Beberapa orang yang berpuasa syawal biasanay dihadapkan dengan kondisi dimana sekitarnya masih bergembira dengan lebaran; yang di dalam perayaan tersebut ada ritual saling mengunjungi. Dan tidak jarang saling mengunjungi dalam rangka lebaran itu bisa terus terjadi sampai seminggu bahwa sebulan setelah lebaran selesai.
Kadang, ada rasa tidak enak hati jika datang berkunjung silaturahmi atau dikunjungi oleh orang-orang terdekat tapi tidak menyantap hidangan yang disediakan. Lebih-lebih lagi jika tuan rumah sudah bersusah payah untuk menyiapkan hidangan itu semua.
Lalu bagaimana nasib puasa syawalnya ketika berhadapan dengan kondisi ini? Jika ia terus puasa, tentu ada rasa tidak enak hati, dan bisa jadi menyinggung perasaan tuan rumah. Padahal salah satu ibadahnya orang muslim yang besar pahalanya adalah memesukkan kebahagiaan di hati saudara muslimnya.
Tapi jika menyantap hidangan yang ada guna menghormati penjamu, dan membatalkan puasa sunnahnya yang sudah ia jaga sejak pagi hari, atau bahwa sudah disiapkan sejak hari-hari sebelumnya untuk berniat puasa tersebut, juga bukan sesuatu yang mengenakkan hati. Bimbang akhirnya.
Di sini solusinya!
Boleh Dibatalkan, dan Ini Disepakati
Kesepakatan 4 madzhab, bahwa orang yang berpuasa sunnah lalu membatalkan puasanya tersebut; itu tidak mengapa, tidak berdosa dan tidak ada qadha baginya. Dengan catatan bahwa pembatalan puasa sunnah tersebut karena alasan mendesak atau udzur yang memang dilegalkan; seperti sakit, atau ada kewajiban mendesak yang harus diselesaikan dengan badan yang fit. Artinya pembatalannya tersebut bukan tanpa sebab.
Itu yang disepakati! Akan tetapi ada masalah yang tidak disepakati; yakni jika orang berpuasa lalu dengan sengaja dan tanpa sebab membatalkan puasa itu tanpa alasan. Ini yang ulama 4 madzhab kemudian terbagi dalam 2 pendapat; Melarang dan Mewajibkan Qadha, kedua Membolehkan secara Mutlak.
Terlarang Membatalkan Puasa Sunnah dan Wajib Qadha’ Jika dibatalkan
Ini pendapat resmi madzhab al-Hanafiyah dan al-Malikiyah, bahwa yang orang yang berpuasa sunnah dan sudah menjalankannya, ia wajib meneruskannya sampai sempurna; yakni sampai puasa itu selesai di waktu maghrib. Tidak boleh sama sekali membatalkan begitu saja, kalau pun dibatalkan dan pembatalannya itu tanpa udzur, maka ia wajib menqadha puasa sunnah tersebut di hari berbeda.
Tentang kewajiban meneruskan puasa sampai, kedua madzhab ini berdalil dengan ayat:
Janganlan kalian batalkan amal-amal kalian!” (Muhammad: 33)
Selain itu juga, yang masyhur dari pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwatho’, bahwa dulu istri Nabi s.a.w.; Aisyah dan Hafshah pernah berpuasa sunnah lalu dihadiahkan makanan dan akhirnya mereka membatalkan puasa sunnah mereka. Mengetahui hal itu, Nabi s.a.w. justru menyuruh keduanya mengganti (qadha’) puasa tersebut.