Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam)
Kesulitan Aceh Darussalam sebagai contoh adalah salah satu Negara yang sudah berdiri pada abad ke-16 dan baru takluk pada Belanda diakhir abad ke-19. Tetapi kita tidak mempunyai catatan tentang praktik hukum yang berlaku. Syekh Nuruddin Ar-Raniri pada abad ke-18 menulis sejarah dunia termasuk kesultanan Aceh, tetapi masalah hukum sangat sedikit disinggung. Dalam cerita lisan rakyat ada kisah proses keadilan, hukuman yang dijatuhkan yang kelihatan direkam relative baik karena pelaku pidana orang penting atau tokoh public. Menceritakan tentang kepaduan antara hukum syariat dan adat yang berlaku di tengah masyarakat di saat itu.[1]
Jambi
Ada beberapa keterangan mengenai Jambi di mana ibu kota Jambi terdapat Pengadilan Agama yang didasarkan kepada Pasal 25 dari Reglement Jambi, Staatsblad 1906 No. 320, yang pada pokoknya berisi Perkara-perkara yang mulainya berlakunya Reglement ini diputus oleh Pengadilan Agama di Ibu Kota Jambi tetap diputus oleh pengadilan tersebut, didasarkan kepada Pasal 3 RO dan Pasal 78 R.R.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum tahun 1903 Jambi dikuasai oleh Pemerintahan Sultan. Tidak diketahui dengan oasti apakah Peradilan Agama Ibu Kota Jambi itu adalah peninggalan dari zaman kesultanan ataupun tiruan dari keadaan di Ibu Kota Palembang. Pada tahun 1927 tanggal 1 Juli Reglement Jambi dicabut dan pada tanggal yang sama mulailah berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (RBG). Peradilan Agama tidak mendapat pengaturan sendiri, akan tetapi dapat diterima bahwa adanya Peradilan Agama merupakan kecuali di samping peradilan Landraad sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 RBG, yang pada pokoknya berisikan bahwa landraad mengadili perkara-perkara kecuali kalau perkara-perkara itu termasuk wewenang pengadilan lain.[2]
Palembang
Mengenai kota Palembang terdapat lebih banyak bahan. Peradilan Agama di kota ini sudah ada sebelum tahun 1821 dengan ketetapan Gubernur Jenderal 3 Juni 1823, bahwa di Ibu Kota Palembang akan didirikan Pengadilan Agama untuk perkara-perkara mengenai perkawinan, perceraian, dan harta peningkatan. Seterusnya dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa keputusan Pengadilan Agama dapat disbanding kepada Sultan. Reglement Palembang 1878, Staatsbland No. 14 dalam Pasal 27 berbunyi bahwa “Perkara-perkara yang pada waktu berlakunya Reglement ini diputuskan oleh Pengadilan Agama, tetap tinggal dalam wewenang pengadilan tersebut. Pada waktu mulai berlakunya RBG pada 1 Juli 1027 Pengadilan Agama Ibu Kota Palembang juga tidak memperoleh pengaturan tersendiri sama keadaannya dengan di Jambi.[3]
Bengkulu
Keadaan di Ibu Kota Bengkulu sama dengan di Ibu Kota Jambi dan Palembang, sesuai dengan bunyi Pasal 26 dari Reglement Bengkulu, Staatsbland 1880 No. 32.[4]
Sumatera Barat
Menurut catatan Mahadi, di Sumatera Barat selalu dijumpai Peradilan Agama yang tampaknya tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Dan itu pula sebabnya mengapa keputusannya tidak pernah sampai kepada Laanraad untuk memperoleh eksekutoirverklaring. Pengadilan Agama sedemikian itu selalu disebut dengan nama Sidang Jumat atau Rapat Ulama atau Rapat Agama.
Sumatera Timur
Daerah di Sumatera Timur yang dahulu disebut Bengkalis dan kemudia kota Medan tidak mengenal Pengadilan Agama.
Lampung
Mengenai daerah Lampung pada umumnya tidak mengenal Pengadilan Agama, dapat dideritakan bahwa atas inisiatif rakyat Kewedanaan Kalianda diadakan satu Dewan Penghulu pada tahun 1925 mengikuti kenyataan di kampung-kampung sebelumnya di mana soal-soal keagamaan dibawakan kepada Penghoeloe, Khatib dan Bilal, akan tetapi keputusan Dewan Kampung dan Dewan Penghulu tersebut tidak dapat pelaksanaannya dipaksakan, apabila tidak dipatuhi secara sukarela.
Bangka Belitung
Di Bangka dan Belitung pada umumnya tidak terdapat pengadilan Agama, meskipun ada percobaan untuk mengadakan Peradilan semacam itu. Pontianak sudah mengenal Peradilan Agama pada tahun 1863. Di Kabupaten Hulu Sungai terdapat Pengadilan Agama di Kandangan dan Amuntai.[5]
Sulawesi
Di Sulawesi integrasi ajaran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintahan kerajaan dan adat lebih lancer karena peranan raja. Di Sulawesi, kerajaan yang mula-mula menerima Islam dengan resmi adalah kerajaan Talo di Sulawesi Selatan. Kemudian menyusul kerajaan Gowa yang pada waktu itu sudah merupakan kerajaan terkuat di seluruh daratan Sulawesi, kerajaan sangat ditaati rakyatnya. Mengenai kapan masuknya Islam di Sulawesi Selatan ini terdapat berbagai versi antara lain versi Speelman yang menyebut tahun 1603, Valentijn menyebut tahun 1605, Blank menyebut tahun 1603, Rader Macher juga mengemukakan tahun 1603 sementara Crawfurd dan Raffles menyebut tahun 1605.
Kerajaan Gowa resmi menerima Islam sebagai agama pada tanggal 22 September 1605 hari Kamis, bertepatan dengan tanggal 09 Jumadil Awal 1014 H. pada waktu itu kerajaan Gowa dikuasai dan diperintah oleh Raja Talo I Malingkaang Daeg Manyotari. Menurut Drs. Abu Hamid bahwa tanggal tersebut adalah Jumat. Sebagai raja pertama yang masuk Islam, diberi gelar Sultan Abdul Awwalul Islam. raja Tallo yang juga menjabat Mangkubumi atau Perdana Menteri Kerajaan Gowa berhasil memengaruhi Raja Gowwa I Mangngarangngi Daeng Manrabi’a untuk masuk Islam yang kemudian diberi gelar Sultan Alauddin. Menurut sisilah beliaulah yang merupakan nenek moyang raja-raja Makasar dan Bugis. Hanya dalam waktu 2 tahun seluruh rakyat Gowa dan Tallo masuk Islam Jumat pertama tanggal 09 November 1607 bertepatan dengan 19 Rajab 1016 H.
Kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat, seperti Bone, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng yang mula-mula menolak ajakan Raja Gowa dan Tallo untuk masuk Islam, karena mereka mengira ajakan tersebut hanya siasat untuk menguasai mereka, kemudian pada tahun 1609 Sidenreng dan Soppeng, pada tahun 1610 Gajo dan 1611 Bone resmi menerima agama Islam. Dengan diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, maka terbuka luas jalur penyebaran agama baik melalui jalur kekuasaan (pemerintah) maupun jalur kemasyakatan. Melalui jalur kekuasaan di tempatkanlah Parewa Syara’ (pejabat syariat) yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek (pejabat adat) yang sebelum datangnya Islam telah ada. Parewa Syara’ dipimpin oleh kadi yaitu pejabat tinggi dibidang hukum syariat Islam yang berkedudukan dipusat kerajaan. Di tiap paleli diangkat pejabat bawahan yang disebut imam serta dibantu oleh seorang khatib dan seorang bilal. Hal ini terjadi pada saat pemerintahan Raja Gowa XV (1637-1653) ketika Sultan Malikus Said berkuasa. Sebelumnya Raja Gowa sendirilah yang menjadi hakim agama Islam dari kerajaan sekaligus menjadi pelindung agama Islam dalam kerajaan.
Para pejabat syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah dan zakat harta dari sedekah Idul Fitri dan Idul Adha, kenduri kerajaan penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan pernikahan. Melalui jalur kemasyarakatan, pemerintah menentukan berbagai kebijaksanaan. Misalnya, bahwa dalam setiap pembentukkan kampung harus ada langgar. Pada setiap kampung harus ada seorang ahli agama yang ditunjuk menjadi imam dan pembantunya merupakan aparat kali dipusat kerajaan.
Dengan dipadukannya syara’ dan adat dalam struktur kerajaan, maka raja-raja di Sulawesi Selatan didampingi oleh urusan pemerintahan. Bahkan dalam struktur kerajaan Bone, raja adalah penghulu tertinggi dalam kerajaan. Melalui cara ini wajarlah syariat Islam berkembang dengan pesat dan berlaku serta ditaati oleh penduduk. Meskipun Parewa Syara’ merupakan aparat pelaksanaan raja yang mempunyai tugas mengembangkan dan pelayan agama Islam dalam masyarakat seperti pelaksanaan ibarat upacara keagamaan, pembinaan dan peralatan bangunan-bangunan keagamaan melayani upacar pernikahan, kematian, menyelesaikan perkara-perkara warisan, namun dalam pelaksanaan tugas tersebut ia berusaha untuk tidak mengguncangkan struktur masyarakat dan hukum adat yang telah lama dianut dalam masyarakat.
Masa Daendels
Pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) Pengadilan Agama belum merupakan lembaga yang berdiri sendiri, meskipun demikian untuk daerah Banten, Daendels membiarkan adanya Pengadilan penghulu yang dapat praktik memutuskan perkara-perkara kekeluargaan menurut hukum Islam. di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, walaupun tidak ada Pengadilan Agama disetiap landgerecht diikutsertakan seorang penghulu yang akan ikut memberikan pertimbangan bila ketua (Bupati) Landoros beserta anggota akan memutuskan perkara. Untuk setiap viredesqerecht di Jawa Tengah dan Jawa Timur diangkat seorang penghulu sebagai anggota dan veredesqerecht ini akan memutuskan perkara-perkara kecil misalnya perselisihan-perselisihan dalam perkawinan, penganiayaan, utang piutang dan lain sebagainya.
Seperti halnya VOC, Daendels menganggap bahwa hukum asli di Jawa terdiri dari hukum Islam, ternyata dengan digunakannya seorang penghulu yang dianggap sebagai ahli dan juru penasihat dalam hal digunakan hukum adat di pengadilan. Sikap Daendels terhadap hukum adat tidak cukup baik untuk orang Eropa. Hal ini dapat dibuktikan dari peraturan pada waktu itu yang menyatakan bahwa jika seorang Eropa melakukan kejahatan bersama-sama dengan orang Jawa asli, maka yang berpihak untuk mengadili mereka adalah Raad Van Justutue dan Hukum Materiil yang diterapkan adalah hukum Eropa. Bukti lain lagi mengenai anggapan Daendels demikian adalah keputusan Daendels tanggal 14 April 1809 yang dinyatakan bahwa tiada kebijaksanaan anak negeri, acara perkara serta pemberian hukuman patut dibiarkan berlaku, jika ia bertentangan dengan dasar ulama dari keadilan dan kepatutan.
Masa Raffles
Pada masa Gubernur Jenderal Inggris Raffles berkuasa (1811-1816) Peradilan Agama belum juga merupakan lembaga yang berdiri sendiri, akan tetapi sebelum badan pengadilan yang diketuai oleh bupati memberikan keputusan, terlebih dahulu harsu meminta pertimbangan dari penghulu dan jaksa. Mengenai hubungan bupati dan penghulu serta jaksa ini Raffles menulis……demikianlah memang sifat pemerintahan pribumi, bahwa para pejabat tersebut (Penghulu dan Jaksa) diperlakukan hanya sebagai penasihat bagi pejabat atasannya pemerintah, daripada pejabat kehakiman yang bebas. Mengenai susunan peradilan, Raffles membedakan susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia di dalam Stand en ommelanden (daerah-daerah kota dan sekitarnya) dan susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia di desa-desa. Mengenai hukum adat Raffles mengira bahwa hukum adat adalah sama dengan hukum Islam. pendapat ini dapat disimpulkan dari kata-kata “the koran….form the general law of java.
Masa Kolonial Belanda
Sikap politik pemerintahan Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama yang semula tidak akan melakukan gangguan serta tetap membiarkan orang jawa memutuskan perkara tertentu seperti dalam instruksi bulan September 1808, ternyata lebih jauh menjadi mengatur dan memperluas pengaturan tersebut di luar Jawa. Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Staatsbland No. 22 Tahun 1820. Dalam pasal 13 Staatsbland ini disebutkan bahwa bupati wajib memerhatikan soal-soal agama dan untuk menjaga para pendeta dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam perkawinan, pembagian pusaka, dan sejenis itu.
Di sisi lain dari kata “dibiarkan” dan istilah “Bupati” dalam dua Staatsbland di atas dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama telah ada diseluruh pulan Jawa. Untuk mengatur Peradilan Agama di luar pulau Jawa, melalui Staatsbland No. 12 Tahun 1823 didirikan Pangadilan Agama di kota Palembang yang diketuai oleh Pangeran Penghulu sedangkan banding dapat dimintakan kepada sultan.
Tanggal 23 Maret 1925 dikeluarkan peraturan untuk Ibu Kota Palembang mengenai wewenang Pengadilan Agama sebagai berikut:[6]
- Perkawinan.
- Perceraian.
- Pembagian Harta.
- Pada siapa anak diserahkan kalau orang tua bercerai.
- Wasiat
[1] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 34
[2] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, Cet. II, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h 72
[3] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 40
[4] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, op.cit., h. 73
[5] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia,op.cit,.h. 43
[6] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, op.cit., h. 80