Menu Tutup

Kerancuan Istilah ‘Madzhab Rasulullah’

Setelah kita mengetahui apa itu madzhab dengan segala konsepnya, dengan mudah kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa istilah ‘madzhab rasulullah’ itu benar-benar rancu.

Kerancuan-kerancuan itu antara lain ;

a. Madzhab itu bisa salah atau benar

Salah satu karakter sebuah madzhab adalah kemungkinan salah dan benar. Dan jika kita menyandingkan kata madzhab dengan kata rasulullah, ini akan mengkonsekuensikan Rasul itu bisa salah dan juga bisa benar.

Padahal beliau tidaklah bertindak dan berkata kecuali sesuai wahyu. Makanya, walaupun beliau pernah melakukan kesalahan, akan tetapi kesimpulan finalnya tetap sebuah kebenaran pasti yaitu saat ada wahyu yang mengoreksinya.

Sedangkan madzhab yang diklaim sebagai madzhab rasulullah itu, kita dengan sangat amat yakin tidak ada satu wahyu pun yang telah atau akan turun untuk mengoreksi kesalahan atau pun mengafirmasi kebenaran madzhab tersebut.

Menyadari akan hal itu, para ulama madzhab selalu mengatakan, “itu adalah madzhabku”, ‘itu adalah pandanganku”, “ini adalah pandangan dalam madzhab kami” dan tak satu pun yang mengatakan bahwa ini adalah ‘madzhab rasulullah’

b. Madzhab itu boleh untuk ditinggalkan

Walaupun kita tahu kehebatan Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad, akan tetapi kitab oleh saja meninggalkan madzhab mereka. Kemudian kita memilih madzhabnya Imam Syafi’i untuk kita baca, pelajari, yakini dan amalkan.

Dan kalaupun memang mau, boleh jadi juga kita meninggalkan madzhab Imam As Syafi’i dan kemudian memilih madzhab Imam Ahmad untuk kita baca, pelajari, yakini dan amalkan. Apalagi kita sebagai pengikutnya, bahkan Imam Syafi’i sendiri pernah meninggalkan madzhabnya yang lama untuk kemudian lebih memilih madzhabnya yang baru.

Kita tidak sedang membicarakan pindah madzhab. Itu ada kajiannya. Ada kaidahnya yang harus kita pelajari terlebih dahulu. Kita hanya sedang menyadari bahwa madzhab itu memang bukan wahyu yang wajib untuk ditaati.

Nah kalau kemudian kata madzhab ini disandingkan dengan kata rasulullah, maka konsekuensinya kita jadi diperbolehkan juga untuk meninggalkannya. Padahal kemungkinan meninggalkan itu akan benar-benar ada.

Karena bisa jadi di masa tertentu setelah tambahnya ilmu, penganut ‘madzhab rasulullah’ menemukan versi ‘madzhab rasulullah’ yang lain yang lebih meyakinkan. Dan jangan-jangan nanti akan ketemu dengan narasumber yang menyampaikan versi yang lain lagi. Dan nama rasulullah hanya dijadikan sebagai merek untuk meyakinkan pelanggan.

Kalau itu terjadi pada salah satu madzhab yang empat, maka sudah merupakan hal yang wajar. Karena memang itulah karakternya. Itulah madzhab. Boleh ditinggalkan karena tidak ada kewajiban untuk mengikuti yang bukan rasul.

Dalam menjelaskan juga akan dengan jujur dikatakan bahwa ini adalah madzhab fulan. Itu adalah madzhab fulan. Yang kita ikuti hanyalah Rasulullah. Dan madzhab adalah jembatan penghubung paling otoritatif. Namun jika jembatan yang dibangun Imam Syafi’i lebih menentramkan hati dalam argumentasi, sangat boleh bagi yang bukan syafi’i (bermadzhab syafi’i) untuk untuk menyeberang atau beralih diri menjadi syafi’i.

c. Madzhab itu bisa berubah-ubah

Karena perangkat ijtihad yang dimiliki oleh para mujtahid itu bisa berkembang dan meningkat, maka sangat logis jika hasil kesimpulan lama kemudian ditinggalkan untuk dirubah menjadi kesimpulan baru yang diprediksi lebih mendekati kebenaran. Ini boleh terjadi dan memang terjadi untuk madzhabmadzhab yang kita kenal.

Akan tetapi, hal itu sangat tidak boleh terjadi untuk sebuah madzhab bernama ‘madzhab Rasulullah’. Walaupun memang dulu ada konsep nasikh mansukh yang meniscayakan perubahan hukum, akan tetapi itu terjadi karena turunnya wahyu. Sedangkan setelah Rasulullah wafat, maka tidak boleh sama sekali ada yang mengaku telah diturunkan padanya wahyu. Jika ada orang yang seperti ini, dan Abu Bakar masih hidup, siap-siap saja dia dipenggal lehernya.

d. Madzhab itu produk akal

Hakikatnya, apa yang diklaim sebagai ‘madzhab rasulullah’ juga merupakan produk akal. Madzhab tersebut sama sekali bukan sabda rasul itu sendiri. Madzhab tersebut adalah hasil pemahaman akal seseorang terhadap sabda rasul tersebut. Namun dengan berani orang tersebut memastikan bahwa pemahaman ini adalah madzhab rasulullah.

Padahal pada saat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad menggunakan akal besar mereka dalam memahami sabda rasul, mereka tidak serta merta kemudian mengklaim ini adalah madzhab rasulullah. Imam Syafi’i misalnya tetap mengatakan satu ungkapan populer yang maknanya “madzhabku memang benar, tapi mengandung kemungkinan salah”

Dan kita tahu kesimpulan beliau sampai menjadi sebuah madzhab adalah berasal dari sebuah kerja analisis dengan modal perangkat yang susah untuk kita deskripsikan bagaimana mencapainya. Itulah ijtihad yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah sampai pada kapasitas mujtahid. Tapi sehebat ini, tetap saja itu adalah kerja akal dan bukan wahyu. Sedangkan ‘madzhab rasulullah’ mengisyaratkan bahwa itu adalah wahyu.

Baca Juga: