Pada dasarnya, untuk mendapatkan kemulian qiyamul lail yang dianjurkan, tidak disyaratkan untuk melakukan shalat semalam suntuk. Namun kemuliannya dapat diraih meskipun dengan melakukan sebagian dari malam tersebut dengan ibadah.
Imam Zainuddin al-‘Iraqi (w. 806 H) berkata dalam kitabnya Thorhu at-Tatsrib:
Bukanlah maksud dari melakukan qiyam Ramadhan adalah melakukan shalat semalam suntuk, namun hal itu bisa didapatkan dengan melakukan shalat di sebagian malamnya seperti melakukan shalat tahajjud (setelah tidur), shalat tarawih bersama imam sebagaimana yang telah mentradisi, dan dengan melakukan shalat isya’ dan shubuh secara berjamaah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Utsman bin Affan, di mana Rasulullah saw bersabda: “Siapapun mendirikan shalat isa’ berjamaah, maka seakan ia mendirikan shalat setengah malam dan siapapun mendirikan shalat shubuh berjamaah, maka seakan ia mendirikan shalat semalam suntuk.” (HR. Muslim). (Abdurrahim bin al-Husain Zainuddin al-‘Iraqi, Thorhu at-Tatsrib fi Syarah at-Taqrib ay Taqrib al-Asanid wa Tartib al-Masanid, (t.t: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, t.th), hlm. 4/161.)
Hal ini sebagaimana dijelaskan pula dalam hadits berikut:
Dari Abu Dzar, ia berkata: “Kami berpuasa Ramadlan bersama Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, namun beliau tidak shalat malam bersama kami sampai tersisa tujuh hari dari Ramadlan. Lalu beliau shalat bersama kami hingga sepertiga malam. Kemudian beliau tidak shalat bersama kami pada malam ke dua puluh enam. Beliau shalat bersama kami pada malam ke dua puluh lima, hingga lewat tengah malam. Kami berkata kepada beliau: ‘Seandainya anda jadikan sisa malam ini untuk kami melakukan shalat nafilah.’ Beliau bersabda: “Barangsiapa yang shalat bersama imam, hingga selesai diberikan baginya pahala shalat satu malam.” Kemudian Nabi tidak shalat lagi bersama kami hingga tersisa tiga malam dari bulan Ramadlan. Beliau shalat bersama kami untuk ketiga kalinya, dengan mengajak keluarga dan istri-istri beliau. Lalu beliau shalat hingga kami takut akan ketinggalan al falah. (Jubair) bertanya; ‘Apakah artinya al-falah? ‘ Dia menjawab; ‘Sahur’.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Nasai)
Sumber:
Isnan Ansory, Lc., M.Ag., I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ’Ied dan Zakat al-Fithr di Tengah Wabah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.