Menu Tutup

Pemboikotan Kaum Quraisy Terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib: Peristiwa Kunci dalam Sejarah Dakwah Islam

Pemboikotan yang dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib adalah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah awal Islam. Peristiwa ini mencerminkan ketegangan politik, sosial, dan keagamaan antara para pengikut Nabi Muhammad ﷺ dengan kaum musyrikin Quraisy yang menentang penyebaran ajaran Islam. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun dan menciptakan penderitaan besar bagi suku-suku yang terlibat, namun juga memperlihatkan kekuatan iman, keteguhan, dan solidaritas di antara kaum Muslimin dan pendukung Nabi Muhammad ﷺ.

Latar Belakang Pemboikotan

Sejak Nabi Muhammad ﷺ mulai mendakwahkan Islam secara terbuka di Makkah, kaum Quraisy menunjukkan sikap permusuhan yang semakin kuat. Mereka khawatir bahwa ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ akan merusak tatanan sosial, ekonomi, dan agama tradisional yang telah lama mereka pertahankan. Pada awalnya, kaum Quraisy mencoba berbagai cara untuk menghentikan dakwah ini, seperti penghinaan, kekerasan fisik, dan tekanan sosial terhadap para pengikut Islam. Namun, upaya ini tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Semakin banyak orang yang memeluk Islam, termasuk beberapa tokoh penting seperti Hamzah bin Abdul Muththalib dan Umar bin Khattab, menambah kecemasan kaum Quraisy. Mereka takut bahwa pengaruh Islam akan semakin meluas dan pada akhirnya menghancurkan kekuasaan mereka. Karena usaha menekan Nabi Muhammad ﷺ secara langsung tidak membuahkan hasil, kaum Quraisy mulai mencari cara lain untuk menekan Nabi ﷺ dan para pengikutnya.

Keputusan Pemboikotan

Pada tahun ketujuh setelah kenabian, kaum Quraisy memutuskan untuk melakukan pemboikotan total terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Pemboikotan ini tidak hanya menyasar Muslim dari kedua suku tersebut, tetapi juga anggota suku yang belum memeluk Islam. Keputusan ini diambil karena kedua suku tersebut, meskipun banyak dari anggotanya belum masuk Islam, tetap mendukung dan melindungi Nabi Muhammad ﷺ. Satu-satunya pengecualian adalah Abu Lahab, paman Nabi ﷺ, yang mendukung kebijakan kaum Quraisy dan ikut serta dalam boikot.

Kaum Quraisy menyusun sebuah perjanjian yang mengatur bahwa mereka tidak akan melakukan transaksi jual beli, pernikahan, atau hubungan sosial lainnya dengan Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Perjanjian ini kemudian digantung di dalam Ka’bah sebagai simbol keseriusan mereka dalam menjalankan pemboikotan tersebut.

Isi Perjanjian Pemboikotan

Perjanjian pemboikotan ini sangat ketat dan melarang segala bentuk hubungan sosial dan ekonomi antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib dengan masyarakat Quraisy lainnya. Beberapa poin penting dalam perjanjian ini meliputi:

  1. Larangan Transaksi Ekonomi: Kaum Quraisy dilarang melakukan jual beli dengan anggota Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Ini berarti mereka tidak dapat membeli atau menjual barang apa pun, termasuk makanan dan kebutuhan pokok lainnya, kepada kedua suku tersebut.
  2. Isolasi Sosial: Selain larangan ekonomi, kaum Quraisy juga melarang pernikahan atau interaksi sosial lainnya dengan anggota kedua suku tersebut. Bani Hasyim dan Bani Muththalib diputuskan dari jaringan sosial di Makkah, membuat mereka terkucil dan terisolasi.
  3. Durasi yang Tidak Dibatasi: Perjanjian ini tidak menyebutkan batas waktu pemboikotan. Kaum Quraisy berencana untuk mempertahankan tekanan ini sampai Bani Hasyim dan Bani Muththalib menyerahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk dihukum atau hingga mereka berhenti melindungi beliau.

Kehidupan Selama Pemboikotan

Selama masa pemboikotan yang berlangsung sekitar tiga tahun, kehidupan menjadi sangat sulit bagi Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Mereka diusir dari Makkah dan harus tinggal di lembah Abu Thalib, sebuah tempat yang terisolasi di pinggiran kota Makkah. Tanpa akses ke makanan, air, dan barang-barang pokok lainnya, mereka mengalami kelaparan dan kesulitan yang parah.

Selama waktu ini, anggota kedua suku harus mengandalkan bantuan yang datang secara sembunyi-sembunyi dari beberapa anggota kaum Quraisy yang bersimpati. Salah satu orang yang membantu adalah Hakim bin Hizam, keponakan Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi Muhammad ﷺ. Hakim bin Hizam secara diam-diam menyelundupkan makanan ke lembah Abu Thalib meskipun tindakan ini berisiko tinggi.

Selain kesulitan ekonomi, Bani Hasyim dan Bani Muththalib juga menghadapi ancaman fisik dan mental. Tangisan anak-anak yang kelaparan sering terdengar di lembah tersebut. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini memperlihatkan kekejaman kaum Quraisy dalam menekan Islam dan para pengikutnya.

Pembatalan Pemboikotan

Setelah tiga tahun yang penuh penderitaan, beberapa anggota kaum Quraisy mulai merasa tidak nyaman dengan kebijakan pemboikotan. Beberapa dari mereka mulai menyadari bahwa pemboikotan ini tidak hanya kejam tetapi juga tidak manusiawi. Hisyam bin Amr adalah salah satu tokoh Quraisy yang secara aktif berusaha mengakhiri pemboikotan. Ia kemudian berhasil mendapatkan dukungan dari beberapa pemimpin Quraisy lainnya, seperti Zuhair bin Abi Umayyah, Mut’im bin ‘Adi, dan Abu al-Bakhtari bin Hisyam.

Di sisi lain, Rasulullah ﷺ menerima wahyu yang mengungkapkan bahwa perjanjian pemboikotan yang digantung di Ka’bah telah dimakan oleh rayap, kecuali bagian yang menyebut nama Allah. Nabi Muhammad ﷺ kemudian menyampaikan kabar ini kepada pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib menggunakan informasi ini sebagai argumen untuk menekan kaum Quraisy agar memeriksa perjanjian tersebut. Setelah perjanjian diperiksa, mereka menemukan bahwa informasi tersebut benar adanya. Bagian perjanjian yang menyebutkan nama Allah masih utuh, sementara bagian lainnya telah hancur.

Fakta ini membuat banyak pemimpin Quraisy merasa terkejut dan merasa bahwa perjanjian tersebut tidak lagi sah. Dengan dukungan dari beberapa tokoh Quraisy yang menentang pemboikotan, akhirnya perjanjian pemboikotan dicabut, dan Bani Hasyim serta Bani Muththalib dibebaskan dari isolasi yang mencekam mereka selama tiga tahun.

Dampak Pemboikotan

Pemboikotan ini meninggalkan dampak yang mendalam, baik bagi kaum Muslimin maupun Quraisy. Di satu sisi, pemboikotan ini menguji kesabaran dan keteguhan kaum Muslimin. Mereka harus bertahan dalam kondisi yang sangat sulit, namun tetap mempertahankan keimanan dan solidaritas di antara mereka.

Bagi Quraisy, peristiwa ini memperlihatkan bahwa strategi kekerasan dan tekanan ekonomi tidak selalu efektif dalam menekan keyakinan keagamaan. Bahkan, pemboikotan tersebut justru menambah simpati terhadap kaum Muslimin di antara beberapa anggota Quraisy yang akhirnya membela mereka.

Namun, pemboikotan ini juga meninggalkan luka yang mendalam. Beberapa orang, termasuk istri Nabi ﷺ, Khadijah binti Khuwailid, yang selalu mendukung beliau selama masa-masa sulit, mengalami kemunduran kesehatan yang parah akibat kekurangan nutrisi selama pemboikotan. Khadijah wafat tak lama setelah pemboikotan berakhir, menjadikan peristiwa ini semakin tragis bagi Nabi Muhammad ﷺ.

Kesimpulan

Pemboikotan kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Muththalib merupakan salah satu ujian paling berat yang dihadapi oleh kaum Muslimin pada masa awal dakwah Islam. Meski berlangsung dalam kondisi yang sangat berat, pemboikotan ini tidak mampu mematahkan semangat dan keteguhan para pengikut Nabi Muhammad ﷺ. Sebaliknya, peristiwa ini menunjukkan bahwa kesabaran dan keimanan yang kuat akan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah.

Selain itu, peristiwa pemboikotan juga menunjukkan bahwa pada akhirnya, kezaliman dan ketidakadilan tidak akan bertahan lama. Allah akan selalu memberikan jalan keluar bagi orang-orang yang sabar dan beriman. Kisah pemboikotan ini menjadi pelajaran penting bagi generasi Muslim tentang pentingnya keteguhan dalam menghadapi cobaan dan tantangan dalam menegakkan kebenaran.

Referensi:

  • Hisyam, Ibnu. Sirah Nabawiyah-Ibnu Hisyam. Qisthi Press, 2019.
  • Al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman. Ar-Rahiq al-Makhtum: Sirah Nabawiyah – Sejarah Lengkap Kehidupan Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wasalam. Qisthi Press, 2016.
  • Katsir, Ibnu, and Abu Ihsan al-Atsari. Sirah Nabi Muhammad. Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2010.

Lainnya