1. Gharar dalam akad
Gharar bisa terjadi dalam akad. Maksudnya adalah bentuk akad yang disepakati oleh kedua belah pihak mengandung unsur ketidakpastian, ada klausulklausul yang tidak jelas atau pasal karet, yang berpotensi merugikan salah satu pihak atau berpotensi menimbulkan perselisihan antara keduanya.
Contohnya adalah praktik di masa Nabi yaitu jual-beli mulamasah dan munabadzah. Mulamasah adalah jual-beli di mana penjmemberikan klausul akad yang mengandung potensi merugikan pembeli yaitu “Kain mana saja yang engkau sentuh, maka kain tersebut menjadi milikmu dengan harga sekian.” Atau dalam kalimat yang lebih sederhana, “Menyentuh berarti membeli.”
Demikian juga jual-beli munabadzah, yaitu jual beli di mana penjual berkata, “Pakaian manapun yang aku lemparkan kepadamu, maka kamu bayar sekian.” Tentu akad ini cacat. Sebab tidak ada kejelasan pakaian mana yang akan didapatkan oleh pembeli. Bisa jadi sesuai keinginannya atau tidak.
Contoh lain yang sering terjadi adalah akad pemindahan harta antara suami-istri. Ketika suami membeli mobil baru, dia berkata kepada istrinya, “Sayang, ini mobil barunya kamu pakai aja.” Kalimat ini mengandung ‘pasal karet’. Tidak jelas apakah maksudnya sekedar meminjamkan atau dihibahkan.
Dampaknya adalah ketika suami meninggal, ahli waris akan ribut menentukan apakah mobil itu masih punya suami, karena statusnya hanya dipinjamkan sehingga dibagi sebagai harta warisan, atau sudah jadi milik istri sehingga tidak dibagi waris. Di sinilah esensi gharar itu terjadi, sebab akadnya tidak jelas dan menimbulkan potensi perselisihan di kemudian hari.
2. Gharar dalam objek akad
Gharar juga bisa terjadi pada barang atau jasa yang menjadi objek akad yang diperjualbelikan. Maksudnya, barang atau jasa yang menjadi objek akadnya tidak jelas. Ketidakjelasan itu bisa dalam ukurannya, kualitasnya, spesifikasinya, keberadaannya dan lain-lain.
Ibnu Taimiyah, mengklasifikasikan gharar yang terjadi pada objek akad ini menjadi tiga jenis:
1) Bai’ al-Ma’dum. Yaitu jual-beli barang fiktif, atau barang yang tidak pasti ada atau tidaknya. Seperti jual-beli janin hewan yang masih dalam perut induknya.
2) Bai’ al-Ma’juz ‘an Taslimih. Yaitu jual-beli barang yang sulit diserah-terimakan kepada pembeli. Seperti jual-beli motor yang baru dicuri, jual-beli burung yang lepas, ikan yang masih di lautan dan lain sebagainya.
3) Bai’ al-Majhul. Yaitu jual beli-barang yang tidak jelas sifat-sifatnya, ukurannya dan spesifikasinya.
Jadi, yang termasuk gharar dalam objek akad adalah jual-beli barang yang tidak ada atau tidak jelas jenis dan sifatnya atau tidak pasti apakah bisa diserahkan atau tidak.
Hanya saja, yang perlu digarisbawahi, tidak semua barang yang tidak ada itu tidak boleh diperjualbelikan. sebab maksudnya adalah barang yang tidak ada dan tidak jelas apakah nanti akan ada atau tidak.
Sehingga meskipun pada saat akad barangnya belum ada, tapi bisa dipastikan barang itu ada pada saat yang disepakati, maka tidak termasuk gharar.
Kaidahnya adalah:
Setiap barang yang tidak ada dan tidak diketahui ada atau tidaknya di kemudian waktu, tidak boleh diperjualbelikan. Dan setiap barang yang tidak ada, akan tetapi secara adat/kebiasaan bisa dipastikan ada di kemudian waktu, boleh diperjualbelikan.
3. Gharar dalam harga
Gharar dalam harga maksudnya adalah harga yang disepakati tidak jelas nominalnya. Atau harga tidak disebutkan pada saat akad, sehingga menimbulkan potensi pembeli merasa dirugikan, sebab penjual bisa menentukan harga seenaknya.
Contoh yang sering terjadi adalah tarif ojek pangkalan yang tidak ada standar dan ukurannya. Tidak dihitung per kilometer, tapi semaunya abang ojek.
Kadang-kadang penumpang juga tidak tanya harga terlebih dahulu. Langsung naik begitu saja. Begitu sampai, kesempatan bagi abang ojeknya untuk minta tarif mahal. Mau tidak mau penumpang harus bayar, karena dia sudah diantar sampai tujuan.
Maka seharusnya ada kesepakatan harga terlebih dahulu sebelum transaksi terlaksana. Supaya kedua belah pihak tidak ada yang merasa dirugikan sehingga unsur saling ridha sebagai syarat dalam jualbeli pun terwujud.
4. Gharar dalam waktu serah-terima
Gharar juga berpotensi terjadi dalam waktu serahterima. Baik serah terima harga atau barang/jasa.
Jual-beli yang dilakukan secara tidak tunai, harus ada kejelasan dan kepastian terkait dengan waktu penyelesaian transaksinya.
Hal ini dapat dipahami dari firman Allah ﷻ surat alBaqarah ayat 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya… (Q.S. al-Baqarah: 282)
Demikan juga tersirat dalam hadis Nabi tentang jual-beli salam berikut:
Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata, “Katika Nabi datang ke Madinah, para sahabat terbiasa melakukan akad salam pada kurma dalam jangka waktu dua atau tiga tahun. Kemudian Nabi berkata, “Barang siapa yang melakukan akad salam pada sesuatu, maka hendaklah ia melakukannya dengan takaran yang jelas, berat yang jelas dan jangka waktu yang jelas.”
Gharar dalam waktu serah-terima ini juga terjadi di masa jahiliyah yang disebut dengan jual-beli hablul habalah. Salah satu penafsirannya adalah jual beli unta, yang mana uangnya baru dibayarkan setelah unta ini melahirkan anak, dan anak unta yang dilahirkan ini melahirkan anak. Sehingga pembayarannya baru dilakukan setelah unta itu melahirkan dua generasi keturunannya.
Jual-beli seperti ini kemudian dilarang oleh Nabi. Sebab waktu pembayarannya yang mengandung gharar atau ketidakpastian. Sebagaimana, diriwayatkan dari Ibnu Abbas berikut ini:
Dari Ibnu Umar ia berkata: Dulu orang-orang jahiliyah melakukan jual-beli daging unta sampai hablul habalah. Hablul habalah adalah ketika unta melahirkan kemudian yang dilahirkan itu mengandung. Kemudian Rasulullah ﷺ melarangnya. (H.R. Muslim)
Sumber: Muhammad Abdul Wahab, Gharar dalam Transaksi Moderm, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019