Menu Tutup

Kerajaan Turki Utsmani : Pembentukan Hingga Kemundurannya

Proses Terbentuknya Kerajaan Utsmani di Turki

Kerajaan Turki Utsmani berdiri tahun 1281 dan pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz yang mendiami daerah mongol dan daerah utara negeri Cina, yaitu Utsman bin Erthogril. Nama Utsmani diambil dari kakek mereka yang pertama dan pendiri kerajaan ini yaitu Utsman bin Erthogril bin Sulaiman Syah dari suku Qayigh, salah satu cabang keturunan Oghus Turki. Sebelum berdirinya kerajaan Turki Utsmani, diawali dengan pengembaraan Sulaiaman Syah ke Anatolia tetapi sebelum mencapai tujuan meninggal di Azerbaijan kemudian kedudukannya digantikan putranya yang bernama Erthogril, dan akhirnya sampailah ke Anatolia dan diterima penguasa Seljuk, Sultan Alaudin yang sedang berperang dengan Bizantium.

Berkat bantuan dari Erthogril, pasukan Sultan Alaudin mendapatkan kemenangan, sehingga Erthogril mendapat hadiah sebidang wilayah di perbatasan Bizantium serta memberi wewenang mengadakan ekspansi. Sepeninggal Erthogril, atas persetujuan sultan Alaudin, digantikan putranya yang bernama Utsman yang memerintah Turki Utsmani antara tahun 1281-1324 M. Akibat serangan Mongol terhadap Bagdad termasuk Seljuk yang terjadi pada tahun 1300 M menyebabkan terbunuhnya Sultan Alaudin dan akibatnya dinasti ini terpecah-pecah menjadi sejumlah kerajaan kecil. Dalam kondisi kehancuran Seljuk inilah Utsman mengklaim kemerdekaan secara penuh atas wilayah yang didudukinya sekaligus memproklamirkan berdirinya kerajaan Turki Utsmani. Dengan Utsman sebagai raja pertama yang sering disebut Utsman I.

Jika kita menapaki sejarah, kerajaan Turki Utsmani merupakan kerajaan terbesar dan paling lama berkuasa, selama enam abad lebih (1281-1924 M), Pada masa pemerintahan Turki Utsmani para sultan bukan hanya merebut negeri-negeri arab, tetapi juga seluruh wilayah antara Kaukasus dan kota Wina, bahkan sampai ke Balkan. Dengan demikian tumbuhlah pusat-pusat Islam di Trace, Macedonia, Thessaly, Bosnia, Herzegovina, Bulgaria, Albania, dan sekitarnya. Bahkan raja-raja Islam di Indonesia (abad XVII), seperti raja Aceh dan Banten pernah mengutus para utusan dengan kerajaan Turki Utsmani dan pernah meminta pengakuan memakai gelar sultan dari Istambul.

Dengan adanya berbagai ekspansi, menyebabkan ibukota Dinasti Utsmani berpindah-pindah. Sebagai contoh, sebelum Utsman I memimpin Dinasti Utsmani, ia mengambil kota Sogud sebagai ibukotanya. Kemudian setelah penguasa Dinasti Utsmani dapat menaklukkan Broessa pada tahun 1317, maka pada tahun 1326 Broessa dijadikan ibukota pemerintahan. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Murad I. Ternyata, di masa Murad I kota Adrianopel yang ditaklukkannya itu dijadikan sebagai ibukota pemerintahan. Sampai ditaklukkanya Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Muhammad II, yang kemudian diganti namanya menjadi Istambul sebagai ibukota pemerintahan yang terakhir.

Bidang militer dan perluasan wilayah

Setelah Utsman I mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al Utsman (raja besar keluarga Utsman) tahun 699 H (1300 M), setapak demi setapak mengadakan perluasan wilayah dengan memperkuat kekuatan militernya. Program ini diteruskan para penggantinya seperti putranya Orkhan mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan militer sehingga terbentuklah sebuah kesatuan militer yang disebut Yeniseri atau Inkisariyah (arab), kemudian diteruskan oleh anaknya yang bernama Murad, dengan membentuk cabang yeniseri sehingga dapat mengubah kerajaan Utsmani yang baru lahir menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan sangat besar bagi penaklukan negeri-negeri non muslim seperti menaklukan Andriannopel, Macedonia, Bulgaria, dan Serbia.

