Menu Tutup

Menghitung Zakat Profesi: Panduan dan Perspektif Fiqh

Menghitung Zakat Profesi: Panduan dan Perspektif Fiqh

Zakat profesi (atau zakat penghasilan, dalam istilah fiqh dikenal sebagai al-mal al-mustafad) adalah zakat yang dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan atau profesi tertentu. Profesi-profesi ini meliputi berbagai bidang seperti pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman, dan lainnya. Pada intinya, zakat profesi adalah bentuk pengabdian kepada Allah SWT dengan mengeluarkan sebagian penghasilan untuk membersihkan harta dan meningkatkan kesejahteraan umat.

Namun, meskipun zakat profesi telah diakui dalam Islam sebagai bagian penting dari sistem sosial-ekonomi, ada perbedaan pandangan di kalangan para ulama mengenai kewajiban zakat ini. Pada artikel ini, kita akan membahas secara rinci hukum zakat profesi, cara perhitungannya, serta pandangan dari berbagai ulama terkait kewajiban zakat bagi profesi tertentu.

Hukum Zakat Profesi dalam Perspektif Ulama

Zakat profesi merupakan topik yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama fiqh. Dalam pandangan mayoritas ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), zakat profesi tidak diwajibkan saat menerima penghasilan, kecuali setelah mencapai nisab dan telah mencapai satu tahun (haul). Artinya, seorang profesional baru diwajibkan mengeluarkan zakat jika penghasilannya telah mencapai batas tertentu (nisab) dan telah berlalu satu tahun penuh.

Namun, ada perbedaan yang lebih baru yang diusung oleh para ulama mutaakhirin, seperti Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Muhammad Abu Zahro, Syekh Yusuf Al-Qardhawi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dan Majma’ Fiqh yang mengeluarkan fatwa bahwa zakat profesi wajib dikeluarkan setiap kali penghasilan diterima, asalkan memenuhi nisab.

Pendapat Ulama Terkait Zakat Profesi

Sebagian besar ulama kontemporer berpendapat bahwa zakat profesi adalah wajib berdasarkan beberapa argumen berikut:

  1. Pendapat Sahabat: Beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah, serta tabi’in seperti Az-Zuhri dan Al-Hasan Al-Bashri, menganggap bahwa zakat profesi termasuk dalam kewajiban zakat yang harus dikeluarkan ketika seseorang memperoleh penghasilan.
  2. Firman Allah dalam Al-Qur’an: Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah (9:103):
    “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” dan dalam QS. Al-Baqarah (2:267):
    “Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…”
    Kedua ayat ini menekankan pentingnya berzakat sebagai bagian dari proses penyucian harta dan peneguhan prinsip kebaikan dalam kehidupan sosial.
  3. Hadits Nabi Muhammad SAW: Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
    “Keluarkanlah zakat dari harta kamu sekalian.” Hadits ini menunjukkan bahwa zakat wajib dikeluarkan dari harta yang dimiliki oleh setiap orang Muslim, termasuk penghasilan dari profesi mereka.
  4. Pandangan Ulama Kontemporer: Ulama kontemporer seperti Muhammad Ghazali dalam bukunya Al-Islam wal Audl’ Aliqtishadiya menegaskan bahwa adalah tidak logis jika kalangan profesional yang penghasilannya jauh lebih besar dari petani atau pekerja lainnya tidak dikenakan zakat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat profesi adalah bentuk kesetaraan sosial dalam Islam.

Bagaimana Cara Menghitung Zakat Profesi?

Setelah kita mengetahui bahwa zakat profesi itu wajib, langkah selanjutnya adalah menentukan bagaimana cara menghitung zakat yang harus dikeluarkan. Ada perdebatan mengenai apakah zakat harus dihitung dari penghasilan bruto (kotor) atau neto (bersih) setelah dikurangi biaya operasional. Berikut adalah tiga pendekatan utama yang dibahas dalam literatur fiqh.

1. Zakat dari Penghasilan Bruto (Kotor)

Pendapat pertama menyarankan agar zakat dikeluarkan langsung dari penghasilan kotor (bruto) yang diperoleh seorang profesional, tanpa dikurangi biaya operasional atau pengeluaran lainnya. Artinya, jika penghasilan seorang profesional dalam sebulan mencapai angka tertentu yang memenuhi nisab (misalnya, 85 gram emas), zakat sebesar 2,5% dihitung dari jumlah penghasilan bulanan tersebut, tanpa ada potongan biaya apapun.

Sebagai contoh, jika seseorang memperoleh penghasilan sebesar 2 juta rupiah sebulan, maka zakat yang harus dikeluarkan setiap bulan adalah 2,5% dari 2 juta, yaitu 50 ribu rupiah. Dalam setahun, zakat yang dikeluarkan adalah 600 ribu rupiah.

Pendapat ini didukung oleh ulama seperti Az-Zuhri dan ‘Auza’i yang menjelaskan bahwa ketika seorang mendapatkan penghasilan, zakat harus segera dikeluarkan sebelum penghasilan tersebut digunakan untuk kepentingan lainnya.

2. Zakat setelah Mengurangi Biaya Operasional

Pendapat kedua adalah bahwa zakat profesi harus dikeluarkan setelah dikurangi dengan biaya operasional atau biaya yang dikeluarkan untuk pekerjaan, seperti biaya transportasi, konsumsi harian, dan lainnya. Sebagai contoh, jika penghasilan bulanan seseorang adalah 2 juta rupiah, dan ia mengeluarkan 500 ribu untuk transportasi dan biaya konsumsi, maka zakat yang dihitung adalah 2,5% dari 1,5 juta (penghasilan bersih).

Pendapat ini didasarkan pada analogi dengan zakat hasil pertanian, di mana biaya operasional (seperti biaya irigasi atau pemeliharaan tanaman) terlebih dahulu dipotong sebelum menghitung zakat yang harus dikeluarkan.

3. Zakat dari Penghasilan Neto (Setelah Kebutuhan Pokok)

Pendapat ketiga mengusulkan bahwa zakat hanya wajib dikeluarkan jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok untuk dirinya dan keluarga masih mencapai nisab. Kebutuhan pokok ini meliputi biaya untuk pangan, papan, pendidikan, dan kewajiban lainnya. Jika setelah dikurangi kebutuhan pokok masih ada sisa penghasilan yang mencapai nisab, maka zakat sebesar 2,5% wajib dikeluarkan.

Pendapat ini sejalan dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yang menyatakan bahwa zakat sebaiknya dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan (al-maal al-mustafad). Dengan kata lain, jika seseorang tidak memiliki kelebihan dari penghasilannya setelah memenuhi kebutuhan pokok, maka ia tidak wajib berzakat.

Kesimpulan: Wajib Zakat Profesi untuk Membersihkan Harta

Secara keseluruhan, apabila seseorang mendapatkan penghasilan yang halal dan memenuhi nisab (85 gram emas), maka zakat profesi sebesar 2,5% wajib dikeluarkan. Zakat ini bisa dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Namun, yang lebih dianjurkan adalah mengeluarkan zakat dari penghasilan kotor, sebelum dikurangi dengan pengeluaran lainnya, untuk menghindari kemungkinan ada bagian harta yang tidak dizakati dan menjadi sumber azab di dunia dan akhirat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Rusd, zakat adalah bentuk ta’bbudi (pengabdian kepada Allah), bukan sekadar kewajiban yang harus dipenuhi. Dengan mengeluarkan zakat, harta kita menjadi lebih bersih, berkah, berkembang, dan bermanfaat bagi orang lain, serta menyelamatkan pemiliknya dari siksaan Allah SWT.

Semoga zakat yang dikeluarkan dapat membersihkan harta kita, membawa berkah dalam kehidupan, dan menjadi jalan menuju keselamatan di dunia dan akhirat. Aamiin ya Mujibas sa’ilin.

Sumber: Nu Online