Pada dasarnya seluruh kebijakan yang lahir pada zaman Orde Baru termasuk dalam bidang pendidikan yang diarahkan untuk menopang pembangunan dalam bidang ekonomi dengan pendekatan sentralistik monoloyalitas dan monopli.
Pertama, masuknya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Dimulai dengan lahirnya surat keputusan bersama tiga menteri (SKB 3 Menteri). Yaitu menteri pendidikan nasional, menteri agama, dan menteri dalam negeri. Di dalam SKB 3 Menteri dinyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan umum dan sebaliknya berhak mendapatkan bantuan sarana prasarana, baiya, dan diakui ijazahnya.
Kedua, pembaharuan madrasah[1] dan pesantren baik pada aspek fisik maupun non fisik[2]. Pada aspek fisik melakukan pembaharuan dilakukan pada peningkatan dan perlengkapan infrastruktur, sarana prasaran dan fasilitas. Adapun aspek non fisik meliputi pembaruan bidang kelembagaan, manajemen pengelolaan, kurikulum, mutu SDM, KBM, jaringan IT, dan lain sebagainya.
Hal ini dianggap penting agar lulusan madrasah dan pesantren dapat memliki berbagai peluang untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas, dengan demikian umat Islam tidak hanya menjadi objek atau penonton pembangunan, melainkan dapat berperan sebagai pelaku atau agen pembaharuan dan pembangunan dalam segala bidang, dengan ini umat islam dapat meningkatkan kesejahteraannya dalam bidang ekonomi dan sebagainya.
Melalui usaha pembaharuan pendidikan madrasah dan pesantren maka pada Orde Baru telah lahir kelonpok elite muslim terpelajar yang memiliki akses dunia kerja di pemerintahan dan berbagai lembaga pemerintah dan swasta yang bergengsi. Pembaharuan pendidikan madrasah dan pesantren[3] tersebut dibantu oleh pemerintah melalui dana baik yang berasal dari APBN maupun dana yang berasal dari pinjaman luar negeri.
Ketiga, pemberdayaan pendidikan Islam non formal tersebut antara lain dalam bentuk majelis taklim baik untuk kalangan masyarakat Islam kelompok, masyarakat biasa, maupun bagi masyarakat menengah ke atas.
Pada Orde Baru ini telah muncul ribuan majelis taklim kaum ibu yang selanjutnya tergabung dalam Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) mulai dari tingkat pusat sampai dengan kabupaten, kota, dan kecamatan.
Melalui Lembaga Pendidikan Islam non formal ini Islam semakin pesat ke dalam kehidupan masyarakat, dan mendorong lahirnya masyarakat kota yang semakin religius. Sejalan dengan itu maka muncul sebutan santri kota yaitu masyarakat kota yang semakin cinta pada Islam dan berusaha mengamalkannya dengan baik. Dengan ini kegiatan ceramah agama semakin semarak, dan buku atau bahan bacaan yang berkaitan dengan pembinaan mental spiritual semakin diminati.
Keempat, peningkatan atmosfer dan suasana praktik sosial keagamaan pada pemerintah Orde Baru telah mendukung lahirnya berbagai pranata ekonomi, sosial budaya, dan kesenian islam. Lahirnya ikatan cendekiawan muslim se-Indonesia (ICMI), Bank Muamalat Indonesia, Undang-Undang Peradilan Agama, Festival Isqlal, Bayt Al Qur’an lahir pada zaman Orde Baru. Semua ini merupakan keberhasilan pendidikan islam sebagaimana mestinya.[4]
Faktor-faktor pendukung kemajuan pendidikan islam yaitu terjadinya berbagai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di zaman Orde Baru disebabkan berbagai faktor sebagai berikut.
Pertama, semakin membaiknya hubungan dan kerja sama antara umat Islam dan pemerintah. Pemerintah di bawah pimpinan Soeharto berkuasa kurang lebih 32 tahun. Selama 16 tahun pertama hubungan antara umat Islam dan pemerintah dalam keadaan tidak harmonis, tegang, saling curiga, bahkan terkadang diwarnai konflik dan peristiwa berdarah sebagaimana kasus Tanjung Priuk, pembajakan pesawat yang diduga dilakukan oleh kelompok Islam garis keras yang bersebrangan dengan pemerintah. 16 tahun kedua hubungan politik atara umat islam dan pemerintah mulai mencair.
Terjadinya keadaan tersebut disebabkan karena terjadi perubahan semula yang bersifat ideologis politis, menjadi bersifat cultural, substantif, dan inklusif. Pada saat sebagian kelompok islam masih mengedepankan pendekatan ideeologis politis, Nurcholish Madjid misalnya mengeluarkan statement “Islam Yes, Partai Islam No.”[5]
Kedua, semakin membaiknya ekonomi nasional pada zaman pemerintah Orde Baru, usaha pembangunan ekonomi menjadi primadona dan pilihan utama. Dalam hal ini SDA Indonesia berupa minyak, hasil tambang, dan lainnya diberdayakan dengan maksimal. Melalui hasil penjualan minyak, Indonesia menghimpun dana yang amat besar bagi pembangunan nasional. Melalui dana tersebut pemerintah Orde Baru dapat membantu program pembaharuan pendidikan Islam.
Ketiga, semakin stabil dan amannya pemerintahan Orde Baru Indonesia dikenal sebagai negara aman dan stabil di kawasan Asia Tenggara. Selanjutnya keadaan ini mengundang pada investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dan berbagai kegiatan pembangunan dalam bidang pendidikan islam dapat berjalan dengan keadaan yang lebih baik dari keadaan yang sebelumnya.
[1] Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), hal. 69-71
[2] Abuddin Nata., hlm. 117
[3] Fuad Jabali dan Jamhari,. Opcit., hlm. 71
[4] Sudirman Teba, Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), cer. I. Hlm. 249-315
[5] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, (pisangan Ciputat Press: Quantum Teaching, 2005), cet, II, hlm.29