 Dari para penguasa yang memimpin Turki Utsmani, Sultan Muhammad II yang layak menyandang gelar al Fatih (sang penakluk) karena keberhasilannya menaklukkan Romawi Timur yang berpusat di kota Konstantinopel pada tahun 1453, dilanjutkan dengan menaklukkan ke semenanjung Maura, Serbia, Albania sampai ke perbatasan Bundukia. Salah satu peninggalan terpenting adalah mengubah gereja St. Sophia menjadi masjid dengan nama Aya Sophia sebagai lambang kemenangan orang Islam di kota Konstantinopel. Oleh Sultan Muhammad II, kota Konstantinopel diganti namanya menjadi Istambul. Dengan keberhasilan penaklukan Konstantinopel ini, seluruh ambisi umat Islam untuk menundukkan imperium Romawi Timur tercapai sudah.

Ada lima faktor yang menyebabkan kesuksesan Dinasti Utsmani dalam perluasan wilayah Islam yaitu:

1). Kemampuan orang-orang Turki dalam strategi perang terkombinasi dengan cita-cita memperoleh ghanimah (harta rampasan perang).

2). Sifat dan karakter orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan untuk tujuan penyerangan.

3). Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam.

4). Letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan juga sangat menunjang kesuksesan perluasan wilayah ke Eropa dan Asia. Istambul terletak antara dua benua dan dua selat (selat Bosphaoras dan selat Dardanala), dan pernah menjadi pusat kebudayaan dunia, baik kebudayaan Macedonia, kebudayaan Yunani maupun kebudayaan Romawi Timur.

5). Kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya yang kacau memudahkan Dinasti Usmani mengalahkannya.

Bidang Pemerintahan

Raja-raja Turki Utsmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah berkuasa di bidang agama atau spiritual/ukhrawi. Mereka mendapatkan kekuasaan secara turun temurun. Tetapi tidak harus putra pertama yang menjadi pengganti sultan terdahulu, bahkan dalam perkembangannya pergantian kekuasaan itu juga diserahkan kepada saudara sultan bukan kepada anaknya.

Dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi dibantu oleh shadr al a’zham (perdana menteri) yang membawahi pasya (gubernur) , dan gubernur mengepalai daerah tingkat I. dibawahnya terdapat beberapa orang al zanaziq atau al ‘alawiyah (bupati). Untuk mengatur pemerintahan negara , di masa sultan Sulaiman I disusun undang-undang (qanun) yang bernama Multaqa al Abhur, yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki Utsmani sampai datangnya reformasi pada abad ke 19. Karena jasa Sultan Sulaiman I, diujung namanya diberi gelar al Qanuni.

Bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama

Dalam bidang ilmu pengetahuan, kerajaan Turki Usmani tidak menghasilkan karya-karya dan penelitian-penelitian ilmiah seperti di masa Daulah Abbasiyah. Karena mereka lebih mengutamakan dalam bidang militer dan perluasan wilayah, sehingga kita tidak dapati ilmuwan yang terkenal dari Turki Utsmani.

Sedangkan dalam bidang kebudayaan, kebudayaan Turki Utsmani merupakan perpaduan antara kebudayaan Bizantium, Persia dan Arab. Karena bangsa Turki sangat mudah berasimilasi dengan budaya asing. Bahkan bahasa arab banyak dipakai di Asia Kecil yang mayoritas daerahnya dikuasai Turki. Seperti seni arsitektur, Turki Usmani banyak meninggalkan karya-karya agung berupa bangunan yang indah, seperti Mesjid Jami’ Muhammad al-Fatih, mesjid agung Sulaiman dan Masjid Abu Ayyub al- Anshary dan masjid Aya Sophia yang dulu asalnya dari gereja St. Sophia, merupakan peninggalan arsitektur yang dikagumi sampai saat ini.

Hoja Sinan (1490-1578 M) adalah tokoh terbesar dalam bidang arsitektur ini. Untuk kehidupan keagamaan, agama merupakan bagian dari sistem sosial politik Turki Utsmani. Ulama mempunyai kedudukan tinggi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Mufti sebagai pejabat tinggi agama , tanpa legitimasi Mufti keputusan hukum kerajaan tidak dapat berjalan. Pada masa ini tarekat berkembang pesat. Al Bektasi dan Al Maulawi merupakan dua tarekat yang paling besar. Al Bektasi berpengaruh terhadap tentara Yenisari, sedangkan Al Maulawi berpengaruh besar terhadap kelompok penguasa sebagai imbangan dari kelompok Yenisari Bektasi. Kajian-kajian ilmu keagamaan, seperti fiqh, ilmu kalam, tafsir dan hadis boleh dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti.Para penguasa cenderung untuk menegakkan satu paham (madzab) keagamaan dan menekan madzab lainnya. Sultan Abd al Hamid II, misalnya fanatik terhadap aliran asy’ariyah. Untuk mempertahankan madzabnya, ia memerintahkan Syaikh Husein Al Jisri menulis kitab Al Hushun Al Hamidiyah (Benteng pertahanan Abdul Hamid). Akibat fanatik yang berlebihan inilah, ijtihad menjadi tidak berkembang. Ulama hanya suka menulis buku dalam bentuk syarah (penjelasan), dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap karya-karya klasik yang telah ada.

Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Utsmani terutama di bidang militer, karena tidak terlepas dari tabiat orang Turki yang terbiasa hidup nomaden, jiwa militer, tangguh dan patuh terhadap pimpinan.

Faktor kemunduran Kerajaan Turki Utsmani

Pada akhir kekuasaan Sulaiman al-Qanuni I kerajaan Turki Usmani berada ditengah-tengah dua kekuatan monarki Austria di Eropa dan kerajaan Safawi di Asia. Melemahnya kerajaan Utsmani setelah wafatnya Sulaiman I dan digantikan oleh Salim II. Pengganti kepemimpinan ini ternyata tidak mampu menghadapi kondisi tersebut.

Pada awal abad ke-19 para Sultan tidak mampu mengontol daerah-daerah kekuasaannya. Dan melemahnya militer Turki Usmani berakibat munculnya pemberontakan-pemberontakan. Beberapa daerah berangsur-angsur mulai memisahkan diri dan mendirikan pemerintah otonom. Di Mesir, kelemahan-kelemahan kerajaan Turki Usmani membuat Mesir bangkit kembali. Di bawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Prancis tahun 1798 M. Demikian pula pemberontakan-pemberontakan terjadi di Libanon dan Syiria, sehingga kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran, bukan saja daerah-daaerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk muslim.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran kerajaan Turki utsmani ada dua bagian faktor internal dan faktor eksternal yaitu:

  • Faktor internal
  1. luasnya wilayah kekuasaan dan buruknya system pemerintahan yang ditangani oleh orang-orang penerusnya yang kurang profesional, kurangnya keadilan serta korupsi yang merajalela.
  2. Heterogenitas penduduk dan agama. Menurut Philip K Hitti, dalam Tarikh al Daulah al Islamiyah menyatakan bahwa suatu negara yang landasan berdirinya untuk kepentingan militer, bukan untuk kemashlahatan bangsa, tidak akan mampu menyatukan keberagaman penduduk dan agama.
  3. Kehidupan para penguasa yang suka bermewah-mewahan mengikuti gaya hidup orang barat dan meninggalkan nilai-nilai Islam.
  4. Merosotnya perekonomian negara akibat peperangan yang berlangsung berabad-abad lamanya.
  • Faktor Eksternal
  1. Timbulnya gerakan nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa yang tunduk pada kerajaan Turki Utsmani.
  2. Kemajuan teknologi di dunia barat, khususnya di bidang persenjataan, sedangkan Turki mengalami stagnasi dalam bidang teknologi senjata, sehingga selalu mengalami kekalahan dalam setiap kontak senjata dengan bangsa Eropa.

REFERENSI:

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010)

Ajib Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004)

Hamka, Sejarah Umat Islam III, (Jakarta: Bulan Bintang)

Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)

Baca Juga: