Menu Tutup

Kewajiban Bekerja dalam Islam

Sudah menjadi kewajiban manusia sebagai makhluk yang memiliki banyak kebutuhan dan kepentingan dalam kehidupannya untuk berusaha memenuhinya. Seorang muslim haruslah menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Tidaklah semata hanya berorientasi pada kehidupan akhirat saja, melainkan harus memikirkan kepentingan kehidupannya di dunia. Untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, wajiblah seorang muslim untuk bekerja.

Bekerja adalah  kodrat   hidup,   baik kehidupan  spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang. Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji, seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini, ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, al-Qur’ān diturunkan sebagai spirit hidup, sekaligus sebagai nur (cahaya) yang tak kunjung padam agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat.

Dalam al-Qur’ān maupun hadis, banyak ditemukan literatur yang memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dalam rangka memenuhi dan melengkapi kebutuhan duniawi. Salah satu perintah Allah kepada umat-Nya untuk bekerja termaktub dalam Q.S. at-Taubah/9:105 berikut ini:

Artinya: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang maha mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. at-Taubah/9: 105)

Q.S. at-Taubah/9: 105 menjelaskan, bahwa Allah Swt. memerintahkan kepada kita untuk semangat dalam melakukan amal saleh sebanyak-banyaknya. Allah Swt. akan melihat dan menilai amal-amal tersebut. Pada akhirnya, seluruh manusia akan dikembalikan kepada Allah Swt. dengan membawa amal perbuatannya masing-masing. Mereka yang berbuat baik akan diberi pahala atas perbuatannya itu. Mereka yang berbuat jahat akan diberi siksaan atas perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.

Sebutan lain dari ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation. Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akhirat. Namun, penekanan kepada akhirat itu lebih penting daripada penekanan kepada dunia (dalam hal ini materi).

Ayat di atas juga menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah Swt. pasti membalas semua yang telah kita kerjakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah penegasan Allah  Swt. bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.

Umat Islam dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan melakukan “tobat” saja, tetapi harus dibarengi dengan usaha-usaha untuk melakukan perbuatan terpuji yang lainnya, seperti menunaikan zakat, membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongan, menyegerakan untuk mengerjakan ṡalat, saling menasihati teman dalam hal kebenaran dan kesabaran, dan masih banyak lagi usaha-usaha lain yang sangat terpuji. Semua itu dilakukan atas dasar taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. dan yakin bahwa Allah Swt. pasti menyaksikan itu.

Ayat ini pun berisi peringatan bahwa perbuatan mereka itu pun nantinya akan diperlihatkan pula kepada rasul dan kaum muslimin lainnya kelak di hari kiamat. Dengan demikian, akan terlihatlah kebajikan dan kejahatan yang mereka lakukan sesuai amal perbuatannya. Bahkan, di dunia ini pun sudah sering kita saksikan, bagaimana gambaran orang-orang yang berbuat jahat seperti pencuri, penipu, pemerkosa, koruptor, dan lain sebagainya.

Banyaknya berita tentang korupsi, bagaimana koruptor dipertontonkan di ruang publik. Ini menandakan bahwa di dunia pun perbuatan kita sudah bisa dipertontonkan. Apalagi kelak di akhirat yang pasti sangat nyata dan tidak bisa ditutup-tutupi.

Dari Miqdam ra. dari Nabi saw. beliau bersabda: “Tidak seorang pun yang makan lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri. Sungguh Nabi Daud as. makan hasil usahanya.” (HR. Bukhari)

Baca Juga: