Menu Tutup

Metode Berijtihad dalam Islam: Menyusun Hukum Berdasarkan Dalil dan Kemaslahatan

Ijtihad merupakan upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang mujtahid untuk menetapkan hukum syariat dalam Islam berdasarkan dalil-dalil yang ada. Dalam proses ijtihad, terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk menggali dan menetapkan hukum atas permasalahan yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Berikut adalah beberapa metode ijtihad yang umum digunakan:

1. Ijma’ (Konsensus Ulama)

Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu setelah wafatnya Rasulullah SAW mengenai hukum syara’ atas suatu permasalahan. Metode ini digunakan ketika tidak ditemukan nash yang jelas dalam Al-Qur’an dan Hadis mengenai suatu isu, sehingga para ulama mencapai kesepakatan bersama. Contohnya adalah penetapan hukum tentang pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar RA.

2. Qiyas (Analogi)

Qiyas adalah menetapkan hukum suatu permasalahan yang tidak terdapat dalam nash dengan cara membandingkannya dengan permasalahan lain yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illat (alasan hukum). Misalnya, pengharaman narkotika disamakan dengan pengharaman khamr karena keduanya memiliki ‘illat yang sama, yaitu memabukkan.

3. Istihsan (Preferensi Hukum)

Istihsan adalah meninggalkan hukum yang ditetapkan oleh qiyas jali (analogi yang jelas) menuju hukum lain yang lebih kuat berdasarkan dalil syar’i yang lebih spesifik. Metode ini digunakan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar dan menghindari kesulitan. Contohnya adalah membolehkan transaksi salam (pemesanan barang dengan pembayaran di muka) meskipun secara qiyas seharusnya tidak diperbolehkan karena barang belum ada saat akad.

4. Maslahah Mursalah (Kemaslahatan Umum)

Maslahah Mursalah adalah menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umum yang tidak diatur secara spesifik oleh nash. Metode ini digunakan untuk mencapai tujuan syariat dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Contohnya adalah penetapan peraturan lalu lintas untuk menjaga keselamatan masyarakat.

5. Istishab (Presumsi Keberlanjutan)

Istishab adalah menetapkan keberlanjutan suatu hukum atau keadaan yang telah ada hingga ada dalil yang mengubahnya. Metode ini digunakan ketika tidak ada dalil yang menunjukkan perubahan hukum. Misalnya, seseorang dianggap tetap suci hingga ada bukti yang menunjukkan bahwa ia berhadats.

6. ‘Urf (Kebiasaan Masyarakat)

‘Urf adalah kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat. Metode ini digunakan untuk menetapkan hukum berdasarkan praktik yang umum diterima selama tidak ada nash yang melarangnya. Contohnya adalah penggunaan alat transportasi modern dalam haji yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW.

7. Sadd al-Dzari’ah (Menutup Jalan Menuju Kerusakan)

Sadd al-Dzari’ah adalah menetapkan larangan terhadap sesuatu yang pada dasarnya mubah (boleh) karena dapat menjadi sarana menuju perbuatan haram atau kerusakan. Metode ini digunakan untuk mencegah terjadinya kemudaratan. Contohnya adalah larangan menjual senjata pada masa fitnah karena dapat digunakan untuk kejahatan.

8. Qaul al-Shahabi (Pendapat Sahabat)

Qaul al-Shahabi adalah pendapat yang disampaikan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW mengenai suatu hukum yang tidak terdapat dalam nash. Metode ini digunakan sebagai rujukan karena para sahabat dianggap memiliki pemahaman yang mendalam tentang syariat. Contohnya adalah pendapat Ibnu Abbas RA tentang hukum riba.

9. Syar’u Man Qablana (Syariat Umat Terdahulu)

Syar’u Man Qablana adalah hukum yang disyariatkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad SAW yang tidak di-nasakh (dihapus) dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Metode ini digunakan ketika tidak ada nash yang mengatur suatu permasalahan dalam syariat Islam. Contohnya adalah kewajiban berpuasa yang juga terdapat dalam syariat umat terdahulu.

Metode-metode ijtihad di atas digunakan oleh para ulama untuk menetapkan hukum dalam permasalahan yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis, dengan tujuan mencapai kemaslahatan umat dan menjaga tujuan syariat Islam.

Lainnya