Pelaksanaan Pembatalan Perkawinan

Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh iu jelas dan dibenarkan syarak, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan pututsan pengadilan, misalnya terbukti bahwa suami isteri masih saudara kandung, atau saudara susuan.

Akan tetapi jika terjadi seperti hal-hal berikut, maka pelaksanaannya[1] adalah :

  1. Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang, seperti qadi nikah di pengadilan agama supaya yang berwenang dapat menyelesaikaan sebagaimana semestinya.
  2. Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari, sejak dari isteri itu mengadu, jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakhkan nikahnya. Atau dia sendiri yang memfasakhkan di muka hakim setelah diizinkan olehnya.

Akibat Hukum Fasakh

Pisah suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak.[2] Sebab, talak ada talak ba’in dan ada talak raj’i. talak raj’i. talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika. Sedangkan talak ba’in mengakhiri seketika itu juga. Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang dating belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka hal itu mengakhiri ikatan pernikahan seketika iu.

Pisah suami isteri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian kedua suami isteri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.[3]

contoh bunyi lafal fasakh yaitu : “aku fasakhkan nikahmu dari suamimu yang bernama…. Bin.. pada hari ini.” Kalau fasakh  itu dilakukan oleh isteri sendiri dengan mengangkat perkaranya di depan hakim, maka isteri tersebut berkata : “aku fasakhkan nikahku dari suamiku yang bernama …..bin…pada hari ini.” Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinamakan talak ba’in.[4] kalau hendak kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dan akad baru, sedang iddahnya seabagai iddah talak biasa.

[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Op.,Cit, h. 202-203 lihat juga Slamet Abidin dan Aminudin, Op.,Cit, h. 79-80

[2] Ibid, h. 314

[3] Ibid, h. 314

[4] Ibid, h. 315