Menu Tutup

Pendidikan Islam Pada Masa Kemerdekaan

Setelah merdeka, pendidikan Islam mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Di Sumatra, Mahmud Yunus sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada kepala pengajaran agar pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah ditetapkan dengan resmi dan guru-gurunya digaji seperti guru umum dan usul pun diterima[1].

Selain itu pendidikan agama di sekolah juga mendapat tempat yang teratur, seksama, dan penuh perhatian. Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 13 Desember 1946 yang bertugas mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah serta pesantren-pesantren.

Pendidikan Islam setahap demi setahap diajukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman kolonial, sudah mulai ikut mendirikan madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda Islam diberi banyak pilihan. Upaya ini merupakan usaha untuk menata diri ditengah-tengah realitas sosial modern dan kompleks. Pesantren juga telah lebih berkembang dengan berdirinya perguruan tinggi Islam.

Sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan Undang-undang 1945. ekstensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan nasional dituangkan dalam Undang-undang pokok pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950, bahwa belajar disekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar[2].

Pada tahun 1958 pemerintah terdorong untuk mendirikan Madrasah Negeri dengan ketentuan kurikulum 30% pelajaran agama dan 70% pelajaran umum. Sistem penyelenggaraannya sama dengan sekolah-sekolah umum dengan perjenjangan sebagai berikut :

  1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) setingkat SD lama belajar enam tahun.
  2. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar tiga tahun.
  3. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar tiga tahun.[3]

Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualisti, yaitu :

1) Sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah Belanda.

2) Sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat sendiri, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya sebagaimana uraian tersebut diatas.

Kedua sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian masyarakat, terutama kalangan atas saja. Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan dan pengajaran islam) tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat dan berurat berakar dalam masyarakat[4]. Hal ini diakui oleh badan komite nasional Indonesia pusat (BP-KNIP) dalam usul rekomendasinya yang disampaikan kepada pemerintah, tentang pokok-pokok pendidikan dan pengajaran baru, pada tanggal 29 Desember 1945.

Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan dikembangkan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Harapan ini walaupun sudah lama dicanangkan, namun belum juga terwujud sampai sekarang.

Keadaan lebih parah lagi dengan timbulnya gejala-gejala salah urus (miss management) akibatnya pada bidang pendidikan fasilitasnya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan. Lagi pula politik dan usaha-usaha pendidikan tidak berhasil menjadikan sektor pendidikan sebagai faktor penunjang bagi suatu pendidikan.

Perkembangan selanjutnya pendidikan hanya mengakibatkan benih-benih pengangguran. Lahirnya Orde Baru (ORBA) memungkinkan pendobrakan salah urus itu dalam segala bidang juga dalam pendidikan perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional,berorientasi kemasa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif.

Sedangkan masyarakat informasi ditinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.

Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunaan teknologi elekronika seperti komputer, faximile, internet, dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global.

Pada era informasi lewat komunikasi satelit dan komputer orang tidak hanya memasuki lingkunagan informasi dunia, tetapi juga sanggup megelolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan dan visual. Peranan media elektronika yang demikian besar akan menggeser agen-agen sosialisasi manusia yang berlangsung secara tradisional seperti yang dilakukan oleh orang tua, guru, pemerintah, dan sebagainya. komputer dapat dijadikan teman bermain, orang tua yang akrab, guru yang memberi nasehat juga sewaktu-waktu dapat memberikan jawaban sesegara mungkin atas petanyaan eksistensisal yang mendasar.

Kemajuan dalam bidang informasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan keperibadian masyarakat. Pada era informasi yang sanggup bertahan hanyalah mereka yang berorientasi ke masa depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan dan mereka yang memiliki ciri-ciri sebagaimana yang dimiliki masyarakat modern tersebut diatas.

Dari keadaan ini, keberadaan masyarakat suatu bangsa dengan bangsa lain menjadi satu baik dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manuisia pasti menghadapinya. Masa depan itu selanjutnya akan mpengaruhi dunia pendidikan baik dalam dunia kelembagaan materi pendidikan guru metode sarana prasarana dan lain sebagainya. hal ini pada gunanya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.

Memasuki abad 21 atau melenium ketiga ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah yang sangat urgen yang apabila tidak diatasi secara tepat, tidak mutahil dunia pendidikan akan ditinggal oleh zaman.

Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan dalam memecahkan dan merespon berbagai tantangan baru yang timbul pada setiap zaman adalah suatu hal yang logis bahkan suatu keharusan. Hal demikian dapat dimengerti mengingat dunia pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manuisia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia adalah merupakan kegagalan bagi kelangsungan kehidupan bangsa.

[1] Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta : Hidakarya, 1985. 125

[2] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: 1995, 236.

[3] Prof. Dr. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2005.128-129

[4] Sugarda Purbakawaca, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung Agung, 1970. 39.

Baca Juga: