Menu Tutup

Pengertian Hukum Adat, Ciri, Dimensi, Asas, Sumber, dan Pembidangan Hukum Adat

Pengertian Hukum Adat

Berikut ini dikemukakan lima pengertian hukum adat oleh para ahli :

Menurut Cornelis van Vollenhoven

Hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi (karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat)[1].

Menurut Soekanto

Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan memiliki sanksi (dari hukum itu)[2].

Menurut Bushar Muhammad

Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut  dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim[3].

Menurut M.M. Djojodigoeno

Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan seperti peraturan-peraturan desa dan peraturan-peraturan raja[4].

Menurut Soediman Kartohadiprodjo

Hukum adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis yang tertentu yang memiliki dasar pemikiran yang khas yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya. Hukum adat bukan hukum adat karena bentuknya tidak tertulis, melainkan hukum adat adalah hukum adat karena tersusun dengan dasar pemikiran tertentu yang prinsipil berbeda dari dasar pemikiran hukum barat[5].

Semua suku bangsa dan etnis di Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan. Tanpa disadari bahwa nilai luhur dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik yang tidak mampu ditangani oleh lembaga formal.

Masyarakat Adat didefinisikan sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.

Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga, sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri. Hukum adat pada umumnya belum/tidak tertulis dalam lembaran-lembaran hukum.

Ciri-ciri Hukum Adat

Ciri-ciri hukum adat adalah :

  1. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
  2. Tidak tersusun secara sistematis.
  3. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
  4. Tidak teratur.
  5. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
  6. Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.

Dimensi Hukum Adat

Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia dimuka bumi ini yaitu

1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)

Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan lingkungan  sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.

2. Dimensi Adat Krama

Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.

3. Dimensi Adat Pati / Gama

Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).

Asas-asas Pokok dalam Hukum Adat

Hukum adat kita mempunyai asas-asas tertentu adapun asas-asas yang terpenting adalah:

Asas Religius – Magis

Menurut kepercayaan tradisional Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia ghaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makhluk-makhluk lainnya.

Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah daripada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.

Arti Religius Magis adalah :

  1. Bersifat kesatuan batin
  2. Ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
  3. Ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan makluk-makluk halus lainnya.
  4. Percaya adanya kekuatan gaib
  5. Pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
  6. Setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara relegieus
  7. Percaya adanya roh-roh halus, hatu-hantu yang menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, batu dan lain sebagainya.
  8. Percaya adanya kekuatan sakti dan adanya beberapa pantangan-pantangan

Asas Komunal atau Kemasyarakatan

Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.

Secara singkat arti dari Komunal adalah :

a). Manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas dari segala perbuatannya.

b). Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya

c). Hak subyektif berfungsi social

d). Kepentingan bersama lebih diutamakan

e). Bersifat gotong royong

f). Sopan santun dan sabar

g). Sangka baik

h). Saling hormat menghormati

Asas Demokrasi

Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem pemerintahan. Adanya musyawarah di balai desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.

Asas  Kontan

Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.

Asas Konkrit

Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.

Kedudukan Hukum Adat

Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :

“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.

Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :

  1. Hukum Eropa
  2. Hukum Eropa yang telah diubah
  3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
  4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa

Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.

Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :

  1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
  2. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
  3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
  4. Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat

Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum adat faktor-faktor tersebut adalah :

  1. Faktor Magis dan Animisme

Pada masyarakat hukum adat, faktor magis dan animisme ini pengaruhnya begitu besar atau belum dapat terdesak oleh agama-agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud pelaksanaan-pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan atau kekuatan ghaib yang dapat dimohonkan bantuannya.

  1. Faktor Agama

Adanya pengaruh-pengaruh dari agama yang masuk kemudian ke Indonesia dan dianut oleh masyarakat hukum adat bersangkutan, seperti agama Hindu, agama Islam dan agama Kristen.

  1. Faktor Kekuasaan yang Lebih Tinggi dan Persekutuan Hukum Adat

Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan adat ini adalah kekuasaan yang mempunyai wilayah yang lebih luas dari persekutuan hukum adat seperti kerajaan dan Negara.

  1. Hubungan Dengan Orang-orang ataupun Kekuasaan Asing

Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bahkan kekuasaan asing ini yang menyebabkan hukum adat terdesak dari beberapa bidang kehidupan hukum. Selain itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang asing (Barat) ke Indonesia dan kekuasaan asing dalam pergaulan sangat mempengaruhi perkembangan cara berpikiran orang Indonesia. Sebagai contoh dapat dikemukakan proses individual sering di kota-kota yang berjalan lebih cepat dari pada masyarakat di pedesaan.

Sumber Hukum Adat

Dalam membicarakan sumber hukum (adat) dianggap penting terlebih dahulu dibedakan atas dua pengertian sumber hukum yaitu Welbron dan Kenbron.

Welbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti yang sebenarnya. Sumber Hukum Adat dalam arti Welbron tersebut, tidak lain dari keyakinan tentang keadilan yang hidup dalam masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain Welbron itu adalah konsep tentang keadilan sesuatu masyarakat, seperti Pancasila bagi masyarakat Indonesia.

Sedangkan Kenbron adalah sumber hukum (adat) dalam arti dimana hukum (adat) dapat diketahui atau ditemukan. Dengan lain perkataan sumber dimana asas-asas hukum (adat) menempatkan dirinya di dalam masyarakat sehingga dengan mudah dapat diketahui.

Kenbron itu merupakan penjabaran dari Welbron. Atas dasar pandangan sumber hukum seperti itu, maka para sarjana yang menganggap hukum itu sebagai kaidah berpendapat sumber hukum dalam arti Kenbron itu adalah:

  1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
  2. Kebudayaan tradisionil rakyat
  3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
  4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
  5. Pepatah adat
  6. Yurisprudensi adat
  7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang hidup.
  8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.
  9. Doktrin tentang hukum adat
  10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat

Dengan demikian hukum adat dapat ditemukan baik dalam adat kebiasaan maupun dalam tulisan-tulisan yang khusus memuat/membicarakan hukum adat. Tulisan itu mungkin fakta hukum atau mungkin pula merupakan pandangan dari para ahli hukum adat.

Pembidangan Hukum Adat

Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pberbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabila dibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut :

  1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
  2. Tentang Pribadi
  3. Pemerintahan dan peradilan
  4. Hukum Keluarga
  5. Hukum Perkawinan
  6. Hukum Waris
  7. Hukum Tanah
  8. Hukum Hutang piutang
  9. Hukum delik
  10. Sistem sanksi.

Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :

  1. Hukum keluarga
  2. Hukum perkawinan
  3. Hukum waris
  4. Hukum tanah
  5. Hukum hutang piutang
  6. Hukum pelanggaran

Ter Harr didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan pembidangannya sebagai berikut :

  1. Tata Masyarakat
  2. Hak-hak atas tanah
  3. Transaksi-transaksi tanah
  4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
  5. Hukum Hutang piutang
  6. Lembaga/ Yayasan
  7. Hukum pribadi
  8. Hukum Keluarga
  9. Hukum perkawinan.
  10. Hukum Delik
  11. Pengaruh lampau waktu

Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :

  1. Tata susunan rakyat Indonesia
  2. Hukum perseorangan
  3. Hukum kekeluargaan
  4. Hukum perkawinan
  5. Hukum harta perkawinan
  6. Hukum (adat) waris
  7. Hukum tanah
  8. Hukum hutang piutang
  9. Hukum (adat) delik

Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut :

  1. Hukum Tanah
  2. Transaksi tanah
  3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
  4. Hukum perutangan
  5. Status badan pribadi
  6. Hukum kekerabatan
  7. Hukum perkawinan
  8. Hukum waris
  9. Hukum delik adat.

[1] Cornelis van Vollenhoven, 1983. Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia,  Jambatan kerjasama dengan Inkultra Foundation Inc., Jakarta, hlm. 14.

[2] Soekanto dan Soerjono Soekanto, 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesia, Edisi ke-3, Disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, Rajawali, Jakarta, hlm. 18.

[3] Bushar Muhammad, Op cit., hlm 27.

[4] H. Hilman Hadikusuma, Op cit., hlm. 21.

[5] Soediman Kartohadiprodjo, 1974. Hukum Nasional Beberapa Catatan, Binacipta, Bandung, hlm. 8.

Baca Juga: