ketika ajaran agama menjadi quieta possessio” (milik aman tak terancam) teologi dapat dibebas tugaskan, seperti ditulis oleh b. Taimiyah. Definisi Gardet tersebut disetujui pada masa sekarang oleh Padlou Shehadi. Ismail Farouqi dan Hanafi.

Karena syarat untuk hidup filsafat dalam islam itu, maka para filsuf harus merebut kedudukannya oleh membenarkan diri sebagai pendukung, pembela dan juru penerangan agama. Berkali-kali mereka mencoba hal itu, tetapi harapan tidak dipenuhi dan hasil pikiran mereka ditampik sebagai tidak memenuhi syarat.[1]

Kedudukan Filsafat Dikalangan Ulama-Ulama Agama

Filosof-filosof islam berpendirian bahwa tujuan filsafat mirip dengan tujuan agama karena kedua-duanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagian melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan yang baik. Juga mereka mengatakan bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu juga, karena kedua-duanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Berbeda dengan itu, maka pendirian ulama-ulama agama pada umumnya sangat memusuhi filsafat tanpa ragu-ragu.

Pada masa dahulu ilmu-ilmu yang datang dari yunani terkenal dengan nama” ilmu-ilmu kuno” (ulum al awail), sebagai imbangan dari ilmu-ilmu syara’. Ilmu-ilmu kuno tersebut sangat diragukan kebenarannya oleh golongan ahlusunnah ekstrim, meskipun oleh golongan lain diterima dngan penuh perhatian terutama sejak permulaan abad ke-2 hijriah. Bahkan golongan ahlussunah menolak setiap ilmu yang ada pertaliannya dengan ilmu filsafat, meskipun sikap ini sangat disayangkan oleh Al-Ghazali dalam bukunya Al-munqidzu min ad-dlalal, sungguhpun ia sendiri adalah laan terbesar bagi filsafat.

Lebih dari itu, mempelajari filsafat dianggap sebagai peremehan terhadap agama dan diragu-ragukan keseluruh aqidahnya. Diantara lapangan-lapangan filsafat, maka filsafat metafisika atau filsafat ketuhanan dari aristo teles lah yang pertama-tama menjadi sasaran kemarahan ahlussunnah, karena seluruh pemikiran aristoteles dipandang berlawanna sama sekali dengan kepercayaan-kepercayaan islam.

Ilmu berikutnya ialah ilmu mantik, yag dianggap berbahaya bagi aqidah-aqidah agama, dan oleh karenanya maka ditulislah berbagai-bagai buku untuk menentang ilmu tersebut. Ilmu matematika pun pada gilirannya mendapat kritikan karena dianggap bisa menyiapkan jalan kepada filsafat.

Akan tetapi sikap mereka terhadap ilmu hitung adalah lunak, karena ilmu ini merupakan suatu keperluan bagi ilmu paraidl, (ilmu pembagian harta pusaka).

Sebagai akibat tantangan tersebut, maka banyakalah filosof-filosof islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh Ibnu Rusyid memang pengaruh serangan Ghazali terhadap filsafat besar sekali dibelahan barat dunia islam, dimana Ibnu Rusyid bertempat tinggal. Namun pada masa-masa yang lebih kemudian, barang kali dunia islam tidak mengenal fatwa yang begitu keras dan yang melarang filsfat dan mantik seperti: Ibn As-Sholah. Ketika ia diminta pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu mantik tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ dan tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orangahli filsafat yang menulis adan mengajar filsafat disekolah-sekolah umum, maka ia menjawab sebagai berikut :

Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yag berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan syariah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dan bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajari, maka ia bertemankan kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh syaitan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian nabi kita. “

“Tentang mantik, maka ia adalah jalan kepada filsafat, sedang jalan kepada keburukan dalah keburukan pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk perkara yng dibolehkan oleh syara’, tidak pula dibolehkan oleh sahabat, tabi’in, imam-imam mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan anutan-anutan serta tokoh-tokoh umat, dimana tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran ilmu itu.”

“Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu mantik dalam hukum syara’ maka termasuk kemungkaran, dan untungnya hukum-hukum syara’ tidak memerlukan mantik sama sekali. Apa yang dikatakan oleh orang ahli logika tentang definisi dan argumen-argumen untuk logika maka adalah omong kosong, dimana tuhan telah mencakupkan pengabdi-pengabdi ilmu syariat yang benar pikirannya dari hal tersebut. Syariat dan ilmu-ilmunya ketelitian, dengan tidak ada mantik, filsafat ataupun filosof-filosof.”

“Barangsiapa mengira bahwa mempelajari ilmu-ilmu mantik dan filsafat karena da paedah yang akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk syaitan dan ditipunya. Maka yang wajib bagi penguasa ialah agar mereka menjauhkan keburukan-keburukan mereka para benalu-benalu tersebut dan mengeluarkan mereka dari sekolah. Yag lebih wajib lagi ialah memecat seorang guru sekolah dari ahli filsafat yang mengajarkan dan membacakannya pula, kemudian dipenjarakan dan disuruh menetap dirumahnya.”

Nampaknya, serangan-serangan terhadap filsafat tidak berkesan lagi pada masa-masa sesudah itu, karena agama islam pada dasarnya tidak menghalang-halangi kebebasan berpikir dan setiap pengekangan tidak mendapatkan sandarannya, baik dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah. Arus pemikiran lebih bebas telah menyebabkan ulama-ulama agama pada zaman baru harus mempertemukan antara prinsip-prinsip pikiran dengan ajaran-ajaran agama. Meskipun dikalangan filosof-filosof islam pemaduan semacam itu sudah diusahakan jauh sebelumnya.[2]

Kedudukannya Terhadap Filsafat Masehi

Faktor-faktor yang akan menjelaskan batas-cakupan cakrawala pemikiran filsafat didalam islam. Maka adalah salah jika membatasi diri sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh abad ke-19 hanya pada serpihan-serpihan yang terdapat didalam karangan-karangan Latin Ibrani Abad Pertengahan, tetapi harus sebaliknya.

Dan sudah lazim jika pertama kali harus dipelajari dari sumber berbahasa Arab, walaupun kajiannya tidak lengkap dan sumber tersebut tidak tersebar. Tetapi kita akan dapat menetapkan bahwa materinya dikaitkan kepada pemikiran masehi abad pertengahan adalah lebih banyak, wawasannya luas, lebih bebas lebih progresif dan inovatif. Jika kita diperkenankan berbicara tentang filsafat masehi. Maka lebih pantas jika kita menerima adanya filsafat. Pada kenyataannya filsafat bahasa Arab di Timur mampu menandingi filsafat Latin di Barat. Dari kedua filsafat ini ditambah dengan kajian-kajian Yahudi tersusunlah sejarah pembahasan teoritis pada abad pertengahan. Dan harus mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat Klasik, pertengahan dan modern.

Hubungan dengan Filsafat Yunani

Generasi abad ke-20 selalu menggantungkan diri dalam banyak hal kepada kajian-kajian Yunani dan Romawi. Hanya saja benar-benar salah jika kita berpendapat bahwa :

  1. Belajar (berguru) ini adalah meniru dan membebek semata-mata.
  2. Filsafat islam hanyalah naskah yang dinukil dari Aristoteles sebagaimana yang diduga oleh Renan atau dari Neo-Platonisme sebagaimana tuduhan Dehem.

Hubungan dengan Filsafat Modern

Berbicara tentang bukti tentang kolerasi antara dua filsafat Barat: Modern dan Pertengahan yang dari sisi lain kita mengetahui batas keterpengaruhan Filsafat Abad Pertengahan dengan Filsafat Timur Islam.

Tidak perlu masuk kedalam detailitas-detailitas sekarang. Tetapi kami cukup menunjukkan bahwa titik awal sejarah pemikiran Modern hampir dapat tersimpul didalam dua orientasi fundamental.

Selama filsafat Skolastik Masehi dan Yahudi yang berhubungan erat dengan dunia Islam menjembati antara filsafat Islam dan pemikiran filosofis Modern, maka ada kemungkinan untuk mentrasfer dan pertukaran ide-ide. Oleh karena itu adalah gegabah jika kita memastikan secara dini bahwa tidak ada hubungan antara Timur dan Barat didalam dunia pembahasan dan pemikiran.[3]

[1] JWM, Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam Islam, ( yogyakata: PT. Yayasan Kanisius, 1978), h. 89.

[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ( jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 19-21.

[3] Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, (Jakarta: Rajawali, 1991), h. 10-15.

Baca Juga: