Menu Tutup

Pemikiran Abu Yusuf tentang Pasar

Riwayat Hidup Abu Yusuf

Abu Yusuf, yang dalam literatur Islam sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Ansāri al-Jalbi al-Kufi al-Baghdādi lahir pada tahun 113 H/731/732 M di Kufah dan pernah tinggal di Baghdad, serta meninggal pada tahun 182 H/798 M. Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya disebut Anshori karena dari pihak ibu masih mempunyai hubungan dengan kaum Anshor (pemeluk Islam pertama dan penolong Nabi Muhammad SAW) di masa hidupnya di Kufah, yang terkenal sebagai daerah pendidikan yang diwariskan oleh Abdullah Ibnu Mas‟ud (w. 32 H) seorang sahabat besar Nabi Muhammad SAW.[1]

Secara historis dapat diketahui, Abu Yusuf hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar dalam Islam, yaitu pada akhir kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus dan masa Bani Abbasiyah. Hal ini ditandai dengan adanya persaingan perebutan kekuasaan di kalangan anggota-anggota dinasti Umayyah dengan kemewahan di istana yang telah membawa dinasti ini kepada kelemahan yang pada gilirannya membawa pada kehancuran pada tahun 750 M.

Ketika itu muncullah kelompok dari Bani Hashim, sebagai saingan politik Bani Umayyah memperebutkan jabatan Khalifah atau pemerintahan umat Islam. Gerakan oposisi ini dipelopori oleh Abu al-Abbas ibnu Abdu al-Muththalib Ibnu Hashim. Kesatuan mereka berhasil membunuh Khalifah Marwan II, yaitu khalifah terakhir Bani Umayyah.

Dalam perjalanan pendidikannya, Abu Yusuf menjadi murid Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. Antara lain (1) Jalil Atha’ bin al-Sha’bi seorang tabi’in senior, yang memiliki keahlian di bidang fikih dan hadis, (2) al-A’mash yang nama lengkapnya Sulaiman bin Mahran, (3) Hisham ibn Urwah al-Asadi al-Madani beliau adalah ulama hadis yang sangat terkenal pada masanya serta termasuk dalam thabaqat para tabiin yang banyak melahirkan murid terutama para ulama Hijaz seperti al-Zuhri, Imam Malik dan lainnya , Abu Ishaq al-Shaibani, Sofyan al-Thauri seorang imam yang ahli dalam bidang hadis, beliau juga salah seorang mujtahid besar yang mempunyai pengikut dan pengaruh yang amat besar, Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Abi Laila, beliau dikenal sebagai mujtahid yang berpegang kepada ra’yu dan pernah menjabat hakim di Kufah selama 33 tahun, yaitu sejak masa Bani Umayyah sampai beberapa masa pada daulat Bani Abbasiyyah.[2]

Selain itu juga tokoh seperti Sulaiman al-Tamimi dan Yahya Ibnu Said. Masing-masing ulama besar tersebut sempat menjadi tempat Abu Yusuf menimba ilmu pengetahuan. Fenomena ini mengindikasikan minat Abu Yusuf yang kuat terhadap ilmu pengetahuan sejak kecil. Kecenderungan tersebut selalu memacu beliau untuk lebih giat menimba ilmu pengetahuan dari beberapa tokoh yang hidup pada masanya dan hal ini pula yang mendorongnya untuk menekuni beberapa kajian, terutama dalam kajian-kajian hadis, meskipun dalam perjalanan pendidikannya harus bekerja mencari nafkah karena kelemahan ekonomi orang tuanya. Kemudian Abu Yusuf tertarik untuk mendalami ilmu fikih bersama gurunya Ibnu Abi Laila (w.148 H).

Selanjutnya ia belajar pada Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu Hanifah menyanggupi membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan mazhab Hanafi ke berbagai penjuru.

Hal ini dapat dipahami dari ungkapan Abu Hanifah bahwa, Abu Yusuf adalah seorang yang sangat kuat hafalan dan ilmunya. Tidak ada lagi seorangpun di seluruh dunia yang lebih luas ilmu fikihnya dari Abu Yusuf. Ungkapan tersebut memberi gambaran bahwa sekiranya Abu Hanifah tidak mempunyai murid selain Abu Yusuf niscaya ia telah cukup untuk menjadi kebanggaan besar bagi manusia.

Dilihat pada aspek kajian pendidikannya Abu Yusuf mempunyai kaitan erat dengan pemikiran fikih Ibnu Abi Laila sebagai guru dan murid. Namun pada tataran praktis lebih didominasi oleh corak pemikiran Abu Hanifah dalam pandangannya. Dominasi ini bukan hanya karena keterkaitannya dengan Abu Hanifah sebagai sahabat, murid dan guru, tetapi juga karena corak pemikiran masyarakat saat itu yang didominasi oleh pemikiran Abu Hanifah. Selain itu terdapat motivasi yang kuat dan khusus dari Abu Hanifah sendiri kepada beliau agar menyebarluaskan Mazhab Hanafi di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai tangan kanan Abu Hanifah.

Setelah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada perguruan Abu Hanifah selama 16 tahun dan masih berkomitmen untuk tidak berkomunikasi dengan jabatan pemerintahan terutama jabatan kehakiman, seperti prinsip Abu Hanifah. Di samping belajar dan mengajar, Abu Yusuf giat menyusun buku-buku yang membahas ilmu fikih, yang merupakan buku pertama yang beredar pada saat itu. Sehingga tidak heran jika buku-buku fikih Abu Yusuf dan pemikiran Mazhab Hanafi menguasai alam pikiran umat Islam, termasuk keputusan para ulama di lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi pada saat itu. Fenomena ini berimplikasi kepada tersebarnya nama besar Abu Yusuf seiring dengan tersebarnya Mazhab Hanafi.

Meskipun beliau sering disebut sebagai murid dan pengikut Mazhab Hanafi, tetapi independensi pemikiran sangat dijaga dalam berfatwa dan berijtihad. Sehingga dalam karya-karyanya, Abu Yusuf sering mengutip kemudian mengkritisi pemikiran Abu Hanifah serta menampilkan pemikirannya sendiri yang disertai argumentasinya. Bahkan sering pula pendapat Abu Yusuf berseberangan dengan pendapat Abu Hanifah. Oleh karena itu Abu Yusuf dibahasakan sebagai seorang Imam, karena kepiawaiannya dalam menetapkan hukum dan luasnya kapasitas ilmu yang dimiliki. Terlebih lagi bila dilihat peran dan fungsinya dalam mengembangkan hukum dengan menggunakan beberapa perangkat metodologi yang terinspirasi dari Abu Hanifah.

Pada tahun 166 H/782 M, Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Hal ini dilakukan karena kondisi perekonomiannya tidak mendukung dalam menunjang karier keilmuannya. Sehingga Abu Yusuf menemui khalifah Abbasiyah al-Mahdi (159 H/775 M – 169 H/785 M) yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur. Panggilan populernya adalah Qadi al-Qudhah (hakim agung) yaitu jabatan yang disandangnya pada masa kekuasaan khalifah Harun al-Rashid (170 H/786 M -194 H/809 M) sebagai ketua para hakim yang pertama di masa daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak masa Bani Umayyah (abad ke-7) sampai masa Khalifah al-Mahdi dari Daulah Abbasiyah (abad ke-8). Jabatan ini pantas diberikan kepadanya karena ilmunya luas, kepribadiannya sangat disukai Khalifah Harun ar-Rashid. Tentang Abu Yusuf Harun al-Rashid menyatakan bahwa Abu Yusuf adalah seorang ulama yang memiliki keluasan ilmu fikih, memiliki kepribadian ilmiah yang teguh dan konsisten.

Abu Yusuf dan beberapa orang murid Abu Hanifah lainnya terus menyebarkan fikih mazhab Hanafi ini sampai akhir hayatnya. Selain itu mereka juga dikenal mempunyai murid sebagai penyambung mata rantai dari generasi ke generasi. Murid tersebut kemudian melahirkan tokoh-tokoh yang memperkenalkan metode pemikiran fikih mahzab Hanafi. Diantara mereka ada Abu Hasan al-Karakhi (w. 340 H), yang menyusun kitab al-Ushul, Abu Bakar al-Razi (w. 380 H), yang sering disebut al-Jassas dan menyusun kitab Ushul Fiqh ’Ulu al-Jassas, Zaid al-Dabus, al-Bazdawi, al-Shahisi, al-Humam dan lainnya.

Pengembaraan intelektual Abu Yusuf telah menempatkan beliau pada posisi sebagai seorang tokoh ilmuwan yang fenomenal. Hal ini tidak hanya dikarenakan corak berpikirnya yang cukup maju tetapi beliau juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara pada masa tersebut. Adapun karya-karya beliau yang merespon beberapa gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan kehidupan sosial dan agama adalah kitab al-Athar, kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila, kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i, kitab Adabu al-Qādhy, kitab al-Maharij fi al-Haili dan kitab al-Khara.[3]

Mekanisme Pasar Dalam Islam

Pasar adalah salah satu dari berbagai sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dimana usaha menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual menggunakan alat pembayaran yang sah seperti uang fiat. Kegiatan ini merupakan bagian dari perekonomian. Ini adalah pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk memiliki pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan.[4]

Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (Iqtishad), tidak boleh ada sub ordinat, sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain. Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar. Namun dalam kenyataannya sulit ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair). Distorasi pasar tetap sering terjadi, sehingga dapat merugikan para pihak.

Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri (laissez faire), tanpa ada yang mengontrol, ternyata telah menyebabkan penguasaan pasar sepihak oleh pemilik modal (capitalist) penguasa infrastruktur dan pemilik informasi. Asimetrik informasi juga menjadi permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh pasar. Negara dalam Islam mempunyai peran yang sama dengan dengan pasar, tugasnya adalah mengatur dan mengawasi ekonomi, memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, informasi yang merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas menjadikannya dominan, sebab negara sekali-kali tidak boleh mengganggu pasar yang berjalan seimbang, perannya hanya diperlukan ketika terjadi distorsi dalam sistem pasar.

Konsep makanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadits Rasululllah Saw sebagaimana disampaikan oleh Anas ra, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :

Artinya:

“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”

Menurut pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori Invisible Hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (Invisible Hands). Bukankah teori Invisible Hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).[5]

Oleh karena harga sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan di pasar, maka harga barang tidak boleh ditetapkan pemerintah, karena ketentuan harga tergantung pada hukum supply and demand. Namun demikian, ekonomi Islam masih memberikan peluang pada kondisi tertentu untuk melalukan intervensi harga (Price Intervention) bila para pedagang melakukan monopoli dan kecurangan yang menekan dan merugikan konsumen.

Adapun yang menjadi dasar pemikiran ini berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadits di bawah ini:

Artinya:

Diceritakan dari ibn umar, dari Rasulullah SAW sesunnguhnya Rasulullah SAW bersabda: “jika ada dua orang yang saling berakad, masing-masing mereka mempunyai khiyar selagi belum berpisah. Atau jika salah satunya memilih maka jual beli itu jadi dengan pilihan tersebut. Dan jika berpisah keduanya maka jual beli itu sudah jadi”.

Artinya:

“Rasul melarang dua jual beli yaitu, mulamasah dan munabedzah. Mulamasah adalah masing-masing keduanya memegang baju temannya dengan tanpa berfikir. munabedzah adalah masing-masing pembeli melempar pakaian pada yang lain dan tidak melihat pada baju temannya

Al Furqan Ayat 7

Artinya:

Dan mereka berkata: “Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?

Al-Furqan ayat 20 :

Artinya:

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.

Pemikiran Abu Yusuf Tentang Pasar

Abu Yusuf menyatakan bahwa tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal adalah ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah.

Pada zaman Abu Yusuf, asumsi yang berkembang adalah, apabila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan jika tersedia banyak maka harga akan murah. Tetapi beliau menolak asumsi masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang sedikit (supply) menyebabkan harga (price) mahal, demikian pula persediaan barang banyak mengakibatkan harga akan murah. Karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan (supply) saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran (demand). Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan akan barang.

Menurut Abu Yusuf, ada variabel lain yang ikut mempengaruhi harga, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Bisa saja variabel tersebut adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau terjadinya penimbunan dan penahanan barang. Bagi Abu Yusuf, tinggi rendahnya harga adalah bagian dari ketentuan Allah. Manusia tidak dapat melakukan intervensi atas urusan dan ketetapan-Nya. Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth of Nations. Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai variabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan dalam penawaran uang. Namun, pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.[6]

[1] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Cet. I, (Yogyakarta: PSEI STIS, 2003), h. 26

[2] Ibid, h. 29

[3] Ibid, h. 30-32

[4] Al-Kaaf, Abdullah Zakiy, Ekonomi dalam Perspektif Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 108

[5] Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: IIIT, 2001), h. 58-60

[6] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, op.cit., h. 37

Baca Juga: