Pengertian Al-Malik
Nama al-Malik merupakan nama ke-18 dari 99 al-Asmā` al-Ḥusnā. Kata al- Malik secara umum diartikan raja atau penguasa. Kata al-Malik terdiri dari huruf mim, lam, dan kaf yang rangkaiannya mengandung arti kekuatan dan kesahihan. Imam al-Ghazali menjelaskan arti al-Malik ialah Dia yang tidak butuh pada sesuatu dan Dia adalah yang dibutuhkan. Dia adalah Penguasa dan Pemilik secara mutlak segala hal yang ada. Hasilnya, al-Malik memiliki kuasa atas pengendalian dan pemeliharaan kekuasaan-Nya.
Dalam al-Qur an, kata al-Malik terulang sebanyak lima kali. Dan dua
diantaranya dirangkaikan dengan kata ḥaq dalam arti pasti dan sempurna yakni pada Surah Thāhā [20]: 114 dan Surah al-Mu`minūn [23]: 116. Allah berfirman:
“Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS. Thāhā [20]: 114)
“Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (QS. al-Mu`minūn [23]: 116)
Teladan dari nama baik Al-Malik
a. Meyakini bahwa Allah Maha Menguasai segala kekuasaan
Sebagai umat yang beriman, kita harus meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa secara mutlak atas kuasa-Nya. Tidak ada kekuasaan yang mutlak dari makhluknya meskipun itu raja atau pun presiden. Keduanya hanya diberikan tugas untuk mengatur dan mengelola kekuasaan Allah secara temporer.
Allah Swt. berfirman:
“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) al-Qur`an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku’”. (QS. Thāhā [20]: 114)
Kekuasaan Allah tidak terbatas adanya. Salah satu dari kekuasaan-Nya ialah bumi dan langit dengan segala hal yang menyertainya serta segala sesuatu yang kasat mata ataupun gaib.
Allah Swt. berfirman:
“Dan Mahasuci (Allah) yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya, dan disisi-Nyalah ilmu tentang hari kiamat dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Az-Zukhrūf [43]: 85)
“Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segaa sesuatu dan kepada-Nya kamu akan dikembalikan”. (QS. Yāsin [36]: 83)
b. Meminta izin kepada pemilik barang dan bertanggung jawab
Keyakinan bahwa hanya Allah merupakan Pemilik dan Penguasa segala sesuatu membuat kita sebagai hambanya harus memikirkan tindakan yang akan dilakukan. Kita hidup di bumi milik-Nya. Itulah alasan kita untuk tak patut sewenang-wenang terhadap bumi-Nya. Kita harus meminta izin kepada-Nya dalam segala tindakan kita.
Allah Swt. berfirman:
“Pada hari itu, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Mahapengasih dan dia hanya mengatakan yang benar”. (QS. An-Naba` [78]: 38)
Selain meminta izin kepada Allah, manusia diminta bertanggung jawab atas segala hal yang mereka lakukan lebih-lebih kepada orang yang dianugerahi kerajaan-Nya (dunia).
Raja (penerima amanat) di dunia pun dituntut untuk mengatur dan mengendalikan kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa raja yang hakiki yaitu, 1) Kerajaannya berupa kalbu dan wadah kalbunya, 2) Bala tentaranya ialah syahwat, amarah, dan nafsunya, 3) Rakyatnya adalah lidah, mata, tangan, dan seluruh anggota badannya.
Allah Swt. berfirman:
“Katakalah (Muhammad), ‘Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 26)
Orang-orang arif berpesan, “Jika kerajaan atau kekuasaan anda mendorong untuk melakukan penganiayaan, maka ketika itu ingatlah kekuasaan Allah terhadap diri anda”.