Menu Tutup

Nabi Muhammad Saw ke Thaif: Perjalanan Penuh Ujian dalam Menyebarkan Islam

Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan Nabi Muhammad ﷺ adalah perjalanan beliau ke Thaif. Perjalanan ini terjadi setelah kematian dua orang yang sangat penting bagi beliau, yaitu istrinya Khadijah binti Khuwailid dan pamannya, Abu Thalib. Kematian kedua orang ini, yang dikenal dengan “Tahun Duka Cita” (Aam al-Huzn), menjadi titik balik yang membawa banyak penderitaan bagi Rasulullah ﷺ. Setelah kehilangan perlindungan pamannya dan tekanan yang semakin kuat dari kaum Quraisy, Nabi ﷺ memutuskan untuk pergi ke Thaif, sebuah kota yang terletak sekitar 80 km dari Makkah. Tujuan utama beliau adalah untuk mencari perlindungan dan dukungan dari penduduk Thaif dalam upaya melanjutkan dakwah Islam.

Latar Belakang Perjalanan ke Thaif

Setelah kematian Abu Thalib, perlindungan yang selama ini diberikan kepadanya dari kaum Quraisy melemah. Kaum Quraisy yang sebelumnya takut untuk menyakiti Rasulullah ﷺ secara langsung kini semakin berani melakukan serangan, penghinaan, dan penindasan terhadap beliau. Pada saat itu, Rasulullah ﷺ merasa perlu mencari tempat yang aman untuk melanjutkan dakwahnya tanpa gangguan dari kaum musyrikin Makkah. Thaif menjadi pilihan beliau karena kota ini merupakan pusat perdagangan dan memiliki kekuatan ekonomi serta sosial yang cukup signifikan di wilayah Hijaz.

Dengan penuh harapan, Rasulullah ﷺ berangkat ke Thaif, berjalan kaki bersama sahabatnya, Zaid bin Haritsah. Beliau berharap agar penduduk Thaif, khususnya pemimpin suku Tsaqif, mau menerima dakwah Islam atau setidaknya memberikan perlindungan kepada beliau.

Dakwah di Thaif dan Penolakan Penduduknya

Sesampainya di Thaif, Nabi Muhammad ﷺ menemui tiga pemimpin besar dari suku Tsaqif. Mereka adalah Abdu Yalail, Mas’ud, dan Habib, ketiga anak Amr bin Umair. Rasulullah ﷺ menyampaikan misi beliau, yaitu menyebarkan ajaran tauhid dan meminta dukungan mereka untuk menolong beliau dari tekanan kaum Quraisy.

Namun, harapan beliau tidak terwujud. Ketiga pemimpin Thaif tersebut tidak hanya menolak dakwah beliau, tetapi juga mengejek dan mempermalukan beliau. Salah seorang dari mereka bahkan berkata, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu untuk diutus?” yang lain menambahkan dengan lebih kasar bahwa mereka tidak akan pernah berbicara dengannya lagi.

Penolakan itu tidak berhenti pada ejekan. Mereka juga memprovokasi penduduk Thaif untuk menyerang Rasulullah ﷺ. Para budak dan anak-anak dikerahkan untuk melempari beliau dengan batu dan menyakiti beliau secara fisik. Serangan ini berlangsung sepanjang jalan keluar dari kota, hingga Nabi ﷺ terluka parah di kepala dan kakinya. Dalam kondisi terluka, beliau terpaksa mencari perlindungan di kebun milik dua orang Quraisy, Utbah bin Rabi’ah dan Syaibah bin Rabi’ah .

Doa Rasulullah ﷺ dan Pertolongan Allah

Dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Nabi Muhammad ﷺ berdoa kepada Allah dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Dalam doanya, beliau mengungkapkan kekecewaannya kepada manusia tetapi tetap memohon rahmat dan perlindungan Allah. Beliau mengakui kelemahan diri di hadapan Tuhannya, tetapi tetap yakin bahwa hanya dengan izin Allah semua masalah dapat teratasi.

Di saat yang sulit ini, Allah mengirimkan pertolongan-Nya. Melalui Utbah dan Syaibah, Rasulullah ﷺ diberikan perlindungan sementara di kebun mereka. Selain itu, seorang pelayan Nasrani bernama Addas, yang bekerja di kebun tersebut, diperintahkan oleh tuannya untuk memberikan anggur kepada Rasulullah ﷺ. Ketika Addas melihat keagungan Nabi Muhammad ﷺ, dan setelah mendengar percakapan beliau tentang asal-usul dari Ninawa, kampung halaman Nabi Yunus, Addas pun memeluk Islam .

Kepulangan ke Makkah

Setelah peristiwa di Thaif, Rasulullah ﷺ kembali ke Makkah dalam kondisi yang sangat sedih dan terluka, baik secara fisik maupun emosional. Meskipun mengalami banyak penderitaan, beliau tidak menyerah dalam menyampaikan dakwah Islam. Dalam perjalanan pulang, Rasulullah ﷺ kembali mendapatkan pertolongan dari Allah. Di sebuah tempat bernama Nakhlah, Allah mengutus sekelompok jin untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang dibacakan oleh beliau. Setelah mendengarkan bacaan Al-Qur’an tersebut, jin-jin itu kemudian beriman dan menjadi juru dakwah bagi kaumnya .

Setibanya di Makkah, Rasulullah ﷺ sempat kebingungan tentang bagaimana beliau bisa masuk ke kota tersebut tanpa perlindungan, mengingat tekanan yang semakin kuat dari kaum Quraisy. Namun, al-Muth’im bin ‘Adiy, seorang tokoh Makkah yang belum memeluk Islam, dengan penuh keberanian memberikan perlindungan kepada Nabi ﷺ sehingga beliau bisa memasuki Makkah dengan aman .

Pelajaran dari Perjalanan ke Thaif

Peristiwa perjalanan Nabi ﷺ ke Thaif mengajarkan beberapa pelajaran penting:

  1. Kesabaran dan Keteguhan dalam Dakwah: Meskipun menghadapi penolakan dan penghinaan yang luar biasa, Nabi Muhammad ﷺ tetap bersabar dan tidak menyerah dalam menyampaikan risalah Islam. Beliau menunjukkan keteguhan yang luar biasa dalam menghadapi tantangan.
  2. Kepasrahan Total kepada Allah: Dalam doa beliau, terlihat betapa Rasulullah ﷺ benar-benar bersandar kepada Allah dalam segala hal. Ketika semua pintu tampak tertutup, hanya kepada Allah beliau memohon pertolongan.
  3. Keberanian dalam Menghadapi Penolakan: Perjalanan ini juga menunjukkan bahwa penolakan dalam dakwah bukanlah tanda kegagalan. Rasulullah ﷺ terus berusaha menyampaikan kebenaran meskipun seringkali mendapat penolakan yang keras.
  4. Rahmat Allah dalam Setiap Keadaan: Meskipun beliau disakiti dan ditolak oleh penduduk Thaif, Allah tetap memberikan pertolongan dengan cara yang tidak disangka-sangka, seperti melalui keimanan Addas dan perlindungan yang diberikan oleh al-Muth’im bin ‘Adiy.

Penutup

Perjalanan Nabi Muhammad ﷺ ke Thaif adalah salah satu ujian terberat dalam dakwah beliau, namun juga menjadi bukti kuat tentang kekuatan iman dan kepasrahan total kepada Allah. Meskipun ditolak dan disakiti, beliau tidak pernah berhenti menyampaikan risalah Allah. Kisah ini memberikan inspirasi dan teladan tentang kesabaran, keteguhan, dan harapan bagi semua umat Muslim yang menghadapi tantangan dalam hidup mereka.

Referensi:

  • Hisyam, Ibnu. Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam. Qisthi Press, 2019.
  • Al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman. Ar-Rahiq al-Makhtum: Sirah Nabawiyah – Sejarah Lengkap Kehidupan Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wasalam. Qisthi Press, 2016.
  • Katsir, Ibnu, and Abu Ihsan al-Atsari. Sirah Nabi Muhammad. Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2010.

Lainnya