Menu Tutup

Pengecualian Rahasia Bank

Pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam UU No. 7 tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) tersebut dapatlah diuraikan secara sistematis pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank sebagai berikut:

Untuk Kepentingan Perpajakan

Mengenai pembukaan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) yang menentukan bahwa:

Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN

Ketentuan Pasal 41A ayat (1) adalah landasan hukum untuk pembukaan rahasia bank untuk kepentingan piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang (PUPN). Secara lengkap ketentuan Pasal 41A ayat (1) menentukan bahwa:

Untuk penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan nasabah debitur.

Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana

Pembukaan atau penerobosan terhadap ketentuan rahasia bank dapat juga dilakukan dengan alasan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) menentukan  bahwa:

Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.

Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah

Menurut ketentuan Pasal 43 UU No. 10 Tahun 1998 bahwa:

Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.

Ketentuan ini merupakan landasan hukum dan alasan dapat dibukanya atau diterobosnya ketentuan rahasia bank untuk kepentingan penyelesaian perkara perdata antara bank dan nasabahnya di pengadilan. Untuk itu direksi dari bank yang bersangkutan dapat memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan dari nasabah tersebut.

Dalam Tukar-menukar Informasi Antar Bank

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, bahwa dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank juga merupakan alasan untuk pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank.

Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa:

Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.

Ketentuan di atas tentu dapat dilakukan jika ada suatu kepentingan dari bank yang bersangkutan yang berkaitan dengan nasabah tersebut, dan tidak menimbulkan kerugian bagi nasabah. Oleh sebab itu, pelaksanaan dari ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Bank Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 44 ayat (22) UU No. 10 Tahun 1998.

Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya

Alasan-alasan pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank yang telah dikemukakan di atas, pada dasarnya mengandung suatu kepentingan dari negara, kepentingan penyelesaian perkara, dan kepentingan dari bank.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga mengatur mengenai pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank atas dasar kepentingan dari nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A.

Pasal 44A ayat (1) menentukan bahwa:

Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44A ayat (2) diatur bahwa:

Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.

Dari ketentuan Pasal 44A ayat (1) dan (2) di atas, menunjukkan bahwa bank berkewajiban untuk memberikan keterangan mengenai simpanan dari nasabah penyimpan kepada pihak yang diberi kuasa atau ditunjuk oleh nasabah penyimpan dan/atau memberi keterangan simpanan dari nasabah penyimpan kepada ahli warisnya apabila ia meninggal dunia.

Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan diatas, KPK juga diberikan kewenangan dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Desember 2004. Surat Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan sebagai jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam membuka rahasia bank.

Dalam Surat Keputusan memuat penegasan hukum, bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dengan demikian ketentuan prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

DAFTAR PUSTAKA

  • Djumhana, Muhammad. (2012). Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
  • Hermansyah. (2011). Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
  • Sutedi, Adrian. (2008). Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.

Baca Juga: