Kalau menilik betapa para ulama masih saja berbeda pendapat tentang kapan jatuh malam Qadar, maka yang jadi pertanyaan buat kita adalah bagaimana kita bisa mendapatkannya secara pasti?
Kejar di 30 Malam
Jawabnya sederhana saja, kejar saja malam Qadar itu pada tiap malam dari bulan Ramadhan, sejak malam pertama hingga malam yang terakhir, sepanjang 30 malam secara semuanya. Dijamin pasti kita akan bertemu dengan malam yang lebih dari seribu bulan itu.
Ibarat mencari seekor ikan dalam kolam, kita tidak menangkapnya dengan tangan kosong, juga tidak menggunakan alat pancing tetapi kita menggunakan serokan atau jala. Kalau ditangkap pakai tangan, ikannya akan lari kemana-mana.
Begitu juga kalau dipancing belum tentu ikannya datang menghampiri umpan. Biar pasti dapatnya, maka kita gunakan jala atau serokan. Pasti ikannya tertangkap. Toh dia tidak akan pindah meloncat ke kolam yang lain.
Malam Qadar itu memang tidak kita bisa ketahui tanggalnya secara pasti. Tetapi malam itu juga tidak akan pindah ke bulan lainnya.
Tidak mungkin muncul malam Qadar di Bulan Muharram, Syawwal, Dzulhijjah atau bulan-bulan lainnya. Malam itu akan ’terkurung’ hanya di bulan Ramadhan saja, yang jumlah malamnya maksimal hanya 30 malam saja.
Apakah Harus Begadang Sepanjang Malam Selama 30 Malam?
Kalau sekedar mendapatkan malam Qadar, tentu saja tidak harus begadang sepanjang malam.
Karena intinya memang bukan perintah begadang. Intinya adalah mendapatkannya, meskipun di malam itu kita tidak sepenuhnya melakukan shalat malam terus-terusan.
Pahala Shalat Tarawih Seperti Ibadah Sepanjang Malam
Ada jenis ibadah yang meski hanya sebentar dikerjakan, namun pahalanya seperti mengerjakannya sepanjang malam. Ibadah itu adalah tarawih berjamaah, sampai selesai witir bersama imam. Nabi SAW bersabda :
Barang siapa shalat malam bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) salat satu malam (penuh). (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah)
Sekedar komen, sekelas Albani pun menshahihkan hadits ini, meski pun tidak terlalu penting juga komentarnya. Toh sudah banyak pakar hadits yang menshahihkan, termsauk At-Tirmizi sendiri.
Isyarat Al-Quran : Tidak Sepanjang Malam
Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT berfirman tentang masyru’iyah shalat malam atau shalat tahajjud pada beberapa ayat yang berbeda.
Wahai orang yang berselimut, bangunlah (untuk shalat) pada malam hari kecuali sedikit, yaitu setengahnya atau kurang dari itu sedikit. (QS. Al-Muzzammil : 1-3)
Kalau kita baca ayat ini nampak sekali bahwa qiyamullail itu tidak harus sepanjang malam atau semalam suntuk. Apalagi kalau dilihat bahwa ayat ini sebenarnya adalah ayat-ayat yang pertama kali turun sejak Rasulullah SAW diutus menjadi Nabi dan Rasul.
Isinya adalah perintah shalat di malam hari dalam bilangan waktu yang cukup lama. Sebab di dalam ayat ini perintahnya adalah untuk bangun sepanjang malam kecuali sedikit. Berarti lebih banyak begadangnya dari pada tidak begadangnya.
Namun kemudian Allah SWT mengurangi ‘jatah’ begadang sehingga menjadi setengahnya saja bahkan kurang dari itu. Perhatikan bagian akhir dari surat Al-Muzzammil :
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. (QS. Al-Muzzammil : 20)
Sebagian ulama ada yang mengartikan perintah Bacalah apa yang mudah dari Al-Quran maksudnya bahwa dibolehkan atau dipersilahkan untuk shalat yang tidak terlalu panjang dalam shalat malam. Artinya tidak harus begadang sepanjang malam.
Perintah Menggauli Istri di Malam Ramadhan
Bahkan istri kita pun punya hak yaitu untuk digauli. Bukankah ayat-ayat tentang puasa Ramadhan di dalam Al-Quran justru memerintahkan untuk melakukan hubungan suami istri di malam harinya?
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu (QS. Al-Baqarah : 187)
Hadits Tubuh Punya Hak
Ada kisah menarik tentang salah seorang shahabat yang bernama Abu Ad-Darda’, dimana beliau maunya shalat sepanjang malam, lalu ditegur oleh shahabat yang lain. Berikut petikannya :
Sesungguhnya untuk Tuhanmu itu ada hak atas dirimu, untuk dirimu sendiri juga ada hak atasmu, untuk keluargamupun ada hak atasmu. Maka berikanlah kepada setiap yang berhak itu akan haknya masing-masing. (HR Al-Bukhari)
Tegas sekali petunjuk Nabi SAW yang diucapkan oleh Salman Al-Farisiy radhiyallahuanhu, bahwa ibadah kepada Allah SWT itu tidak harus dengan cara begadang semalam suntuk. Sebab tubuh kita juga punya hak, yaitu beristirahat.
Apakah Harus Dengan I’tikaf di Masjid?
Pertanyaan semacam ini memang sangat banyak bermunculan, khususnya ketika sedang terjadi sosial distancing kalau ada wabah Corona dan kita dihimbau tidak berkumpul di masjid, baik untuk shalat lima waktu, shalat Jumat, termasuk juga beri’tikaf.
Jawabannya sederhana saja, yaitu mengapai Lailatul Qadar itu tidak disyaratkan harus dengan cara beri’tikaf di masjid. Walaupun tidak dinafikan bahwa beri’tikaf itu pahalanya sangat besar.
Namun keliru kalau Lailatul Qadar hanya didapat oleh mereka yang melakukan I’ tikaf saja. Ada beberapa hujjah yang mendukung masalah ini, antara lain :
Masa Turun Surat Al-Qadar
Memang sebagian ulama menyebutkan bahwa surat Al-Qadar Madaniyah, yaitu turun ketika Nabi SAW sudah hijrah ke Madinah.
Namun ternyata Kemadaniyahannya tidak bulat, sebagian kalangan menyebutkan bahwa surat ini Makkiyah, alias turun ketika di masa Nabi SAW masih di Mekah dan belum lagi hijrah ke Madinah.
Lalu apa hubungannya dengan beri’tikaf di masjid?
Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika masih di Mekah, belum lagi di bangun masjid, baik untuk shalat lima waktu atau pun untuk beri’tikaf. Tidak kurang 13 tahun lamanya Nabi SAW dan para
shahabat tinggal di Mekah, tanpa keberadaan masjid sebagai pusat ibadah.
Masjid di masa kenabian baru dibangun pertama kali di Madinah, 14 tahun setelah beliau diangkat menjadi seorang nabi utusan Allah SWT. Masjid itu kita kenal dengan masjid An-Nabawi.
Sementara ayat yang bercerita tentang Lailatul Qadar turunnya di Mekkah. Kalau kita membuat syarat bahwa Lailatul Qadar itu tidak bisa didapat kecuali hanya dengan cara beri’tikaf di masjid, maka terjadi kontradiksi besar.
Buat apa ada iming-iming Lailatul Qadar yang nilainya seperti beribadah lebih dari 1000 bulan, kalau ternyata malah tidak bisa diamalkan?
Surat Al-Qadar Tidak Bicara I’tikaf
Di sisi lain, surat Al-Qadar sendiri hanya bercerita tentang malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Sama sekali tidak terkait dengan urusan beri’tikaf di masjid.
Maka kurang tepat kalau untuk meraih Lailatul Qadar hanya dengan cara beri’tikaf saja. Karena tidak ada dalil terkait dengan hal itu.
Namun kalau sekedar dikatakan bahwa Lailatul Qadar bisa diraih salah satunya dengan beri’tikaf, tentu benar adanya.
Apakah Wanita Haidh Bisa Mendapatkan Lailatul Qadar?
Pertanyaan ini terkait dengan cara pandang sebagian orang yang merasa bahwa Lailatul Qadar itu hanya bisa diperoleh lewat beritikaf di masjid.
Padahal itu adalah pandangan yang keliru dan kurang tepat.
Tanpa harus ke masjid sekalipun, kita semua bisa menggapai Lailatul Qadar. Karena yang akan dinilai itu bukan hanya nilai beri’tikaf saja, melaikan semua jenis ibadah yang dilakukan.
Terkait dengan wanita yang sedang haidh, termasuk juga yang sedang nifas, tentu saja tidak boleh masuk ke masjid. Selain itu bahkan juga tidak bisa melakukan shalat dan juga membaca atau melafadzkan Al-Quran. Memang demikian ketentuannya.
Namun apakah kalau sudah haidh atau nifas lantas tertutuplah para wanita dari mendapatkan keutamaan Lailatul Qadar?
Jawabannya tentu saja tidak tertutup, malah sangat terbuka kesempatannya. Meski pun pilihannya jadi agak terbatas, namun tetap masih ada banyak peluang.
Pilihan ibadahnya tentu bukan shalat, membaca Al-Quran atau pun berdiam diri di dalam masjid alias beri’tikaf. Semua itu memang terlarang.
Namun selain tiga jenis ibadah itu, sebenarnya masih ada begitu banyak jenis ibadah lain yang bisa dilakukan, misalnya dzikir, doa dan belajar ilmu agama.
Dzikir
Meski dalam keadaan tidak suci karena haidh atau nifas, namun dzikir secara lisan itu tidak dilarang. Yang dilarang hanya sebatas membaca ayat-ayat Al-Quran saja.
Bahkan para ulama sepakat apabila lafadz dzikir yang dibaca merupakan iqtibas atau petikan ayat Al-Quran, hukumnya tetap boleh dibaca oleh wanita yang sedang haidh atau nifas, selama niatnya bukan untuk membaca Al-Quran. Niatnya dzikir saja itu masih dibolehkan.
Misalnya mengucapkan subahnallah, wal hamdulillah, wa la ilaha illallah, wallahu akbar. Semua lafadz itu ada di dalam Al-Quran, namun boleh dibaca wanita haidh selama niatnya bukan membaca Al-Quran.
Perintah untuk beribadah dengan cara berdzikir itu jelas sekali di dalam Al-Quran.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran : 191)
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisa : 142)
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Rad : 28)
Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). (QS. Al-Ankabut : 45)
Doa
Berdoa adalah ibadah, bahkan menjadi inti dari ibadah, sebagaimana ungkapan :
Doa itu adalah sumsumnya ibadah. Dan tidak seperti membaca Al-Quran, berdoa itu tidak mensyaratkan pembacanya suci dari hadats, baik hadats kecil ataupun hadats besar.
Sehingga wanita yang sedang mendapat darah haidh atau nifas, tetap bisa rutin membaca doa.
Walaupun doa itu mengambil redaksi (iqtibas) dari Al-Quran, namun hukumnya dibolehkan, asalkan niatnya bukan untuk membaca Al-Quran, tetapi memang untuk berdoa.
Dan berdoa itu merupakan ibadah yang diperintahkan juga dalam agama, sebagaimana firman Allah SWT berikut :
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah : 186)
Belajar Ilmu Agama & Majelis Ilmu
Selain dzikir dan doa, belajar ilmu agama juga merupakan merupakan ibadah ritual yang punya nilai pahala yang teramat besar di sisi Allah SWT. Bahkan bisa lebih tinggi nilainya dari sekedar berdzikir dan berdoa semata.
Bukankah biasanya sebuah majelis ilmu itu kita awali dengan bacaan basmalah? Bukankah sebagian lagi malah diawali dengan tilawah?
Ada begitu banyak ayat Al-Quran dan hadits-hadits nabawi yang menyebutkan betapa tingginya nilai orang yang mencari ilmu, orang yang berilmu serta majelis ilmu.
“Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.).” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Para Nabi tidaklah mewariskan dirham dan dinar, akan tetapi mereka mewarisi ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, sungguh dia telah mengambil keberuntungan yang besar”. (HR. Abu Dawud).
“Segala sesuatu memintakan ampun bagi ahlul ilmi, sampai-sampai ikan di lautan.” (HR. Abu Ya’la)
“Sesungguhnya Allah, malaikat-malaikatNya, sampai semut di sarangnya, dan ikan di lautan bershalawat untuk orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Thabrani.)
Shalat Tarawih Tiap Malam Jangan Putus
Bila kita hanya berkonsentrasi mengejar malam Qadar sebatas di malam-malam ganjil di 10 malam yang terakhir saja, maka probabilitas (kemungkinan)
kita mendapatkannya hanya 5 malam dari 30 malam. Secara matematis, berarti kemungkinan keberhasilannya hanya 1/6 saja, atau sekitar 16% saja.
Peluang terjadinya kehilangannya justru jauh lebih besar, yaitu sekitar 84% meleset dari mendapatkan malam itu. Ini sesungguhnya sebuah angka yang terlalu besar resikonya.
Lalu untuk mendapatkan angka 100% kemungkinan mendapatkan malam Qadar, apakah kita harus melek begadang tiap malam selama sebulan penuh? Apakah nanti kondisi kesehatan kita malah menurun dan jatuh sakit?
Jawabnya tentu saja tidak harus begadang tiap malam selama sebulan. Sebab selain bisa jatuh sakit, produktifitas kerja kita di siang harinya pun pasti akan menurun jauh.
Maka cara efektif, efisien dan juga masuk akal adalah kita isi tiap malam dengan ibadah, tetapi tidak harus semalam suntuk.
Bila tiap malam kita ke masjid untuk mengerjakan rangkaian shalat Isya, disambung dengan shalat tarawih, disempurnakan dengan shalat witir, sebenarnya juga sudah sangat cukup untuk bisa menggapai malam Qadar.
Dalam hal ini yang kita fokuskan bukan begadang semalamannya, melainkan yang penting justru rutinitasnya, dan kalau bisa jangan sampai terputus.
Kemungkinan kita mendapatkan malam Qadar itu adalah ketika setiap malam kita rajin dan setia untuk mendapatkannya, dengan cara tidak melewatkannya walaupun hanya satu malam.
Untuk sekedar ikut shalat tarawih di masjid tiap malam, rasanya mudah saja dan masuk akal, sehat, efisien, efektif dan tetap produktif di siang harinya.
Sumber:
Ahmad Sarwat, Lc. MA., Jaminan Mendapat Lailatul Qada, (Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing)