Menu Tutup

Kondisi Sosial Masyarakat Mekah Sebelum Islam

Mekah adalah kota suci bagi umat Islam, tempat di mana Nabi Muhammad SAW lahir dan menerima wahyu pertama. Namun, sebelum Islam datang sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam, masyarakat Mekah hidup dalam keadaan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Mereka mengalami masa jahiliyah, yaitu masa kebodohan dan ketidaktahuan tentang Allah SWT dan ajaran-ajaran-Nya. Dalam artikel ini, kita akan membahas kondisi sosial masyarakat Mekah sebelum Islam, meliputi aspek kepercayaan, ekonomi, politik, hukum, dan budaya.

Kepercayaan Masyarakat Mekah Sebelum Islam

Menurut buku Sejarah Kebudayaan Islam publikasi Kementerian Agama (2014: 11-12)1, pada awalnya masyarakat Mekah adalah penganut agama tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Nabi Ismail AS. Namun sepeninggal Nabi Ismail, mereka mulai berpaling dari Allah SWT dan menyembah berbagai macam berhala. Berhala-berhala tersebut ditempatkan di sekitar Ka’bah, yang merupakan bangunan suci yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Salah satu berhala yang paling terkenal adalah Hubal, yang dianggap sebagai dewa tertinggi oleh kaum Quraisy.

Selain menyembah berhala, ada juga kepercayaan lain yang berkembang di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Sebagian dari mereka menyembah jin, hantu, dan roh leluhur. Mereka percaya bahwa makhluk-makhluk halus tersebut dapat memberikan manfaat atau mudarat bagi mereka. Oleh karena itu, mereka sering mengurbankan binatang atau tumbuhan sebagai persembahan agar mendapatkan perlindungan atau keselamatan dari gangguan makhluk halus.

Ekonomi Masyarakat Mekah Sebelum Islam

Masyarakat Mekah pada masa pra-Islam memiliki kemajuan di bidang ekonomi, terutama dalam perdagangan dan pertanian. Hal ini tidak lepas dari letak geografis Mekah yang berada di jalur perdagangan antara Yaman dan Syam (Suriah). Mekah menjadi tempat persinggahan para pedagang yang membawa barang-barang seperti rempah-rempah, kain sutra, perhiasan, senjata, dan lain-lain. Kaum Quraisy, yang merupakan keturunan Nabi Ismail, mendominasi perdagangan di Mekah dan menjadi golongan yang paling kaya dan berpengaruh.

Selain perdagangan, sumber pendapatan masyarakat Mekah juga berasal dari pertanian. Meskipun tanah di sekitar Mekah tidak subur, namun mereka dapat memanfaatkan air Zamzam yang mengalir dari sumur suci yang ditemukan oleh Nabi Ismail. Air Zamzam digunakan untuk mengairi tanaman-tanaman seperti kurma, anggur, gandum, dan sayuran. Selain itu, mereka juga memelihara ternak seperti unta, kambing, domba, dan sapi.

Politik Masyarakat Mekah Sebelum Islam

Masyarakat Mekah pada masa pra-Islam tidak memiliki sistem pemerintahan yang terpusat atau terorganisir. Mereka hidup dalam bentuk suku-suku atau kabilah-kabilah yang saling bersaing dan bertikai satu sama lain. Setiap suku memiliki pemimpin atau kepala suku yang disebut syaikh. Syaikh bertugas untuk menjaga kepentingan dan kehormatan suku mereka. Syaikh juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik yang terjadi antara anggota suku atau antara suku-suku.

Salah satu faktor yang memicu persaingan dan permusuhan antara suku-suku adalah sumber daya alam yang terbatas. Misalnya, sumber air yang langka dan vital bagi kehidupan mereka. Sering terjadi perang antara suku-suku yang berebut hak atas sumur-sumur atau mata air. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan konflik adalah dendam kesumat, balas dendam, atau gengsi. Jika ada anggota suku yang terbunuh atau terluka oleh anggota suku lain, maka suku korban akan menuntut balas dengan membunuh atau melukai anggota suku pelaku. Hal ini dapat berlangsung berulang-ulang dan menimbulkan siklus kekerasan yang tidak berkesudahan.

Meskipun masyarakat Mekah tidak memiliki pemerintahan yang resmi, namun mereka memiliki lembaga-lembaga sosial yang berfungsi untuk mengatur kehidupan mereka. Beberapa lembaga tersebut adalah:

  • Dar an-Nadwah: yaitu tempat pertemuan para pemimpin suku-suku untuk membahas masalah-masalah penting yang berkaitan dengan kepentingan bersama, seperti perdagangan, perang, perdamaian, dan lain-lain. Dar an-Nadwah juga menjadi tempat penyimpanan barang-barang berharga milik masyarakat Mekah, seperti bendera perang, senjata, dan harta rampasan perang.
  • Hilf al-Fudhul: yaitu perjanjian atau persaudaraan antara beberapa suku yang bertujuan untuk membela hak-hak orang-orang yang lemah, tertindas, atau dizalimi. Hilf al-Fudhul dibentuk setelah terjadi kasus penipuan terhadap seorang pedagang asing oleh seorang anggota suku Quraisy. Nabi Muhammad SAW, yang saat itu masih remaja, turut serta dalam perjanjian ini dan menyatakan bahwa ia akan mendukungnya meskipun setelah Islam datang.
  • Hajar al-Aswad: yaitu batu hitam yang dipercaya sebagai batu dari surga yang diletakkan di salah satu sudut Ka’bah oleh Nabi Ibrahim AS. Hajar al-Aswad menjadi lambang persatuan dan kehormatan bagi masyarakat Mekah. Setiap kali ada upacara ibadah atau perayaan di sekitar Ka’bah, para pemimpin suku-suku akan bersalaman dan berciuman dengan Hajar al-Aswad sebagai tanda penghormatan dan kesepakatan.

Hukum Masyarakat Mekah Sebelum Islam

Masyarakat Mekah pada masa pra-Islam tidak memiliki hukum yang tertulis atau baku. Mereka mengikuti hukum adat atau tradisi yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Hukum adat tersebut bersifat fleksibel dan dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan kepentingan. Beberapa contoh hukum adat yang berlaku di masyarakat Mekah adalah:

  • Qishash: yaitu hukum balas dendam atau setimpal. Jika ada orang yang membunuh atau melukai orang lain, maka keluarga korban berhak untuk membunuh atau melukai orang tersebut atau keluarganya dengan cara yang sama. Qishash dapat dihindari dengan membayar diyat atau tebusan kepada keluarga korban.
  • Wala’: yaitu hubungan perlindungan atau perlindungan antara orang-orang yang bukan kerabat darah. Biasanya wala’ terjadi antara orang-orang kaya atau kuat dengan orang-orang miskin atau lemah. Orang-orang kaya akan memberikan bantuan materi atau perlindungan kepada orang-orang miskin, sedangkan orang-orang miskin akan memberikan loyalitas atau jasa kepada orang-orang kaya.
  • Ila’: yaitu sumpah seorang suami untuk tidak bersetubuh dengan istrinya dalam jangka waktu tertentu. Biasanya ila’ dilakukan sebagai bentuk hukuman atau ancaman kepada istri yang dianggap tidak patuh atau tidak setia. Jika suami tidak membatalkan sumpahnya dalam waktu empat bulan, maka perceraian akan terjadi secara otomatis.

Budaya Masyarakat Mekah Sebelum Islam

Masyarakat Mekah pada masa pra-Islam memiliki budaya yang khas dan beragam. Budaya tersebut mencerminkan karakteristik mereka sebagai bangsa Arab yang hidup di lingkungan gurun yang keras dan tandus. Beberapa aspek budaya yang dapat kita lihat adalah:

  • Bahasa: Bahasa Arab adalah bahasa utama yang digunakan oleh masyarakat Mekah. Bahasa Arab memiliki kekayaan kosakata, tata bahasa, dan sastra yang tinggi. Masyarakat Mekah sangat menghargai kemampuan berbahasa, terutama dalam bidang puisi dan pidato. Puisi dan pidato adalah media untuk menyampaikan perasaan, pikiran, ide, nasihat, kritik, pujian, atau celaan. Puisi dan pidato juga menjadi alat untuk menunjukkan kecerdasan, keindahan, keberanian, atau kebanggaan seseorang atau suku. Salah satu contoh puisi yang terkenal adalah Mu’allaqat, yaitu tujuh puisi terbaik yang digantung di dinding Ka’bah sebagai penghargaan.
  • Pakaian: Pakaian masyarakat Mekah pada umumnya terbuat dari kain wol atau katun yang ringan dan nyaman. Pakaian mereka disesuaikan dengan iklim dan kebiasaan mereka. Pakaian laki-laki biasanya terdiri dari kain panjang yang disebut izar yang dililitkan di pinggang dan kain pendek yang disebut ridha yang dikenakan di atas bahu. Pakaian perempuan biasanya terdiri dari kain panjang yang disebut khimar yang menutupi seluruh tubuh dan kain pendek yang disebut jilbab yang menutupi kepala dan leher. Pakaian mereka juga dilengkapi dengan aksesori seperti ikat pinggang, gelang, kalung, anting-anting, atau cincin.
  • Makanan: Makanan masyarakat Mekah pada umumnya sederhana dan sehat. Mereka mengonsumsi makanan yang mudah didapat dan disiapkan, seperti kurma, roti, susu, daging, sayuran, dan buah-buahan. Mereka juga menyukai makanan yang berbumbu atau beraroma, seperti madghut (nasi dengan daging kambing), tharid (sup daging dengan roti), atau hays (kurma dicampur dengan mentega). Mereka tidak mengonsumsi makanan yang diharamkan oleh agama sebelumnya, seperti babi, darah, bangkai, atau minuman keras.
  • Seni: Seni masyarakat Mekah pada umumnya bersifat lisan atau oral. Selain puisi dan pidato, mereka juga memiliki seni bercerita atau dongeng yang disebut hikayat. Hikayat adalah cerita-cerita tentang sejarah, legenda, mitos, atau dongeng rakyat yang mengandung hikmah atau pesan moral. Hikayat biasanya diceritakan oleh orang-orang tua atau ahli cerita yang disebut rawi. Selain itu, mereka juga memiliki seni musik dan tari yang disebut al-ghina wa al-raqs. Al-ghina wa al-raqs adalah musik dan tari yang menggambarkan suasana hati atau perasaan seseorang atau kelompok. Musik dan tari biasanya diiringi oleh alat-alat musik seperti rebana, tamburin, seruling, atau gitar.

Sumber:
(1) Kondisi Masyarakat Mekkah Sebelum Islam Hadir | kumparan.com. https://kumparan.com/berita-hari-ini/kondisi-masyarakat-mekkah-sebelum-islam-hadir-1vAwCZLK0vx.
(2) Bagaimana Kondisi Sosial Masyarakat Mekkah Sebelum Islam?. https://www.pikiranmuslim.com/bagaimana-kondisi-sosial-masyarakat-mekkah-sebelum-islam/.
(3) Kondisi Sosial Masyarakat Mekkah Sebelum Islam – PikiranMuslim. https://www.pikiranmuslim.com/kondisi-sosial-masyarakat-mekkah-sebelum-islam/.

Baca Juga: