Menu Tutup

Nikah Siri dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam Fiqh an-Nikah kedudukan dan keabsahan nikah siri dalam perspektif hukum islam, tidak lepas dari pembahasan mengenai syarat dan rukun suatu pernikahan dalam islam.

Syarat merupakan segala sesuatu yang kepadanya menyangkut sah atau tidaknya sesuatu hal yang lain, tapi bukan merupakan bagian dari perbuatan itu. Sedangkan rukun itu adalah sesuatu yang masuk dan berada di dalam ritual ibadah tersebut.

Hukum nikah siri secara umum menurut pandangan agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat praktik nikah sirih ini digelar. Sebagaimana menurut madzhab AsySyafi’iyah disebutkan bahwa rukun nikah yang harus terpenuhi agar suatu perkawinan dikatakan sah yaitu[1]:

  1. Adanya kedua mempelai (suami – istri)
  2. Adanya wali (ayah kandung calon pengantin perempuan sebagai pihak yang melakukan ijab)
  3. Adanya Saksi (dua orang laki-laki yang adil)
  4. Adanya ijab kabul (akad nikah)

Adapun Mahar atau mas kawin tidak termasuk dalam rukun nikah, mengingat bahwa Rasulullah Saw pernah menikahkan wanita, namun wanita itu melepaskan haknya atas mahar.

Namun,  bagaimana syariat memandang terkait praktik pernikahan siri yang banyak terjadi di masyarakat umum masa kini, maka dari segi hukum perlu memandang dan memperhatikan bentukbentuk fenomena nikah siri yang terjadi :

1. Pernikahan Tanpa Wali Atau Saksi

Pada praktiknya dan umumnya yang terjadi di masyarakat kita ini pernikahan siri terjadi lantaran tidak atau belum mengantongi izin dari wali. Saking menggeloranya keinginan untuk menikah, berfikir pendek sehingga kedua pasangan ini sepakat untuk kawin lari tanpa wali. Atau karena mungkin menganggap keabsahan pernikahan tanpa wali.

Pada keadaan lain wali ada tapi saksi tidak ada. Sengaja untuk merahasiakannya. Hal ini tentu saja melanggar aturan koridor syariat agama. Pernikahan nya menjadi tidak sah  karena hilangnya salah satu rukun dalam pernikahan

Sesungguhnya dalam ajaran Islam telah melarang seorang wanita yang menikah tanpa wali dan dua orang saksi. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

لا نكاح إلا  بو لٍ  و شاهدي عدلٍ

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” (HR.Abu Dawud) [2]

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’ kata )لا( pada hadits menunjukkan pengertian bukan sekedar tidak sempurna melainkan tidak sah. Sebagaimana pendapat Jumhur Ulama bahwa Wali dan saksi merupakan bagian dari rukun sah pernikahan.

Sehingga sebuah pernikahan menjadi tidak sah hukumnya ketika pernikahan itu dilakukan tanpa kesertaan saksi dan wali yang sah sesuai ketentuan syariah islam. Hal ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang  diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallhu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

أيْا امرأة نكحت بدون إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil! pernikahannya batil! pernikahannya batil”. (HR. Abu Dawud)

Berdasarkan hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil

2. Nikah Sah Secara Aspek Syar’i tapi Tidak Sah Secara Aspek Legalitas

Jika pernikahan siri tersebut sudah terpenuhi secara rukun dan syarat maka dianggap sah menurut syariat sebagaimana pada penjelasan sebelumnya. Namun , secara legalitas hukum negara belum dianggap sah lantaran tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil.

Sehingga walau belum tercatat secara negara, hubungan yang dilakukan oleh sepasang suami istri ini dianggap sah dan tidak layak dan patut untuk dihukumi sebagai sebuah kemaksiyatan.

Hanya saja perlu diperhatikan dampak ketika seseorang menikah tanpa adanya pencatatan pada Kantor Urusan Agama dia tidak memiliki bayyinah (bukti) untuk membuktikan bahwa dirinya benarbenar telah melakukan pernikahan yang sah dengan orang lain.

Yang mana bukti ini kelak bisa kita hadirkan di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, masalah pemenuhan nafkah, dan lain sebagainya.

3. Pernikahan Tidak Sah Secara Aspek Syar’i Tapi Sah Secara Aspek Legalitas

Bentuk Pernikahan siri semacam ini sebenarnya cukup aneh. Pernikahan ini secara hukum syariah tidak sah, tetapi malah punya aspek legalitas di mata hukum. Padahal seharusnya kalau secara aspek syar’i tidak memenuhi syarat, maka secara aspek legalitasnya pun juga tidak terpenuhi.

Namun, realitanya hal ini terjadi. Sebagai contoh pernikahan yang diwalikan oleh orang yang tidak berhak menjadi walinya. Misal menjadikan ayah angkat atau ayah tiri sebagai wali tanpa sepengetahuan wali kandungnya.

Contoh lain, kita tentu pernah mendengar pernikahan yang dilakukan antara lelaki non muslim dengan wanita muslimah. Aspek legalitasnya tentu tidak bisa didapat, jika pernikahan tersebut dilaksanakan di dalam wilayah hukum negeri kita di Indonesia.

Tapi bisa lain cerita kalau itu dilakukan di luar negeri yang tidak mengacu kepada hukum syariah. Surat nikah dan legalitas pasangan lain agama bisa saja diperoleh dengan mudah.

Tentu saja pernikahan semacam ini hukumnya haram dalam pandangan syari’ah. Namun sayangnya memiliki keabsahan menurut aspek legalitas.

[1] Imam Syairozi, Kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, (Jeddah: Maktabah Al-Irsyad, t.tt), jilid 17, hlm.240

[2] Sunan Abu Dawud, no hadis 2085

Sumber: Vivi Kurniawati, Nikah Siri, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

Baca Juga: