Menu Tutup

Lelang (Muzayadah) : Pengertian, Hukum dan Pendapat ulama’ tentang jual beli dengan sistem lelang

Pengertian Lelang (Muzayadah)

Lelang Merupakan suatu bentuk penawaran barang kepada penawar yang pada awalnya  membuka lelang dengan harga rendah kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi sehinga pada akhirnya penawar dengan harga yang paling tinggi mendapatkan barang  yang dilelangkan.

Lelang juga dapat berupa penawaran barang pada mulanya membuka lelang dengan harga tinggi, kemudian semakin menurun sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan tawaran tertinggi yang disepakati penjual melalui juru lelang (auctioneer) sebagai kuasa penjual untuk melakukan lelang, dan biasanya ditandai dengan ketukan (disebut lelang turun). Lelang ini dipakai pula dalam praktik penjualan saham di bursa efek di mana penjual dapat menawarkan harga yang diinginkan, tetapi jika tidak ada pembeli, penjual dapat menurunkan harganya sampai terjadi kesepakatan.

Dalam perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.

Pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi denganterjadinya akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.

Jual-beli secara lelang tidak termasuk praktik riba meskipun ia dinamakan bai’ muzayyadah dari kata ziyadah  yang bermakna tambahan sebagaimana makna riba, namun pengertian tambahan di sini berbeda. Dalammuzayyadah yang bertambah adalah penawaran harga lebih dalam akad jual beli yang dilakukan oleh penjual atau bila lelang dilakukan oleh pembeli maka yang bertambah adalah penurunan tawaran. Sedangkan dalam praktik riba tambahan haram yang dimaksud adalah tambahan yang tidak diperjanjikan dimuka dalam akad pinjam-meminjam uang atau barang ribawi lainnya.

Lebih jelasnya, praktik penawaran sesuatu yang sudah ditawar orang lain dapat diklasifikasi menjadi tiga kategori:

Pertama; Bila terdapat pernyataan eksplisit dari penjual persetujuan harga dari salah satu penawar, maka tidak diperkenankan bagi orang lain untuk menawarnya tanpa seizin penawar yang disetujui tawarannya.

 Kedua; Bila tidak ada indikasi persetujuan maupun penolakan tawaran dari penjual, maka tidak ada larangan syariat bagi orang lain untuk menawarnya maupun menaikkan tawaran pertama, sebagaimana analogi hadits Fathimah binti Qais ketika melaporkan kepada Nabi bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangnya, maka karena tidak ada indikasi persetujuan darinya terhadap pinangan tersebut, beliau menawarkan padanya untuk menikah dengan Usamah bin Zaid.

 Ketiga; Bila ada indikasi persetujuan dari penjual terhadap suatu penawaran meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, maka menurut Ibnu Qudamah tetap tidak diperkenankan untuk ditawar orang lain.

Hukum Lelang (muzayadah) menurut fiqih

Lelang adalah salah satu jenis jual beli dimana penjual menawarkan barang di tengah keramaian lalu para pembeli saling menawar dengan suatu harga. Namun akhirnya penjual akan menentukan, yang berhak membeli adalah yang mengajukan harga tertinggi. Lalu terjadi akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual

Dalam kitab-kitab fiqih atau hadits, jual beli lelang biasanya disebut dengan istilah bai’ al-muzayadah (adanya penambahan). Hukum lelang Dalam syariat Islam masih dalam tahap kontropersi yaitu ada diantaranya yang menyatakan boleh dan ada juga yang Mengatakan makruh hukmnya.

Pendapat ulama’ tentang jual beli dengan sistem lelang

Pendapat Ulama Madzhab yang membolehkan Jual Beli Dengan Sistem Lelang

Jual beli model lelang (muzayyadah) dalam hukum Islam adalah boleh mubah. Di dalam kitab Subulus salam disebutkan Ibnu Abdi Dar berkata, ”Sesungguhnya tidak haram menjual barang kepada orang dengan adanya penambahan harga (lelang), dengan kesepakatan di antara semua pihak.

Menurut Ibnu Qudamah Ibnu Abdi Dar meriwayatkan adanya ijma’ kesepakatan ulama tentang bolehnya jual-beli secara lelang bahkan telah menjadi kebiasaan yang berlaku di pasar umat Islam pada masa lalu. Sebagaimana Umar bin Khathab juga pernah melakukannya demikian pula karena umat membutuhkan praktik lelang sebagai salah satu cara dalam jual beli.

Dalil bolehnya lelang adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan juga Imam Ahmad.

Dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi saw dan dia meminta sesuatu kepada Nabi saw. Nabi saw bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. sepotong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi saw berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi saw bertanya, ”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi saw bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi saw menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi saw memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikannya kepada lelaki Anshar tersebut.

Untuk mencegah adanya penyimpangan syariah dan pelanggaran hak, norma dan etika dalam praktik lelang maupun praktek jual beli yang lain, syariat Islam memberikan panduan dan kriteria umum sebagai garis petunjuk diantaranya.

  1. Transaksi dilakukan oleh pihak yang cakap hukum atas dasar saling sukarela (’an taradlin).
  2. Objek lelang atau barang yang diperjual belikan harus halal dan bermanfaat.
  3. Kepemilikan penuh pada barang atau jasa yang dijual.
  4. Kejelasan dan transparansi barang atau jasa yang dilelang atau yang diperjual belikan tanpa adanya manipulasi seperti window dressing atau lainnya.
  5. Kesanggupan penyerahan barang dari penjual kepada Pembeli.
  6. Kejelasan dan kepastian harga yang disepakati tanpa berpotensi menimbulkan perselisihan.
  7. Tidak menggunakan cara yang menjurus kepada kolusi dan suap untuk menangkan lelang dan tawar-menawar harga.

Pendapat ulama madzhab yang melarang jual beli dengan sistem lelang

Salah satu ulama dari kalangan mahdab hanafi, sebenarnya ada sebagian kecil ulama yang keberatan seperti An-Nakha’i, dan Al-Auza’i mengatakan bahwa hukum jual beli secara lelang hukumnya makruh secara mutlak.

Sedangkan Hasan Al Basri, Ibnu Sirin dan ulama yang lain berpendapat bahwa jual-beli secara lelang hukumnya makruh terkecuali terhadap 2 masalah, yaitu masalah qhonimah (harta rampasan perang) dan waris.Qhonimah bisa berupa barang selain uang, sehingga agar barang tersebut berwujud uang agar bisa dibagi-bagi maka diperbolehkan untuk di lelang. Sebagai contoh misalnya terdapat harta rampasan perang berupa senjata. Maka agar senjata tersebut bisa dibagi-bagi maka diperbolehkan dijual dengan cara lelang. Termasuk juga harta warisan. Umumnya harta warisan tidak selalu berbentuk uang tunai (misal tanah, rumah, kendaraan dll), sehingga untuk memudahkan pembagian warisan diperbolehkan untuk di lelang. Para ulama tersebut mengkategorikan lelang hukumnya makruh karena terdapat hadist :

Pertama, hadist yang menyatakan bahwa Rasulullah melarang jual beli secara lelang.

Artinya:“Aku mendengar Rasulullah saw melarang jual beli lelang. (HR Al-Bazzar)”. Imam Ibnu Hajjar didalam kitabnya menyatakan bahwa hadist tersebut dhoif maka hadist tersebut tidak bisa dijadikan landasan hukum. Sehingga para ulama tersebut menyatakan hukum lelang adalah makruh dan tidak sampai mengharamkannya.

KedSua, bahwa Rasulullah melarang seseorang membeli barang yang sudah ditawar oleh saudaranya atau orang lain (sama halnya ketika Rasulullah melarang mengkhitbah wanita yang sedang di khitbah oleh orang lain/saudaranya).“Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang di antara kalian membeli sesuatu yang sedang dibeli oleh saudaranya hingga dia meninggalkannya, kecuali rampasan perang dan waris.

Lelang juga tidak diperkenankan jika terdapat kecurangan atau penipuan (Misalnya dalam proses lelang terdapat persekongkolan 2 sampai 3 orang atau lebih yang bersepakat menawar sebuah barang).

Segala bentuk rekayasa curang untuk mengeruk keuntungan tidak sah dalam praktik lelang maupun dikategorikan para ulama dalam praktik Najasy (komplotan/trik kotor lelang) yang diharamkan Nabi saw. (HR. Bukhari dan Muslim) atau juga dapat dimasukkan dalam kategori Risywah (sogok) bila penjual atau pembeli menggunakan uang, fasilitas ataupun service untuk memenangkan lelang yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang dikehendaki mitranya bisnisnya.

Untuk itu, menurut jumhur ulama memakruhkan jual beli dengan proses lelang, karena bisa mengandung unsur-unsur atau trik-trik penipuan dan persekongkolan untuk memanipulasi barang dagangan.

DAFTAR  PUSTAKA

  • Suheri, Fikih Muamalah Islam, http://suherilbs.wordpress.com/fiqih/
  • Otomo, Setiawan Budi, Hukum lelang dan
  • Tender,http://ekisopini.blogspot.com/2009/08/hukum-lelang-dan-tender.html
  • Sarwat, Ahmad, Lelang dalam tinjauan Syariat,http://kajiankantor.com/blog/2010/04/20/lelang-dalam-tinjauan-syariat/
  • Hanniah, Rafiqatul, Lelang dalam pandangan Islam,http://rafiqatul-hanniah.blogspot.com/2012/03/lelang-dalam-pandangan-islam.htm

Baca Juga: