Menu Tutup

Mengapa Jumlah Rakaat Tarawih Berbeda-beda?

Shalat tarawih adalah salah satu ibadah khusus yang dilakukan oleh umat Islam di bulan Ramadhan. Shalat ini merupakan salah satu bentuk shalat malam yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebagai amalan yang penuh keutamaan dan pahala. Namun, dalam pelaksanaannya, kita sering menemukan perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih di berbagai tempat. Ada yang melaksanakan 8 rakaat, ada yang 11 rakaat, ada yang 20 rakaat, bahkan ada yang 36 rakaat. Mengapa perbedaan ini bisa terjadi? Apakah ada dalil yang mendasarinya? Dan bagaimana sikap kita sebagai umat Islam terhadap perbedaan ini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui sejarah dan hukum shalat tarawih terlebih dahulu. Istilah tarawih sendiri berasal dari kata tarwihah yang berarti istirahat. Hal ini karena shalat ini dilakukan dengan cara beristirahat setiap empat rakaat. Shalat ini juga disebut sebagai shalat qiyam Ramadhan atau shalat lail Ramadhan, karena dilakukan pada malam hari di bulan Ramadhan.

Shalat tarawih pertama kali dilakukan oleh Rasulullah SAW pada suatu malam di bulan Ramadhan. Beliau shalat di masjid Nabawi dan diikuti oleh sebagian sahabatnya. Keesokan harinya, beliau shalat lagi dan jumlah sahabat yang mengikutinya bertambah banyak. Pada malam ketiga, beliau shalat lagi dan jumlah sahabat yang mengikutinya semakin banyak lagi. Namun, pada malam keempat dan seterusnya, beliau tidak keluar lagi untuk shalat di masjid. Para sahabat merasa heran dan bertanya kepada beliau tentang alasan tidak keluarnya beliau untuk shalat bersama mereka. Beliau menjawab:

“Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk keluar bersama kalian. Hanya saja aku khawatir jika shalat ini akan menjadi wajib bagi kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits ini, kita dapat mengetahui bahwa shalat tarawih adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) dan bukan wajib. Rasulullah SAW tidak ingin memberatkan umatnya dengan menjadikan shalat ini sebagai kewajiban. Beliau juga ingin memberikan kebebasan kepada umatnya untuk melaksanakan shalat ini sesuai kemampuan dan kesempatan mereka.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat tetap melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah di masjid Nabawi, namun dengan cara berpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil. Hal ini berlangsung sampai masa kekhalifahan Umar bin Khattab RA. Pada suatu malam di bulan Ramadhan, Umar RA keluar untuk melihat keadaan umatnya. Ia melihat bahwa mereka shalat tarawih dengan cara berpisah-pisah dalam kelompok-kelompok kecil yang tidak teratur dan tidak seragam. Ia merasa bahwa hal ini kurang baik dan kurang mengandung kebersamaan dan keseragaman. Maka ia berkata:

“Alangkah baiknya jika aku mengumpulkan mereka di bawah satu imam.” (HR. Bukhari)

Kemudian ia memerintahkan Ubay bin Ka’ab RA untuk menjadi imam bagi mereka semua dalam shalat tarawih. Jumlah rakaat yang dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab RA adalah 20 rakaat (tidak termasuk witir).

Maka sejak saat itu, shalat tarawih dilakukan secara berjamaah di masjid Nabawi dengan jumlah rakaat 20 rakaat. Hal ini menjadi sunnah para sahabat dan generasi setelah mereka. Namun, ada juga sebagian sahabat dan tabi’in yang melaksanakan shalat tarawih dengan jumlah rakaat yang berbeda-beda, antara 8 hingga 36 rakaat. Hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat yang berbeda pula tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Dari Aisyah RA, ia berkata:

“Rasulullah SAW tidak menambah (rakaat shalat malam) di dalam bulan Ramadhan dan tidak pula di luar bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata:

“Rasulullah SAW shalat delapan rakaat dan witir.” (HR. Bukhari)

Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata:

“Rasulullah SAW shalat delapan rakaat dan witir pada malam-malam Ramadhan.” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar RA, ia berkata:

“Rasulullah SAW shalat dua puluh rakaat dan witir pada malam-malam Ramadhan.” (HR. Baihaqi)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata:

“Rasulullah SAW shalat dua puluh tiga rakaat pada malam-malam Ramadhan.” (HR. Baihaqi)

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, ia berkata:

“Aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah SAW pada malam-malam Ramadhan. Ia berkata: ‘Beliau shalat tiga belas rakaat.’” (HR. Muslim)

Dari Yazid bin Ruman, ia berkata:

“Pada zaman Umar bin Khattab RA, orang-orang shalat dua puluh rakaat dan witir.” (HR. Malik)

Dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, ia berkata:

“Aku melihat orang-orang di Madinah shalat tiga puluh enam rakaat.” (HR. Ibnu Qudamah)

Dari riwayat-riwayat di atas, kita dapat melihat bahwa jumlah rakaat shalat tarawih berbeda-beda karena adanya perbedaan riwayat tentang jumlah rakaat shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Para ulama pun berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama atau afdhal untuk shalat tarawih.

Imam Malik bin Anas RA, Imam Abu Hanifah RA, Imam Asy-Syafi’i RA, Imam Ahmad bin Hanbal RA, dan Imam Dawud azh-Zhahiri RA memilih untuk shalat tarawih dengan 20 rakaat. Mereka mengambil dasar dari riwayat Yazid bin Ruman yang menyebutkan bahwa orang-orang shalat tarawih dengan 20 rakaat pada zaman Umar bin Khattab RA. Mereka menganggap bahwa hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan merupakan sunnah yang telah ditetapkan oleh Umar bin Khattab RA sebagai khalifah.

Imam Malik bin Anas RA juga memiliki pendapat lain yang menyebutkan bahwa shalat tarawih adalah 36 rakaat. Ia mengambil dasar dari riwayat Abu Bakar bin Abi Syaibah yang menyebutkan bahwa orang-orang di Madinah shalat 36 rakaat pada zaman Umar bin Khattab RA. Ia menganggap bahwa hal ini merupakan amalan orang-orang Madinah yang merupakan pewaris sunnah Rasulullah SAW.

Imam Abu Yusuf RA dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani RA, dua murid Imam Abu Hanifah RA, memilih untuk shalat tarawih dengan 11 rakaat. Mereka mengambil dasar dari riwayat Aisyah RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak menambah rakaat shalat malam dari 11 rakaat. Mereka menganggap bahwa hal ini merupakan amalan Rasulullah SAW yang paling utama dan paling afdhal.

Imam Ibnu Hazm RA memilih untuk shalat tarawih dengan 8 rakaat. Ia mengambil dasar dari riwayat Ibnu Abbas RA dan Jabir bin Abdillah RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW shalat 8 rakaat dan witir. Ia menganggap bahwa hal ini merupakan amalan Rasulullah SAW yang paling shahih dan paling jelas.

Dari perbedaan pendapat para ulama di atas, kita dapat mengetahui bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah masalah furu’ (cabang) yang tidak ada nash (teks) yang qath’i (pasti) tentangnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh bersikap fanatik atau intoleran terhadap perbedaan ini. Kita harus menghormati dan menghargai pendapat-pendapat yang berbeda dari kita, selama masih berdasarkan dalil-dalil yang shahih dan kuat. Kita juga tidak boleh mengkafirkan atau mencela orang-orang yang berbeda dengan kita dalam masalah ini.

Sebaliknya, kita harus bersikap toleran dan moderat dalam menyikapi perbedaan ini. Kita harus mengambil hikmah dan manfaat dari perbedaan ini. Kita harus bersyukur bahwa Allah SWT memberikan kita kebebasan dan kemudahan dalam melaksanakan ibadah-Nya. Kita harus berusaha untuk melaksanakan shalat tarawih dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan kita. Kita harus menjadikan shalat tarawih sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, membaca dan merenungkan Al-Qur’an, memohon ampunan dan rahmat-Nya, serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita.

Semoga Allah SWT memberikan kita hidayah dan taufiq untuk melaksanakan shalat tarawih dengan baik dan benar. Semoga Allah SWT menerima amalan kita dan memberikan kita pahala yang berlipat ganda. Semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan lailatul qadar di bulan Ramadhan ini. Amin.

Baca Juga: