Menu Tutup

Moderasi untuk Kemajuan Pendidikan Islam Harus Dimulai

Jati Agung – Guru Besar UIN Raden Intan Prof. Dr. Achmad Asrori menyebut progresivitas pendidikan dan peradaban Islam tidak terlepas dari kekayaan nalar intelektualisme Ilmuan Muslim pada masa silam. Kekayaan nalar mereka terdokumentasikan dalam aneka karya klasik yang menjadi sumber literal intelektual masyarakat Indonesia di saat ini.

Hal itu dikatan dalam seminar nasional yang digelar Intitut Agama Islam  An Nur Lampung yang membahas Moderasi Pendidikan Islam di Indonesia, Minggu, 26 September 2021, di kampus Jatiagung, Lamsel.

Menurutnya, term ini tidak dianggap aneh jika renaissance yang menjadi tonggak kebangkitan Barat pada abad pertengahan, diawali proyek penerjemahan ragam karya ulama klasik tersebut secara besar-besaran yang berkontribusi secara masif terhadap peradaban Islam saat ini.

“Dalam konteks kekinian, salah satunya wujud transformasi STAI An Nur menjadi IAI An Nur, bahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan berubah menjadi Universitas Islam An Nur Lampung dengan ragam keilmuan yang ada di dalamnya, mulai dari ke-Islaman, ilmu kesehatan, isaintek, manajemen pendidikan hingga fakultas kedokteran di masa depan nantinya yang merupakan bentuk miniatur moderasi keilmuan berhasil dikembangkan oleh pemimpin kita yang visioner dan cerdas,” jelasnya.

Literasi klasik berisi pandangan para pemikir Muslim yang heterogen dengan beragam perdebatan yang terjadi di dalamnya. Hal ini membuat wawasan keagamaan masyarakat Indonesia tidak hanya terkungkung oleh satu doktrin pemahaman tunggal. Mereka memperoleh tafsir keagamaan sebagaimana mereka temukan dalam literasi klasik dimaksud, yang kaya akan kontroversial.

“Tapi justru karena kontroversi itulah, setiap masyarakat muslim Indonesia secara spesifik, memiliki keleluasaan untuk memilih pandangan yang paling diyakininya benar, dengan tetap menghormati pandangan yang lain,” terangnya.

Hal itu tentu tidak akan kita jumpai dalam pemahaman keagamaan kelompok skriptural yang cenderung mereduksi kebenaran ke dalam satu pandangan. Bagi mereka, tidak ada kebenaran selain apa yang mereka yakini benar. Dan sebagai konsekuensinya, kelompok ini tidak sungkan menegakkan supremasi keyakinannya dengan menumpahkan darah saudaranya yang mengimani pandangan lain.

Pemateri lainnya Prof. Sulthan Syahril menilai radikalisme dan eksklusifisme menjadi masalah tersendiri bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam menyamapikan materi. Pandangan keagamaan sebagian guru-guru PAI berpotensi mengancam keragaman bangsa Indonesia yang plural.

“Kendati demikian tetap masih ada guru-guru agama Islam dan para dosen PAI yang memiliki moderat dan toleran baik terhadap pada keberagaman,” ujarnya.

Untuk menangkal paham radikalisme dan eksklusivisme, pengajar PAI harus memiliki wawasan dan keilmuan keislaman yang holistik dan komprehensif. Dalam rekruitmen calon guru-guru agama Islam seyogyanya perguruan tinggi agama Islam memprioritaskan lulusan-lulusan madrasah Aliyah dan pesantren.

“Program studi PAI di LPTK untuk memperkenalkan kepada mahasiswa sebagai calon guru agama islam tentang isu-isu keislaman aktual dan kontemporer, di samping wawasan kebangsaan, sebagai antisipasi terhadap kelompok-kelompok anti NKRI,” jelasnya.

Sementara itu Rektor IAI An Nur, Andi Warisno, menyebut pihaknya mendorong moderasi di berbagai bidang khususnya pendidikan. Pihaknya akan terus melakukan transformasi kami untuk mewujudkan menjadi universitas. (Doc. Lampost.co)

Baca Juga: