Menu Tutup

Pengertian Hiwalah, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat, Jenis Hiwalah, Masa Berakhirnya, dan Hikmah Hiwalah

Pengertian Hiwalah

Hiwalah secara bahasa artinya pindah. Menurut syara’ adalah memindahkan hak dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) kepada muhal alaih (yang menerima hiwalah). Hiwalah juga bisa diartikan pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak ke pihak yang lain.

Dasar Hukum Hiwalah

Al-Qur’an

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan). Apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarkanmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. ” (QS. Al-Baqarah: [2]: 282)

 Surah Al-Baqarah (2): 282 tersebut, menerangkan bahwa dalam hutang piutang atau transaksi yang tidak kontan hendaklah dituliskan sehingga ketika ada perselisihan maka dapat dibuktikan. Dalam kegiatan ini pula diwajibkan ada dua orang saksi yang adil dan tidak merugikan pihak manapun. Saksi ini adalah orang yang menyaksikan proses hutang piutang secara langsung sejak awal akad.

Hadis

Artinya: “Dari   Abu   Hurairah   Ra.   bahwa   Rasulullah   Saw.   bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut).” (HR. Bukhari Muslim).

Pada hadis ini Rasulullah memberitahukan kepada orang yang berpiutang (memberi hutang), jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang kaya atau mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan menagih kepada orang yang dihiwalahkan. Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi

Rukun Hiwalah

Rukun hiwalah adalah rukun-rukun yang wajib dipenuhi sebelum akad hiwalah terjadi. Apabila tidak terpenuhi salah satunya, maka akad hiwalah tidak dapat dilakukan. Rukun-rukun tersebut antara lain:

  1. Muhil
    Pertama, rukun hiwalah adalah muhil, yaitu orang yang mempunyai hutang. Dalam hal ini, muhil harus berakal sehat, baligh, dan mempunyai kemampuan melaksanakan akad hiwalah. Selain itu, pemilik hutang atau muhil menjalankannya atas keinginan pribadi tanpa paksaan dari pihak lain.
  2. Muhal
    Muhal yaitu orang memberikan hutang atau pihak piutang. Sama seperti syarat muhil, pihak muhal harus mencapai usia baligh, berakal sehat dan melaksanakan akad ini secara sukarela tanpa paksaan. Ijab qabul hiwalah yang dikatakan oleh muhal harus berada dalam majelis akad disaksikan pihak terkait, dan dilakukan secara sadar tanpa paksaan.
  3. Muhal’alaih
    Rukun hiwalah ketiga yakni muhal’alaih sebagai orang pemilik hutang dan bertanggung jawab melunasi hutang pihak muhil. Pihak ini harus mempunyai akal sehat, baligh, kemampuan finansial, dan memahami pelaksanaan akad, serta pengucapan ijab qabul dalam majelis akad dengan kehadiran peserta terkait.
  4. Hutang yang Diakadkan
    Dalam konsep hiwalah, hutang merupakan bentuk pinjaman yang dilakukan oleh muhil dari muhal, dan dinyatakan akan dilunasi oleh muhal’alaih. Hutang tersebut boleh berupa uang, aset, dan benda-benda berharga lainnya

Meski demikian, sesuai dengan hukum syariah, hutang tersebut tidak boleh berbentuk benda setengah jadi atau belum ada nilainya (misal bibit tanaman yang belum berbuah, janji bantuan hibah belum di tangan, dan sebagainya).

Syarat Hiwalah

Selain rukun hiwalah, terdapat syarat hiwalah yang harus dipersiapkan dalam menjalaninya. Adapun syarat hiwalah adalah di bawah ini:

  • Pihak berhutang atau muhil rela melaksanakan akad ini.
  • Produk hutang harus dibayarkan sesuai haknya yang sama baik jenis dan jumlah utang, waktu pelunasan, dan kualitasnya. Misalnya bentuk hutang berupa emas, maka pelunasannya harus berbentuk emas dengan nilai setara.
  • Pihak muhal’alaih harus bertanggung jawab dalam menanggung hutang setelah adanya kesepakatan bersama muhil.
  • Pihak muhal atau pemberi hutang harus menyetujui akad hiwalah.
  • Hutang tetap berada dalam jaminan pelunasan.

Mazhab Syafi’i juga menambahkan bahwa kedua hutang itu harus sama pada waktu jatuh temponya, jika tidak sama maka tidak sah akad hiwalah.

Konsekuensi Hiwalah

    1. Kewajiban muhil kepada muhal untuk membayar hutang dengan sendirinya menjadi terlepas (bebas).
    2. Adanya hak muhal untuk menuntut pembayaran hutang kepada muhal alaih.

Jenis Hiwalah

Ditinjau dari segi objek akad, hiwalah dibagi menjadi dua jenis yaitu:

  • Hiwalah al-Haq yaitu apabila yang dipindahkan itu hak menuntut hutang (pemindahan hak).
  • Hiwalah ad-Dain, yaitu apabila yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang (pemindahan hutang/kewajiban).

Ditinjau dari segi akad, hiwalah dibagi menjadi dua jenis:

  • Hiwalah al-Muqayyadah (pemindahan bersyarat) yaitu pengalihan sebagai ganti pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua). Contohnya A berpiutang kepada B 5.000,00 sedangkan B berpiutang kepada C Rp. 5.000,00. B mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A sebagai ganti pembayaran hutang B kepada A. Dengan demikian hiwalah almuqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pemindahan hak). Sedangkan di sisi lain, hal ini merupakan hiwalah ad-dain karena B mengalihkan kepada A menjadikan kewajiban C kepada A (pemindahan hutang). Perhatikan skema berikut!
  • Hiwalah al-Muthlaqah (pemindahan mutlak) yaitu pengalihan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi terhadap pembayaran hutang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua). Contohnya A berhutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian A mengalihkan hutangnya kepada C sehingga si C mempunyai kewajiban membayar hutang A kepada B tanpa menyebutkan bahwa pemindahan itu sebagai ganti rugi dari pembayaran C kepada A. Dengan demikian maka hiwalah al-muthlaqah hanya mengadung hiwalah ad- dain saja karena yang dipindahkan hanya hutang A kepada B menjadi hutang C kepada

Masa Berakhirnya Hiwalah

Akad hiwalah menjadi berakhir jika terjadi hal-hal sebagai berikut : 

1. Salah satu pihak yang sedang melakukan akad tersebut membatalkan (fasakh) akad hiwalah sebelum akad itu berlaku secara tetap. Dengan adanya pembatalan akad tersebut, pihak kedua kembali berhak menuntut pembayaran hutang kepada pihak pertama. Demikian pula hak pihak pertama kepada pihak ketiga.

2. Pihak ketiga melunasi hutang yang dialihkan tersebut kepada pihak kedua.

3. Jika pihak kedua meninggal dunia, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua.

4. Pihak kedua menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hiwalah tersebut kepada pihak ketiga.

5. Pihak kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajiban untuk membayar hutang yang dialihkan tersebut.

Hikmah Hiwalah

  • Jaminan atas harta orang yang memberi hutang kepada orang lain di mana orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, bukan berarti harta orang yang berpiutang hilang begitu saja, namun bisa kembali lagi melalui perantara orang ketiga (muhal alaih) yang akan menangggung dan membayarkan hutang
  • Membantu kebutuhan orang lain, dimana muhil (orang yang berhutang) akan terbantu oleh pihak ketiga (muhal alaih). Kemudian muhal (orang yang berpiutang) terbantu oleh pihak ketiga yang menaggung pelunasan hutang

Baca Juga: