Menu Tutup

Pengertian, Dasar Hukum, Alasan, Akibat Hukum Perceraian dalam Islam

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya

1. Pengertian Perceraian

Di Indonesia peraturan yang mengatur tentang perceraian adalah Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974, akan tetapi di dalamnya tidak ditemukan interpretasi mengenai istilah perceraian.

Menurut R. Subekti perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak selama perkawinan.[1] Sedangkan pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berasal dari suku kata cerai, dan perceraian menurut bahasa berarti perpisahan, perihal bercerai antara suami dan istri, perpecahan, menceraikan.[2]

Perceraian menurut ahli fikih disebut talaq atau firqoh. Talak diambil dari kata اطلاق (itlaq), artinya melepaskan, atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah syara’, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan perkawinan.[3]

Beberapa rumusan yang diberikan ahli fikih tentang definisi talak di antaranya adalah:

Sayyid Sabiq, memberikan pengertian sebagai berikut :[4]

Talak diambil dari kata itlaq artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan dalam istilah syara’, talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan.

Zainuddin Ibn ‘Abdul Azi>z, memberikan pengertian sebagai berikut :[5]

Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, sedangkan menurut istilah syara’ talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan kata-kata.

Muhammad bin Ismail as-San’aniy, memberikan pengertian sebagai berikut:[6]

Talak menurut bahasa adalah melepaskan kepercayaan yang diambil dari kata itlaq yang berarti meninggalkan. Sedangkan menurut syara’ talak adalah melepaskan tali perkawinan.

Pengertian talak menurut istilah juga banyak didefinisikan oleh ahli hukum, mereka dalam memberikan definisi bervariasi akan tetapi maksudnya sama yaitu talak dapat diartikan sebagai lepasnya ikatan perkawinan dan berakhirnya hubungan perkawinan.[7]

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami istri yang dilakukan atas kehendaknya suami dan istri tersebut atau karena adanya putusan pengadilan.

2. Hukum Perceraian

Memang tidak terdapat dalam al-Qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi perceraian itu, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukannya. Meskipun banyak ayat al- Qur’an yang mengatur talak tetapi isinya hanya sekedar mengatur bila talak itu terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau larangan.[8] Kalau mau mentalak seharusnya sewaktu istri itu berbeda dalam keadaan yang siap untuk memasuki masa iddah, seperti dalam firman Allah dalam surat At-talaq ayat 1:

Artinya : Hai Nabi bila kamu mentalaq istrimu, maka talaqlah dia sewaktu masuk ke dalam iddahnya.[9]

Demikian pula dalam bentuk melarang, seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 232 :

Artinya : Apabila kamu mentalak istrimu dan sampai masa iddahnya, maka janganlah kamu enggan bila dia nikah suami yang lain.[10]

Meskipun tidak ada ayat al-Qur’an yang menyuruh atau melarang melakukan talak yang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi Nabi. Hal ini mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. Adapun ketidak senangan Nabi kepada perceraian itu terlihat dalam hadisnya dari Ibnu Umar. Menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim. Sabda Nabi :

Artinya : Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.[11]

Walaupun hukum asal dari talak itu adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum talak itu adalah sebagai berikut :[12]

  1. Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemudaratan yang lebih banyak akan timbul;
  2. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya;
  3. Wajib atau mesti dilakukan yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap seseorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarat sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudharatkan istrinya.
  4. Haram talak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.

B. Bentuk-bentuk Perceraian

Ditinjau dari segi tatacara beracara di Pengadilan Agama maka bentuk perceraian dibedakan menjadi 2 bagian yaitu :

1. Cerai talak.

Cerai talak ialah putusnya perkawinan atas kehendak suami karena alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu.[13] Tidak dapat dikatakan dengan lisan dan juga dengan tulisan, sebab kekuatan penyampaian baik melalui ucapan maupun tulisan adalah sama. Perbedaannya adalah jika talak disampaikan dengan ucapan, maka talak itu diketahui setelah ucapan talak disampaikan suami. Sedangkan penyampaian talak dengan lisan diketahui setelah tulisan tersebut terbaca, pendapat ini disepekati oleh mayoritas ulama.

2. Cerai Gugat.

Cerai gugat ialah suatu gugatan yang diajukan oleh istri terhadap suami kepada pengadilan dengan alasan-alasan serta meminta pengadilan untuk membuka persidangan itu, dan perceraian atas dasar cerai gugat ini terjadi karena adanya suatu putusan pengadilan. Adapun prosedur cerai gugat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 20 sampai pasal 36 jo. Pasal 73 sampai pasal 83 Undang-undang No. 7 tahun 1989.

Dalam hukum Islam cerai gugat disebut dengan khulu>’. Khulu’ berasal dari kata khal’u al-s\aub, artinya melepas pakaian, karena wanita adalah pakaian laki-laki dan sebaliknya laki-laki adalah pelindung wanita. Para ahli fikih memberikan pengertian khulu’ yaitu perceraian dari pihak perempuan dengan tebusan yang diberikan oleh istri kepada suami.[14]

Adapun yang termasuk dalam cerai gugat dalam lingkungan Pengadilan Agama itu ada beberapa macam, yaitu :

  • Fasakh;
  • Syiqaq;
  • Khulu’;
  • Ta’liq Thalaq.[15]

C. Alasan Perceraian

Alasan-alasan untuk bercerai secara tegas telah diatur di dalam pasal 19 Undang-undang No 1 Tahun 1974, yang menyebutkan : ayat 1, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ayat 2; untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.

Alasan tersebut juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, pasal 19, menyebutkan, bahwa perceraian dapat terjadi karena alas an sebagai berikut :

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua (2) tahun berturut turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman lima (5) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
  6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;[16]

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116, menambahkan 2 alasan lagi selain yang disebutkan di atas :

  1. Suami melanggar ta’liq talaq;
  2. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak harmonisan dalam rumah tangga.[17]

D. Akibat Hukum Perceraian

Dalam Peraturan Pemerintah No 9/1975 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No 1/1974) tidak disebutkan atau tidak diatur tentang akibat perceraian ini. Hanya dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 pasal 41 disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

  1. Baik ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri-istri.[18]

Bila hubungan perkawinan putus antara suami istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah :

  1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apabila bergaul sebagai suami istri. Bila terjadi hubungan menurut jumhur ulama termasuk zina. Hanya keduanya tidak diberlakukan sanksi atau had zina karena adanya syubha>t ikhtila>f ulama, atau syubha>t karena perbedaan faham ulama padanya. Ulama Hanafiah dan ulama Syi’ah imamiyah membolehkan hubungan kelamin antara mantan suami dengan mantan istri yang sedang menjalani ‘iddah t}ala>q raj’iy dan hal itu sudah diperhitungkan sebagai ruju’.[19] Ulama zhahiriyah juga berpendapat bolehnya suami bergaul dengan mantan istrinya dalam ‘iddah raj’iy, namun yang demikian tidak dengan sendirinya berlaku sebagai ruju’.[20]
  2. Keharusan memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu konpensasi. Hal ini berbeda dengan mut’ah sebagai pengganti mahar bila istri di cerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang bernama mut’ah. Dalam kewajiban memberi mut’ah itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, golongan zhahiriyah berpendapat bahwa mut’ah itu hukunya wajib. Dasarnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 241, ialah sebagai berikut :

Artinya :“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.”[21]

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mut’ah itu hukumnya sunnah, karena kalimat haqqan ‘ala> al-muttaqi>n di ujung ayat tersebut menunjukkan hukumnya adalah tidak wajib, kewajiban mut’ah itu berlaku dalam keadaan tertentu.

  1. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafkah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila ada waktunya dia tidak dapat membayarnya. Begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya, harus dilunasinya setelah bercerai.
  2. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah, sebagaimana dijelaskan di bawah.
  3. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.[22]

E. Pendapat Ulama tentang perceraian karena disebabkam adanya penentuan tempat tinggal bersama oleh orang tua

Penentuan tempat tinggal oleh orang tua terjadi karena pemahaman orang tua terhadap sendi-sendi perkawinan dalam Islam masih sangat dangkal seperti pemahamannya tentang hak-hak suami istri dan juga faktor pendidikan orang tua juga mempengaruhi sehingga mereka tidak mempunyai kesadaran bahwa campur tangan mereka terhadap penentuan tempat tinggal menimbulkan ketegangan dan konflik yang mengarah kepada perselisihan.

Tentang turut campurnya orang tua dalam masalah penentuan tempat tinggal penulis berpendapat seharusnya orang tua tidak boleh ikut campur karena dalam UU No. 1 tahum 1974 sendiri sudah jelas bahwasanya masalah tempat tinggal itu ditentukan oleh suami istri.

Selain itu Syafi’i dan Abu Hanifah dan para pengikut mereka berdua mengatakan, keduanya tidak berhak (menceraikan) menentukan tempat tinggal meskipun keputusan ini muncul dikarenakan wujud dan bentuk dari tanggung jawab terhadap anaknya, kecuali jika suami memang menyerahkan peceraian kepada orang tua istri dan orang tua suami. Hujjah Syafi’i dan Abu Hanifah yaitu, bahwa dasarnya talak tidak berada di tangan seorangpun selain suami atau orang yang diwakilkan oleh suami.[23]

[1] R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, hal 42

[2] WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 200

[3] Slamet Abidin, Aminuddin, Fikih Munakahat, hal 9

[4] Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, hal 9

[5] Zainuddi>n bin ‘Abdul ‘Azi>z, Fathul Mu’i>n, hal 112

[6] As}-S}an’a>ny, Subul al-Sala>m, hal 168

[7] H.S.A Hamdani, Risa>lat al-Nika>h, hal 203

[8] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal 200

[9] Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 945

[10] Ibid., hal 56

[11] Abu> Da>wu>d, Sunan Abi> Da>wu>d, juz 2, Beirut: Daar al-Kutub, 1996, Hal 1863

[12] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal 201

13 Ibid., hal 197

14 Hamdani, H.S.A., Risalah Nikah, Alih Bahasa Agus Salim, hal 261

[15] Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, Alih Bahasa M. Tholib, hal 38

[16] Soedarsono Soimin, Hukum Orang dan Keluarga ; Perspektif Perdata Barat/BW Hukum Islam dan Hukum Adat, hal, 71

[17] Kompilasi Hukum Islam Pasal 116

[18] Soedarsono Soimin, Hukum Orang dan Keluarga : Perspektif Perdata BW dan Hukum Islam dan Hukum Adat, hal 73

[19] Al-T}u>siy, Hasan bin ‘Ali, Al-Mabsu>t} fi> Fiqh al-Ima>miyyah, hal 102

[20] Ibnu Hazm, Al-Muhalla>, hal 15-16

[21] Departemen Agama R.I Al-Qur’an dan Terjemah, hal 59

[22] Amir Syarifuudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, hal 303

[23] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 194-195

Baca Juga: