Menu Tutup

Muhammad Abduh : Biografi dan Pemikirannya

Muhammad Abduh lahir di Delta Nil yang sekarang masuk dalam wilayah Mesir sejak tahun 1849. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, seorang imigran yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Adapun sang ibu berkebangsaan Arab yang memiliki garis keturunan dari Khalifah Umar Ibn Khatab.

Kedua orang tua Abduh tinggal di desa Mahallah Nashr setelah berpindah-pindah ke banyak tempat. Abduh kecil hingga remaja banyak menekuni pelajaran membaca dan menulis, dan pada usia 12 tahun ia sudah mampu menghafal al-Qur’an dalam bimbingan langsung sang ayah.

Pemikiran-pemikiran cemerlangnya mulai muncul ketika ia dikirim belajar secara formal oleh ayahnya ke Perguruan di Masjid Ahmadi untuk mempelajari Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain, yang terletak di desa Thanta, salah satu desa di Mesir. Namun, ia merasa bahwa apa yang dipelajarinya sangat monoton dan ia tidak mengerti apa maksud dari ilmu yang ia dapatkan, karena ia hanya menghafal pelajaran-pelajaran itu tanpa tahu apa substansinya.

Ia tidak puas dengan metode belajar yang ada, yang hanya mementingkan hafalan tanpa memahami pengertian dari yang dipelajarinya itu. Bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu hanya untuk menghafal istilah-istilah nahwu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallah Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.

Sang ayah tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Abduh, ia memerintahkan Abduh untuk kembali ke Thanta dan menekuni kembali pelajarannya. Dengan terpaksa ia pun kembali ke Thanta. Namun, di tengah perjalanan ia membelokkan langkah kakinya menuju sebuah desa tempat tinggal pamannya, yaitu Syaikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh) di Kanisah Urin.

Syaikh Darwisy adalah seorang penganut aliran tasawuf Thariqah Syadziliyah dan memiliki pengetahuan yang luas. Syaikh Darwsy mengetahui sebab-sebab keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka ia selalu mengajak Muhammad Abduh supaya membaca buku bersamanya.

Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam buku yang berjudul “Muzakirat al­Imam Muhammad Abduh” karya muridnya, Muhammad Rasyid Ridla. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada saat itu ia benci melihat buku, dan buku yang diberikan Darwsy itu dibuangnya jauh-jauh. Lalu buku tersebut dipungut lagi oleh Darwsy dan diberikan lagi pada Abduh.

Darwsy selalu sabar menghadapi Abduh, dan pada akhirnya Abduh mau juga membaca buku tersebut beberapa baris. Setiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan yang luas tentang arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya, kemudian ia kembali ke Thanta pada bulan Oktober 1865 M/1286.

Muhammad Abduh lalu melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi hanya 6 bulan lalu pergi menuju al-Azhar yang diyakininya sebagai tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya. Di al-Azhar, ia pun hanya mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu agama dengan metode yang sama dengan di Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa. Dalam salah satu tulisannya ia menyatakan rasa kecewanya tersebut dengan menyatakan bahwa metode pengajaran yang verbalis itu telah merusak akal dan daya nalarnya.

Rasa kecewa itulah yang menyebabkan Abduh akhirnya menekuni dunia sufistik. Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaludin al-Afghany yang datang ke Mesir pada tahun itu. Dari al-Afghany, ia mendapatkan pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (eksak).

Meskipun sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut di luar al-Azhar, namun metode yang dipakai oleh al-Afghany adalah metode yang telah lama dicarinya selama ini, sehingga ia lebih puas menerima ilmu-ilmu itu dari guru barunya tersebut. Abduh mengungkapkan bahwa al-Afghany telah melepaskannya dari kegoncangan jiwa yang dialaminya.

Al-Afghany adalah seorang pemikir modern yang masih memiliki garis keturunan dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia adalah seorang ulama yang sangat cerdas dalam memecahkan persoalan–persoalan rumit yang dihadapkan kepadanya, seperti solusi yang ia berikan pada saat Mesir mengalami krisis keuangan akibat menumpuknya hutang negara pada kurun waktu tahun 1871 sampai 1879.

Metode pengajaran yang digunakan oleh al-Afghany adalah metode praktis yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara berdiskusi. Selain pengetahuan teoritis, al-Afghany juga mengajarkan pengetahuan praktis, seperti berpidato, menulis artikel, dan sebagainya. Sehingga membawanya dapat tampil di depan publik. Ia mengajar manthiq (logika), tasawuf, fisafat, ilmu pasti dan lain-lain di rumahnya.

Ia mememiliki pemikiran dan semangat tinggi untuk memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang fanatik. Akhirnya Muhammad Abduh menjadi pelopor penyebaran pemikiran Jamaluddin al-Afghany di kampus al-Azhar hingga berkembang luas ke seluruh Mesir bahkan dunia.

Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum,  Universitas al-Azhar, dan perguruan bahasa Khadevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi, sejarah, ilmu politik dan kesusastraan Arab. Pada tahun 1877-1882, ia diasingkan ke Beirut karena terlibat gerakan politik, ia dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Khadevi Tawfik.

Di pengasingan ini ia bekerja sebagai guru sekaligus penulis. Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut. Ia menterjemah kitab-kitab ke dalam bahasa Arab. Di Beirut pula ia menyelesaikan penulisan bukunya yang termasyur Risalah al­Tawhid yang mulai ditulisnya semasa mengajar di Madrasah Sulthaniyah, di samping beberapa buku terjemahan yang lain. Untuk kepentingan gerakan, Syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara lain al­Islam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah.

Tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah selesai masa pengasingannya. Ia diperbolehkan kembali ke kota Kairo dan diberi kepercayaan memimpin surat kabar al­Waqa’i alMishriyah. Pada tahun 1882 bersama Urabi Pasya, Abduh ikut bergabung dalam gerakan politik menentang ketidakadilan negara.

Ia kemudian diasingkan lagi ke Beirut dan Perancis. Di Perancis ia bertemu kembali dengan Jamaluddin al-Afghani dan kemudian menerbitkan majalah al­Urwatul Wutsqa. Lalu ia kembali lagi ke Mesir. Namun karena pemerintah merasa khawatir akan pengaruh Abduh yang semakin diterima masyarakat luas, akhirnya Abduh tidak diperbolehkan mengajar oleh pemerintah Mesir. Ia kemudian bekerja sebagai hakim agama (mufti) dan menjadi anggota majelis al­A’la al­Azhar yang berhasil membawa perubahan-perubahan di lembaga pendidikan tertua tersebut. Ia diangkat menjadi mufti sejak tahun 1899.

Pembaharuan kedua yang dilakukannya adalah ketika ia menjabat sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syaikh Hasanuddin al-Nadawi. Usaha pertama yang dilakukannya adalah memperbaiki pandangan masyarakat bahkan pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim.

Para mufti sebelumnya berpandangan, bahwa mufti betugas sebagai penasehat hukum bagi kepentingan negara. Diluar itu seakan mereka melepaskan diri dari masyarakat umum yang mencari kepastian hukum. Namun bagi Abduh, seorang mufti bukan hanya bekerja pada negara, tetapi juga pada masyarakat luas. Dengan demikian kehadiran Muhammad Abduh tidak hanya dibutuhkan oleh negara tapi juga oleh masyarakat luas.

Langkah pembaharuan ketiga yang dilakukannya adalah dengan mendirikan organisasi sosial  yang bernama al­Jami’at al­Khairiyyah al­Islamiyyah pada tahun 1892. Organisasi ini bertujuan menyantuni fakir miskin dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Selain itu, lembaga wakaf juga merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia membentuk majelis administrasi wakaf dan berhasil memperbaiki perangkat masjid.

Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dilakukannya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis beserta masyarakat awam. Ketika menghadapi banyak rintangan tersebut Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil Awal 1323 H/ 11 Juli 1905. Jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di pemakaman negara di Kairo. Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh adalah:

  • Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, terutama Syaikh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-Afghani. Di samping itu, faktor lingkungan dan sistem pendidikan di Thanta dan Mesir yang tidak efektif, serta sikap keagamaan yang statis dan adanya fikiran-fikiran yang jumud yang ia temukan di masyarakat.
  • Faktor kebudayaan, berupa ilmu yang diperolehnya selama belajar di sekolahsekolah formal sekaligus pengaruh langsung pemikiran Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari Barat ketika ia diasingkan ke Perancis.
  • Faktor politik yang bersumber dari situasi politik di masanya sejak ia masih tinggal di lingkungan keluarganya di Muhallaf Nashr, sampai ketika ia kuliah hingga ia wafat.

Ketiga faktor di atas merupakan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai bidang, baik teologi, syari’ah, pendidikan, sosial, politik, hingga kebudayaan. Pemikirannya yang paling menonjol adalah terkait bidang teologi yang difokuskan pada aspek perbuatan manusia (af’al dan ‘ibad), konsep qadha dan qadar serta sifat-sifat Tuhan.

Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan Muhammad Abduh tidak terlepas dari karakter dan watak yang terbentuk sejak ia kecil, yaitu cinta pada ilmu pengetahuan.

Abduh memiliki 3 (tiga) agenda pembaharuan, yaitu:

  1. Purifikasi

Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam merupakan fokus perhatian serius Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Dalam pandangan Muhammad Abduh, seorang muslim wajib menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan syirik dalam bentuk apapun.

  1. Reformasi Pendidikan Islam

Reformasi pendidikan Islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas Al-Azhar tempat ia menimba ilmu. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi doktrindoktrin ajaran Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari ilmu pengetahuan modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebabsebab kemajuan yang telah mereka capai. Selain itu, dalam bidang pendidikan nonformal Muhammad Abduh juga menyebutkan pentingnya upaya perbaikan (ishlah). Dalam hal ini Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:

  • Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar.
  • Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
  • Memberikan semangat ke dalam jiwa para pendakwah untuk cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
  1. Pembelaan atas Islam

Karya Risalah al­Tauhid yang ditulis oleh Abduh dimaksudkan untuk mempertahankan jati diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing dalam paham keislaman merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam.

Muhammad Abduh tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti-agama yang saat itu marak di Eropa. Dia lebih tertarik memperhatikan serangan-serangan terhadap agama Islam dari sudut keilmuan. Ia yakin bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak mungkin bertentangan, tetapi antara ilmu dan agama bekerja pada tingkat yang berbeda.

Muhammad Abduh berusaha mempertahankan jati diri Islam dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran ilahi yang dipelajari melalui agama.  Oleh karena itu ia sangat menjunjung tinggi ijtihad. Karena ijtihad membuktikan bahwa Islam tidak diturunkan untuk mendukung kejumudan, akan tetapi Islam diturunkan bergerak dinamis seiring perkembangan manusia dan problem-problem kemanusiaan.

Baca Juga: