Menu Tutup

Macam Seni Rupa dalam Islam (Wujud Tashwir)

A. Tumbuhan Dan Benda Mati

Menggambar pemandangan alam; gunung, laut, tumbuh-tumbuhan, bintang, matahari, bulan, dll dibolehkan oleh syariah dan tidak masuk dalam hadis keharaman gambar. Padahal ini semua merupakan ciptaan Allah.

Dan para ulama sepakat (tidak ada perselisihan) dalam masalah kebolehannya kecuali Imam Mujahid. Karena menurut beliau haram hukumnya menggambar tanaman yang berbuah.

Imam Nawawi menduga keharaman menggambar tanaman berbuah yang dimaksud oleh Imam Mujahid berdasarkan hadis Rasulullah dari riwayat Abu Hurairah.

فليخلقوا ذرةً  وليخلقوا شعيرةً

“hendaklah mereka menciptakan semisal biji Dzarrah dan menciptakan semisal biji gandum.” (HR. Bukhari)

Dalam kamus al-Mishbah al-Munir, kata Dzarrah yang dimaksud dalam hadis ini adalah seekor semut kecil. Maka penyebutan dzarrah dalam hadis ini mewakili ciptaan Allah yang memeliki ruh. Sedangkan penyebutan Syai’ir (biji gandum) mewakili  tumbuhan yang bisa dimakan dan berbuah.

Hanya saja para ulama memberikan catatan, bahwa  tujuan pembuatan gambar benda-benda mati tersebut harus terhindar dari unsur kesyirikan dan tidak menjadikannya sebagai sesembahan. Sebagaimana kita tahu ada agama-agama tertentu yang menyembah matahari, api dan lain sebaginya.

B. Boneka Mainan Anak-anak

Mayoritas ulama sepakat bahwa boneka mainan untuk anak kecil dibolehkan. Hampir tidak ada perselisihan dalam masalah ini, kecuali hanya beberapa ulama saja. Pendapat ini didasari oleh hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

كُنْتُ ألعَبُ مبًلبَ نا مت معنْدَ النهمم ب صَلهى اهللَُّ عَليْمه وَسَلهمَ وكَانَ ملِ صَوَامحبُ ي لْعَبَْْ مَعمي، فكَانَ رسُول اهمللَّ صَلهى اهللَُّ عَليْمه وَسَلهمَ إمذَا دَخَل يَ تَ قَهمعْنَ ممنْهُ، فَ يسَ مربُُ هن إم هلَِ، فَ يَ لْعَبَْْ مَعمي. )البخاري(

“Dulu Aku pernah bermain boneka di dekat Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam. Saya punya beberapa teman yang biasa bermain denganku. Ketika Rasulullah masuk ke dalam rumah, mereka bersembunyi darinya. Lalu beliau menyerahkan boneka-boneka itu kepadaku, dan mereka pun bermain denganku.” (HR. Bukhari)

Kebolehan pembuatan boneka untuk anak-anak menurut Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanbilah adalah karena dasar kebutuhan. Ini berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan

Khusus untuk anak perempuan bermain boneka itu membantu mereka  menumbuhkan jiwa keibuan dalam merawat anak nantinya. Terlebih lagi jika boneka-boneka yang mereka mainkan berbentuk manusia atau bayi manusia.[1]

Namun secara khusus ulama Hanabilah memberikan beberapa syarat terkait boneka. Yaitu boneka yang tidak lengkap anggota badannya.[2]

Hukum yang terkait dengan boneka ini mencakup beberapa hal: membuatnya, memainkannya dan jual belinya. Bahkan secara tegas, Abu Yusuf salah satu ulama Malikiyah membolehkan menjualnya.[3]

C. Memajang Gambar Makhuk Bernyawa

Ulama dari kalangan Malikiyah memandang bahwa pengunaan gambar pada bidang datar (musathah) tidaklah haram. Namun menjadi makruh jika diletakkan pada tempat yang tinggi. Karena ada kesan memuliakan. Dan kemakruhan itu akan hilang jika gambar itu diletakkan di bawah. Seperti dipajang di dinding.

Bagi para ulama lain selain dari kalangan Malikiyah, penggunaan gambar, baik yang musathah maupun yang mujassam tetap dianggap haram jika memenuhi kriteria berikut ini: gambar makhluk bernyawa, gambar sempurna anggota badannya, ditempatkan pada  posisi yang tinggi, tidak pada media yang kecil, bukan boneka untuk mainan anak dan terbuat dari bahan yang tahan lama.

Hal senada juga disampaikan oleh Wahbah Zuhaili. Bahwa menggantung atau meletakkan gambar (tashwir) makhluk bernyawa ditempat yang tinggi hukumnya haram. Namun jika diletakkan di tempat di bawah, seperti karpet, lantai maka tidak mengapa.

Jika yang dipajang di dinding adalah foto hasil photografi dari makhluk bernyawa, Wahbah Zuhaili membolehkannya asal tidak menimbulkan fitnah. [4]

D. Baju Bergambar

1. Hanafi dan Maliki

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah menganggap makruh memakai pakaian yang bergambar makhluk bernyawa. Dipakai sholat atau pun tidak.

Namun kemakruhan itu hilang jika baju bergambar itu masih dilapisi baju lagi di atasnya. Bahkan tak masalah dipakai untuk shalat.[5]

2. Syafi’i

Sedangkan Syafi’iyah menganggapnya boleh tapi termasuk perbuatan munkar. Namun jika memakainya (baju bergambar) berada di bagian yang tidak terhormat, kain bagian bawah misalnya, maka justru dibolehkan.[6]

3. Hambali

Dan dari kalangan Hanabilah terdapat dua pendapat. Yang satu mengharamkan dan satu lagi tidak haram. Pendapat yang kedua ini berdasarkan hadis:   إملاه رقمًا مفِ ث وْبٍ

“kecuali gambar di baju”

E. Fotografi

Dalam masalah ini ulama berbeda dalam dua pendapat:

1. Pendapat Pertama:

Photografi bukan termasuk tashwir yang disebutkan dalam hadis. Kelompok pertama ini menilai bahwa ‘illat (alasan) diharamkannya tashwir adalah karena ada unsur mudhahat (penyerupaan) ciptaan Allah dengan hasil lukisan/ gambar.

Dan unsur mudhahat (penyerupaan) tidak didapati dalam photografi karena prosesnya hanya menangkap gambar/bayangan dari ciptaan Allah. Bukan membuat.

Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, secara tegas menyatakan kebolehan foto, bahkan tidak masalah memajangnya di dinding rumah asalkan tidak menimbulkan fitnah seperti foto wanita yang terlihat auratnya.

Kebolehan ini berlaku juga untuk foto berberak

(video).[7]

2. Pendapat Kedua

Photografi masuk dalam istilah tashwir sebagaiana yang disebutkan dalam hadis. Para ulama dalam kelompok ini beranggapan bahwa hadis tentang tashwir berlaku umum tanpa membedakan prosesnya. Yang dilihat adalah hasil gambarnya, baik dengan lukis maupun photografi.  Jika objek photografi adalah makhluk bernyawa, maka hukumnya sama sebagaimana gambar.

[1] Al-Minhaj fi Sya’bi al-Iman, Al-Halimi, juz 3, hal. 97

[2] Kasyaf al-Qina’, al-Buhuti, juz 1, hal. 280

[3] Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Ibn Abidin, juz 1, hal.437

[4] Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili, juz 4, hal. 2672

[5] Radd al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Ibn Abidin, juz 1, hal.436

[6] Syarh al-Minhaj   wa Hasyiyah asy-Syarwani, ibn Hajar alHaitami, juz 7, hal. 432

[7] Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili, juz 4, hal. 2672

Referensi: Fayyad Fawwaz, Tashwir : Seni Rupa Dalam Pandangan Islam, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Baca Juga: