Menu Tutup

Ketentuan Hukum Multiakad dalam Go Food

Ketentuan Hukum Multiakad

Hukum multi akad (melakukan dua akad dalam satu kali transaksi) tidak semua dilarang dan haram tergantung kepada jenis akadnya. Ibnu Taimiyyah mengatakan hukum mua’amalat di dunia pada dasarnya adalah boleh kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang haram kecuali apa yang Allah haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang Allah syariatkan.[1] Ibnu alQayyim juga mengatakan, “Hukum asal dalam akad (perikatan) dan persyaratan adalah sah kecuali apa yang dianggap batal dan dilarang oleh syari’.”[2]

Maka dari itu para ulama kemudian mencari dalil pengecualian untuk menentukan keharaman multi akad lalu kemudian merumuskan ketentuanketentuan untuk membedakan mana multiakad yang halal dan mana yang haram.

Dr. Nazih Hammad merangkum setidaknya ada tiga ketentuan yang dirumuskan oleh para ulama untuk memberikan batasan terhadap hukum multi akad.[3]

1. Tidak ada nas syar’i yang melarang

Multi akad yang boleh adalah yang tidak terdapat nash syar’i yang menyatakan keharamannya. Setidaknya ada tiga nash hadits yang menyatakan larangan multi akad, pertama larangan bai’atain fi bai’ah, kedua larangan shafqatain fi shafqah dan ketiga larangan bai’ wa salaf.

Hadits larangan pertama dan kedua tentang bai’atain fi bai’ah dan shafqatain fi shafqah sudah dijelaskan di pembahasan sebelumnya. Di mana penafsiran yang paling kuat bahwa yang dimaksud dengan keduanya adalah jual beli dengan dua harga sekaligus yang mengakibatkan timbulnya gharar atau jual beli ‘inah yang mempunyai ‘illat riba.

Sedangkan larangan yang ketiga yaitu larangan bai’ wa salaf (menggabungkan jual-beli dan hutang) barsumber dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Syafi’i dan Imam Malik bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang gabungan jual-beli dan hutang. Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Tirmidzi.[4]

Ishaq bin Manshur –sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Ali Muhyiddin—bertanya kepada Imam Ahmad tentang makna dari menggabungkan jual beli dan hutang, kemudian Imam Ahmad menjawab, “Seseorang memberi pinjaman kepada orang lain sekaligus menjual sesuatu kepadanya dengan harga yang dilebihkan. Atau dia memberinya pinjaman sekaligus mengambil barangnya (sebagai jaminan) dengan perjanjian kalau dia tidak bisa membayar maka barang tersebut otomatis dia beli seharga uang yang dia pinjamkan.”[5]

Dr. Ali Muhyiddin kemudian menjelaskan maksud dari penafsiran Imam Ahmad yang pertama adalah adanya rekayasa ke arah riba, di mana orang yang diberi pinjaman disyaratkan oleh pemberi pinjaman untuk membeli barangnya dengan harga yang lebih tinggi. Sehingga hal tersebut dilarang karena termasuk ke dalam nilai tambah yang diambil oleh pemberi pinjaman atas hutang yang dia berikan. Sedangkan penafsiran kedua, dilarang karena adanya unsur ketidakjelasan status akad antara jual beli atau hutang. [6]

2. Tidak mengarah kepada hal yang dilarang

Termasuk multi akad yang diharamkan adalah multi akad yang pada dasarnya jika berdiri sendiri hukumnya boleh, tetapi kemudian direkayasa untuk mengarah kepada hal yang dilarang. Contohnya jual beli ‘inah (menjual barang secara kredit lalu dibeli kembali secara tunai dengan harga yang lebih murah). yang mana jika akad jual beli-nya berdiri sendiri hukumnya boleh namun ketika digabung, mengarah kepada hal yang dilarang yaitu riba.

3. Tidak saling bertolak belakang

Dr. Nazih Hammad mengutip pendapat jumhur ulama bahwa akad-akad yang digabung walaupun memiliki perbedaan syarat atau hukum pada dasarnya boleh sebab hukum asal dalam muamalah adalah boleh dan halal kecuali jika ada dalil yang melarang.

Akan tetapi jika akad-akad yang digabung tersebut memiliki konsekuensi yang saling bertolak belakang maka hukumnya haram. Contohnya, menjual barang sekaligus menghibahkannya, atau menghibahkan sesuatu sekaligus menyewakannya.[7]

GO-FOOD dalam Analisis Fiqih

Di atas sudah  kita jelaskan secara rinci hadits tentang larangan multi akad, baik yang memakai redaksi bai’atain fi bai’ah, shafqatain fi shafqah, maupun bai’ wa salaf dan bagaimana penafsiran para ulama terhadap hadits-hadits tersebut. Di samping itu, di atas juga sudah dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan multi akad dalam perspektif ilmu fiqih.

Permasalahan kita kemudian adalah apakah larangan-larangan dalam hadits tersebut relevan untuk kita terapkan pada transaksi GO-FOOD di mana sebagian kalangan mengharamkan transaksi tersebut karena dianggap termasuk ke dalam kategori multi akad yang dilarang.

Jika dilihat dari skema transaksi yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, dipahami bahwa ada dua akad yang terjadi dalam transaksi tersebut, yaitu akad ijarah dan akad qardh. 

Akad ijarah (sewa) terjadi pada saat pelanggan meminta driver untuk mengantarkan makanan pesanannya ke tempatnya, lalu kemudian pelanggan membayar ongkos kirim kepada driver tersebut. Pelanggan, di sini berlaku sebagai mu’jir (penyewa jasa), sedangkan driver sebagai ajir (penyedia jasa), dan ongkos kirim yang dibayarkan sebagai ujrah (upah)nya.

Sedangkan akad qardh (hutang) terjadi ketika driver menalangi pembayaran pesanan dari pelanggan yang kemudian diganti oleh pelanggan pada saat driver mengantarkan pesanan tersebut. Maka driver berlaku sebagai muqridh (pemberi pinjaman) dan pelanggan sebagai muqtaridh (peminjam).

Maka dalam hal ini transaksi GO-FOOD menggabungkan dua akad sekaligus yaitu ijarah dan qardh. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah apakah gabungan dua akad ini masuk ke dalam kategori gabungan akad yang diharamkan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita akan coba mencocokkan skema transaksi GO-FOOD dengan ketentuan multi akad yang sudah dibahas di pembahasan sebelumnya.

Pada ketentuan pertama, multi akad yang diharamkan adalah multi akad yang masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah/shafqatain fi shafqah atau bai’ wa salaf. Penafsiran bai’atain fi bai’ah paling kuat menurut mayoritas ulama adalah jual beli dengan dua harga tanpa ditentukan harga mana yang diambil. Jika mengacu pada penafsiran ini, jelas transaksi GO-FOOD tidak masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena harga makanan yang ditagihkan kepada pelanggan adalah harga pasti yang sesuai dengan harga toko di mana makanan itu dijual.[8]

Sedangkan penafsiran lain dari bai’atain fi bai’ah yang dianggap relevan oleh Dr. Nazih Hammad adalah penafsiran Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim yaitu jual beli ‘inah (jual beli kamuflase untuk mendapatkan pinjaman berbunga). Dengan penafsiran ini pun transaksi GO-FOOD tidak masuk ke dalam kategori bai’atain fi bai’ah karena praktek jual beli ‘inah sama sekali tidak terjadi dalam skema transaksinya.

Kemudian apakah transaksi GO-FOOD termasuk ke dalam kategori bai wa salaf (gabungan akad jual beli dan hutang)? Sekilas memang sepertinya transaksi di dalam GO-FOOD menggabungkan antara jual beli dan hutang, karena ijarah termasuk ke dalam jual beli jasa/manfaat. Tetapi tentu saja hadits larangan bai wa salaf tidak dipahami oleh para ulama secara tekstual.

