Menu Tutup

Pengalaman Sufi Nabi Muhammad Saw.

Dalam sejarah Islam, Muhammad saw. dikenal sebagai pioner yang memiliki peran terpenting dalam proses tumbuh dan berkembangnya khazanah sufisme Islam dari satu generasi ke generasi yang lain. Kaum zuhâd atau kaum sufi sejak masa permulaan Islam dalam menjalani aktivitas sufistik mereka selalu merujuk pada Muhammad saw sebagai mursyid tertinggi dalam Islam.

Bahkan, kaum sufi sendiri menganggap Nabi Muham- mad saw. sebagai sosok manusia sempurna (al-insân al-kâmil) sekaligus mursyid ter- tinggi yang harus dijadikan teladan (uswah hasanah) dalam perjalanan sufistik mereka menuju kepada Yang Haq (Allah). Itulah sebabnya, dalam tulisan ini penulis tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman sufistik Muhammad saw. dengan beragam ma- camnya itu dengan pendekatan normative-historis.

Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang terhimpun dalam dirinya.

Pertama, kehormatan nasabnya dari suku Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma’il ibn Ibrahim, tanda kenabian yang terdapat di antara kedua pundaknya, penam- pakan wajah, dan bentuknya yang memancarkan sinar kejujuran dan kenabiannya.

Kedua, sifat dan akhlaknya yang terpuji; seperti sifat kasih sayang, sabar, rendah hati, dan jujur. Ketiga, tanda-tanda kenabian dan pengalaman sufistik tertinggi yang telah dialirkan oleh Allah SWT kepadanya, seperti benda-benda padat bisa berbicara kepadanya, dapat menambah makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang pal- ing agung dan abadi adalah memperoleh wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog dengan Allah SWT.

Keempat, doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang atau umatnya.

a. Pengalaman Khalwat di Gua Hira

Mendekati usia 40 tahun, mulailah tumbuh pada diri Muhammad saw kecen- derungan untuk melakukan uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad saw menjelang dinobatkan sebagai rasul ini memiliki makna dan mengandung pelajaran yang sangat besar dalam kehidupan yakni mera- sakan pengawasan Tuhan dan merenungkan fenomena-fenomena atau gejala alam semesta yang menjadi bukti keagungan-Nya.

Dari aktivitas uzlah ini, dapat diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa manu- sia memiliki sejumlah penyakit yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub, hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang dapat menguasai jiwa, merusak hati nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang ter- lihat melakukan amal-amal saleh. Di samping itu, dengan khalwat seseorang dapat sampai pada mahabbah (mencintai) kepada Allah SWT.

Tafakkur, perenungan, ban- yak mengingat keagungan Allah, nampaknya dapat diwujudkan melalui cara khal- wat. Khalwat ini sekaligus menjadi sarana untuk menciptakan dorongan-dorongan spiritual di dalam hati; seperti rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang bisa menjadi motivasi kuat dalam keimanan maupun keIslaman seseorang. Tetapi khalwat di sini bukan dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan sesama ma- nusia dengan hidup secara terasing. Karena khalwat yang dilakukan Muhammad saw bersifat temporer, menurut kadar tertentu, dan sebagai pencarian obat untuk memperbaiki keadaan.

b. Kebenaran Mimpi Nabi saw (ar ru’yâ as sâdiqah)

Mimpi yang benar juga dipandang oleh Nabi Muhammad saw sebagai suatu peristiwa yang dapat terjadi pada manusia muslim pada umumnya. Bahkan, nabi Muhammad saw sendiri memandang mimpi yang benar merupakan bagian dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah SWT. kepada orang muslim yang menerimanya dan juga pengganti dari sifat kenabian yang telah di- cabut setelah Nabi Muhammad saw.

Pengalaman sufistik ini sama halnya dengan pengalaman mimpi yang dialami Nabi Ibrahim ketika ia mendapat perintah dari Allah SWT. untuk mengorbankan putranya, Ismail. Pengalaman sufistik ini merupakan fenomena umum yang ter- jadi di kalangan para nabi terdahulu agar hatinya tenang sebagai persiapan mental untuk mengalami pewahyuan dalam kondisi sadar.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi ke- pada pamannya. Nabi berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya tu- turkan kemarin kepadamu memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga aku merasakan hawa dinginnya”. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah bercerita, “Suatu saat saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air susu, lalu saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn Khaththab”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah yang kamu tafsirkan wahai Rasul?” Nabi menjawab, “ilmu”.

c. Masalah wahyu yang turun kepada Nabi Saw.

Nabi Muhammad saw, dalam konteks ini, telah mengalami pengalaman pewa- hyuan dari Allah SWT. melalui dua bentuk; langsung dari Allah Swt dan melalui perantara malaikat Jibril. Pada cara yang pertama, Nabi saw memperoleh pengala- man pewahyuan itu dari Tuhan secara langsung, tidak melalui malaikat Jibril, di antaranya mimpi yang benar di waktu tidur. Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah SWT. yang diterima dari balik hijab tanpa melalui peran- tara dan dalam keadaan terjaga. Wahyu model ini, menurut ulama Islam, terjadi pada Nabi Muhammad saw di malam isrâ’-mi’râj.

Contoh wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui malaikat Jibril tatkala Nabi sedang bertahanuth di gua Hira dan memperoleh wahyu Al-Qur’an yang pertama kali. Dalam pengalaman sufistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil menutupi ke- luasan cakrawala. Pengalaman sufistik ini dapat dilihat dan didengar. Malaikat itu memerintahkan Muhammad saw untuk melafalkan iqra’ yang dalam bahasa Arab adalah bentuk kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya “membaca” (un- tuk meneliti). Oleh karena itu, bab pertama (surah) dari Al-Qur’an adalah Al-Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia.

Selama dua puluh tiga tahun sampai meninggal, kapan saja wahyu datang Nabi selalu merasakan tekanan yang berat. Beliau akan berkeringat hebat dan andaikan beliau sedang naik unta atau naik kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan firman yang turun dari atas. Nabi Muhammad saw pernah berkata, “Aku tidak pernah menerima wahyu dalam kesadaran yang lengkap dengan rohku karena ia sedang dihilangkan dariku”.

d. Pengalaman Isra’ Mi’raj

Pengalaman spiritual penting itu adalah perjalanan Nabi pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw secara mukjizat dibawa dari Mekah ke Jerussalem dan dari sana melakukan mi’râj atau naik ke se- luruh tingkat sampai mencapai jagat yang paling ujung (sidrat-ul muntaha) bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah SWT, yang digambarkan sebagai lingkungan “berjarak dua busur panah”.

Dalam perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh malaikat Jibril. Al-Qur’an mengungkapkan per- jalanan malam ini dengan mengatakan “Maha suci Allah SWT, yang membawa per- jalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha Melihat.”

Pengalaman sufistik Nabi Muhammad saw yang demikian penting dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan contoh kualitas spiritual tertinggi dan teladan bagi kedalaman kehidupan beragama. “Malam kenaikan” disejawatkan dengan “malam kekuasaan”, karena Al-Qur’an juga diwahyukan pada bagian penghujung akhir bulan suci Ramadhan. Pengalaman isrâ’ mi’râj itu, secara sufistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan terpilihnya Muhammad saw oleh Allah untuk mushâhadah dengan-Nya. Bagi para sufi, pengalaman itu merupakan pengalaman mistik paling agung dari Nabi Muhammad saw.

Baca Juga: