Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hokum Islam. Namun, menurut sebagian besar ulama, Imam Abu Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Qur’an itu mencakup lafazh dan maknanya atau maknanya saja.
Diantara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Qur’an hanya maknanya saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madarat. Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak dibolehkan membaca Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa selain Arab.
Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Qur’an adalah kalam Allah yang lafazh dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Imam Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan Al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang membatasi pembahsan Al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. maka tidak heran kalau kitabnya, Al-Muwaththa dan Al-Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. dan Malik pun mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafazh yang terdapat dalam Al-Qur’an terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat, ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan ayat-ayat mustasyabihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafazh dan nash. Imam Malik menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafazh nash itu adalah lafazh yang menunjukkan makna yang jelas, namun masih mempunyai kemungkinan makna lain. Menurut Imam Malik, keduanya dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafazh nash didahulukan daripada lafazh zhahir. Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qath’i, sedangkan dilalah zhahir termasuk zhanni, sehingga bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang didahulukan adalah dilalah nash. Yang perlu diingat adalah makna zhahir disini adalah makna zhahir menurut pengertian Imam Malik.
Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi’I, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hokum Islam yang paling pokok bahkan beliau berpendapat, “Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam Al-Qur’an.” (Asy-Syafi’i, 1309:20). Oleh karena itu, Imam Asy-Syafi’i senantiasa mencatumkan nash-nash Al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yakni deduktif.
Namun, Asy-Syafi’i menganggap bahwa Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari As-Sunah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain menganggap bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Qur’an kemudian As-Sunnah, maka Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa sumber hokum Islam pertama itu Al-Qur’an dan As-Sunah, sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat.
Sebenarnya Imam Asy-Syafi’i pada beberapa tulisannya yang lain tidak menganggap bahwa Al-Qur’an dan Sunah berada dalam satu martabat, namun kedudukan As-Sunnah itu adalah setelah Al-Qur’an. Tapi Asy-Syafi’i menganggap bahwa keduanya berasal dari Allah SWT. meskipun mengakui bahwa diantara keduanya terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya As-Sunah merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada dalam Al-Qur’an.
Kemudian Asy-Syafi’i menganggap Al-Qur’an itu seluruhnya berbahasa Arab, dan ia menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat bahasa ‘Ajam (luar Arab), diantara pendapatnya adalah firman Allah SWT.:
Artinya:
“Dan begitulah Kami turunkan Al-Qur’an berbahasa arab.”
Dengan demikian, tak heran bila Imam Asy-Syafi’I dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat, nikah, dan ibadah-ibadah lainnya. Dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath hokum dari Al-Qur’an. (Abu Zahrah :191-197).
Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Al-Qur’an merupakan sumber dan tiangnya syari’at Islam, yang didalamnya terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat. Al-Qur’an juga mengandung hokum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, disamping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-Qur’an itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunah. Namun, seperti halnya Asy-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunah mempunyai kedudukan yang kuat disamping Al-Qur’an, sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hokum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Qur’an dahulu atau As-Sunah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunah.
Dalam penafsiran terhadap Al-Qur’an, Imam Ahmad betul-betul mementingkan penafsiran yang datangnya dari As-Sunah (Nabi Muhammad SAW.) dan sikapnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
- Sesungguhnya zhahir Al-Qur’an tidak mendahulukan As-Sunah.
- Rasulullah SAW. saja yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, maka tidak ada seorang pun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Qur’an, karena As-Sunah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
- Jika tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para sahabatlah yang dipakai, karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-Qur’an dan mendengarkan takwil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-Sunah yang mereka gunakan sebagai penafsir Al-Qur’an.
Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Qur’an itu tidak ditafsirkan, kecuali dengan atsar, namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwa jika tidak ditemukan dalam hadis Nabi dan qaul sahabat, diambil dari penafsiran para tabi’in. (Abu Zahrah : 224-247).