Jika kita merujuk kepada penafsiran Imam Ahmad, yang juga dipilih oleh Dr. Ali Muhyiddin, bahwa yang dimaksud menggabungkan jual beli dan hutang adalah yang sifatnya mengarah kepada riba yaitu jika si pemberi pinjaman mensyaratkan kepada peminjam untuk membeli barang darinya dengan harga yang dilebihkan.

Artinya di sini si pemberi pinjaman mengeksploitasi si peminjam dengan mengambil manfaat darinya berupa pembelian barang dengan harga mahal, dan dengan terpaksa si peminjam menerima hal itu karena kebutuhan akan pinjaman tersebut. Dengan kata lain si pemberi pinjaman di sini menjadi pihak yang dominan.

Dalam transaksi GO-FOOD hal tersebut tidak terjadi karena driver sebagai pemberi pinjaman (muqridh) tidak menjadi pihak yang dominan dan tidak menerima manfaat dari pelanggan berupa mark-up  harga makanan yang dipesan oleh pelanggan, melainkan harga yang dibayarkan adalah harga yang sama dengan harga normal yang dijual di toko atau restoran.

Sehingga ‘illat riba di sini tidak ada karena pinjaman yang diberikan oleh driver hanya karena alasan kepraktisan semata, bukan dengan tujuan ingin mendapatkan nilai tambah atas pinjaman tersebut.

Kemudian jika melihat ketentuan hukum multi akad yang kedua di mana yang diharamkan adalah multi akad yang direkayasa untuk mengarah kepada hal yang dilarang, maka transaksi GO-FOOD juga tidak memenuhi kriteria tersebut. Karena akad ijarah dan akad qardh di dalamnya tidak dilakukan untuk rekayasa kepada hal yang dilarang melainkan akad qardh terjadi karena sekedar ‘efek samping’ dari transaksi tersebut.

Begitu juga dalam ketentuan ketiga disebutkan bahwa multi akad yang dilarang adalah jika akadakad yang digabung menghasilkan konsekuensi hukum yang saling bertolak belakang. Sedangkan akad ijarah dan qardh dalam transaksi GO-FOOD sama sekali tidak bertolak belakang, melainkan justru saling menopang dan memudahkan.

Sebab jika driver tidak menalangi pembayaran, pemesan akan kesulitan karena harus mentransfer uang terlebih dahulu ke rekening driver. Maka untuk alasan kemudahan itulah kemudian driver melakukan akad qardh dengan menalangi pembelian makanan yang dipesan oleh pelanggan. Dan pelanggan tinggal menggantinya ketika driver telah sampai ke tempatnya.

[1] Ibnu Taimiyyah, Jami’ ar-Rasail (Riyadh, Darul ‘Atha cet. 1 tahun 2001), juz 2, hlm. 317.

[2] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin (Saudi, Dar Ibnul Jauzi cet. 1 tahun 1423 H), juz 3, hlm. 107.

[3] Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi al-Mal wa al-Iqtishad, hlm. 252.

[4] Abu Isa at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi (Mesir, Mathba’ah Mushtafa al-Babi al-Halabi, cet. II tahun 1975), juz 3, hlm. 527.

[5] Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyyah Mu’ashirah, hlm. 368.

[6] Lihat: Dr. Ali Muhyiddin, Buhuts fi Fiqh al-Mu’amalat alMaliyyah al-Mu’ashirah, hlm. 368.

[7] Lihat: Dr. Nazih Hammad, Qadhaya Fiqhiyyah Mu’ashirah fi Mal wa al-Iqtishad, hlm. 269.

[8] Hal ini sebagaimana yang tertera dalam syarat dan ketentuan transaksi GO-JEK di website resminya (www.gojek.com/terms) yang berbunyi: “Anda setuju dan mengakui bahwa Anda akan membayar sesuai dengan tanda terima yang diterbitkan oleh restoran atau toko yang diserahkan oleh Penyedia Layanan kepada Anda dalam menggunakan layanan Pengiriman Makanan dan Pembelanjaan Pribadi.”

Sumber: Muhammad Abdul Wahab, Benarkah Go-Food Haram? , Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Baca Juga: