Pengertian MEA
MEA merupakan singkatan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan cara membentuk system perdagangan bebas atau free trade antara Negara anggota ASEAN. Para anggota ASEAN termasuk Indonesia telah menyepakati suatu perjanjian MEA tersebut.
Sejarah MEA
Awal mula MAE berawal pada KTT yang dilaksanakan di Kuala Lumpur pada tanggal 1997 dimana para pemimpin ASEAN memutuskan untuk melakukan pengubahan ASEAN dengan menjadi suatu kawasan makmur, stabil dan sangat bersaing dalam perkembangan ekonomi yang berlaku adil dan dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan social ekonomi[1].
Kemudian dilanjutkan pada KTT bali yang terjadi pada bulan Oktober pada tahun 2003, para pemimpin ASEAN mengeluarkan pernyataan bahwa MEA akan menjadi sebuah tujuan dari perilaku integrasi ekonomi regional di tahun 2009.
Kemudian selanjutnya pada pertemuan dengan mentri ekonomi ASEAN yang telah diselenggarakan di bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, mulai bersepakat untk bisa memajukan MEA dengan target yang jelas dan terjadwal dalam pelaksanaannya.
Di KTT ASEAN yang ke-12 di bulan Januari 2007, para pemimpin mulai menegaskan komitmen mereka tentang melakukan percepatan pembentukan komunitas ASEAN di tahun 2016 yang telah diusulkan oleh ASEAN Vision 2020 dan ASEAN Concord II, dan adanya penandatanganan deklarasi CEBU mengenai percepatan pembentukan komunitas ekonomi ASEAN di tahun 2016 dan untuk melakukan pengubahan ASEAN menjadi suatu daerah perdagangan yang bebas barang, investasi, tenaga kerja terampil, jasa dan aliran modal yang lebih bebas lagi.
Konsep, Tujuan dan Bentuk Kerjasama dari MEA
Menurut Chuck Suryosumpeno bahwa konsep MEA 2016 adalah “Menciptakan wilayah ekonomi ASEAN yang stabil, makmur sebagai pasar tunggal yang kompetitif dan kesatuan basis produksi di mana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN sehingga mengurangi kesenjangan sosial ekonomi”.
Adapun Visi Misi diberlakukannya MEA pada tahun 2016 di Indonesia antara lain sebagai berikut:
- Menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN.
- Meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia.
- Mendorong pertumbuhan ekonomi.
- Mengurangi kemiskinan.
- Meningkatkan standar hidup masyarakat.
- Tercipta suatu pasar besar kawasan ASEAN yang akan berdampak besar terhadap perekonomian negara anggotanya.
Sedangkan tujuan dibuatnya MEA 2016 yaitu untuk “Meningkatkan stabilitas perekonomian dikawasan ASEAN, dengan dibentuknya kawasan ekonomi ASEAN 2015 ini diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah dibidang ekonomi antar negara ASEAN, dan untuk di Indonesia diharapkan tidak terjadi lagi krisis seperti tahun 1997
Sekretaris Jenderal ASEAN, Le Luong Minh, mengatakan bahwa MEA ini sendiri akan membawa banyak manfaat bagi Negara-negara yang terintegrasi, seperti; turunnya angka kemiskinan, meningkatnya pertumbuhan investasi, peningkatan produk domestik bruto, mengurangi pengangguran, dan peningkatan angka didunia perdagangan.
Didalam rumusannya MEA mempunyai 4 (empat) pilar yang nantinya akan diberlakukan diseluruh Negara yang tergabung di dalam ASEAN, yakni;
- Pasar tunggal dan basis produksi.
- Membangun kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi.
- Membangun kawasan dengan ekonomi yang merata.
- Membangun kawasan dengan integrasi penuh terhadap perekonomian global.
Adapun bentuk kerjasama yang berlaku pada MEA tahun 2016 antara lain sebagai berikut:
- Pengembangan pada sumber daya manusia dan adanya peningkatan kapasitas.
- Pengakuan terkait kualifikasi professional.
- Konsultasi yang lebih dekat terhadap kebijakan makro keuangan dan ekonomi.
- Memiliki langkah-langkah dalam pembiayaan perdagangan.
- Meningkatkan infrastruktur.
- Melakukan pengembangan pada transaksi elektronik lewat e-ASEAN.
- Memperpadukan segala industri yang ada diseluruh wilayah untuk dapat mempromosikan sumber daerah.
- Meningkatkan peran dari sektor swasta untuk dapat membangun MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Dampak Positif dan Negatif MEA
Dalam penerapan MEA di Indonesia tentu saja akan berdampak baik dan buruk , seperti sebuah koin yang mempunya dua sisi. Tentu saja kita perlu menyimak hal ini dengan baik. Walaupun tidak apatis dengan globalisasi namun tentu menyiapkan diri dengan mendapatkan informasi yang memadai adalah menjadi penting. Indonesia dengan 240 juta penduduknya, terlihat sebagai pangsa yang gemuk dan lemah. Ini yang membuat nantinya Indonesia akan digempur dengan produksi – produksi luar negeri, yang mungkin jika tidak dipersiapkan dengan matang, meraka bisa mereka menjadi raja di negara Indonesia.
Adapun dampak positif diberlakukannya MEA tahun 2016 di Indonesia antara lain sebagai berikut:
- Prosedur Bea Cukai Lebih Sederhana.
Menurut Tari, Masyarakat Ekonomi ASEAN akan memiliki sistem yang dapat memantau pergerakan barang dalam perjalanannya ke negara-negara ASEAN. Tidak hanya itu, izin barang ekspor pun akan lebih cepat. Ini akan menghemat waktu dan biaya ekspor.
- Adanya Sistem Self-Certification.
Ini adalah sistem yang memungkinkan pengekspor menyatakan keaslian produk mereka sendiri dan menikmati tarif preferensial di bawah skema ASEAN-FTA (Free Trade Area). Tanggung jawab utama dari sertifikasi asal dilakukan oleh perusahaan yang ikut berpartisipasi dengan menyertakan faktur komersial dokumen seperti tagihan, delivery order, atau packaging list.
- Harmonisasi Standar Produk.
Meski masih belum ditetapkan seperti apa standar dari masing-masing jenis produk, hingga saat ini, terdapat 7 jenis produk yang menjadi prioritas mereka yakni : Produk karet, Obat tradisional, Kosmetik , Pariwisata, Sayur dan buah segar, Udang dan budidaya perikanan[2].
Kemudian dampak negatif diberlakukannya MEA tahun 2016 di Indonesia antara lain sebagai berikut:
- Dampak Terhadap Perempuan.
Dalam sejarah perkembangan penindasan terhadap perempuan adalah ketika perempuan mulai dijauhkan dari penguasaan alat-alat produksi. Inilah menyebabkan perempuan kemudian digiring dalam ranah domestifikasi dan tertindas dari ekonomi, politik dan sosial. Akibatnya kaum perempuan yang paling merasakan dampak dari adanya MEA. Hal dapat dilihat dari aspek pendidikan dalam partisipasi sekolah bahwa perempuan yang berusia 19-24 tahun yang tidak sekolah adalah 79,06% sementara untuk laki-laki 78,94% artinya keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan relatih jauh lebih rendah ketimbang laki-laki[3]. Dengan minimnya akses pendidikan bagi perempuan, dampak yang bisa diperkirakan adalah kaum perempuan menjadi pengangguran atau menjadi tenaga kerja murah.
- Pembangunan Pasar Tunggal.
Pembangunan pasar tunggal menyebabkan adanya aliran bebas barang. Artinya, barang-barang dari berbagai Negara ASEAN lainnya akan bebas keluar masuk kedalam negeri untuk diperjual-belikan. Masalah akan muncul ketika produk-produk lokal tidak bisa bersaing dengan produk-produk luar, baik secara kulitas maupun harga. Ini akan menyebabkan kehancuran sektor produksi nasional, baik industri nasional berskala besar maupun kecil (UKM dan Industri Rumah Tangga).
- Liberalisasi Pasar Tenaga Kerja.
Liberalisasi pasar tenaga kerja yang berpotensi menyingkirkan tenaga kerja lokal. Di sini, tenaga kerja Indonesia akan dipaksa bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil dan terdidik untuk bersiap-siap mengahadapi persaingan.
- Dampak Terhadap Pendidikan.
Dampak terhadap aspek pendidikan tentu saja sangat beragam. Namun yang pasti adalah terkait dengan kualitas yang dihasilkan oleh sistem pendidikan di Indonesia. Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Vivin Sri Wahyuni, berpendapat ada beberapa aspek dampak dari MEA, yakni menjamurnya lembaga pendidikan asing, standar dan orientasi pendidikan yang makin pro pasar, dan pasar tenaga kerja yang dibanjiri tenaga kerja asing. Vivin juga menilai, upaya pemerintah Indonesia memaksakan MEA 2016 merupakan bagian dari agenda liberalisasi semua sektor kehidupan berbangsa, seperti energi, pangan, infrastruktur, dan lain-lain. “MEA merupakan agenda neoliberalisme untuk mendorong perdagangan bebas berskala kawasan,” tegasnya.
- Kesiapan Sumber Daya Manusia.
Berdasarkan aspek Sumber Daya Manusia, terlihat bangsa Indonesia belum siap terhadap itu. Contoh konkret dari ketidaksiapan ini salah satunya tercermin dalam proyek MRT yang cuma 1 dan tidak jadi-jadi. Sementara Singapura di waktu yang sama telah menyiapkan 5 MRT dan sudah beroperasi. Sementara itu, dari sisi kesiapan tenaga kerjanya, karena dengan bergelar sarjana mereka ikut Management Trainee baru siap berkompetisi dalam pasar tenaga kerja[4].
- Kesiapan Produk Lokal
Adanya industri obat tradisional skala besar, seperti Sido Muncul, Bintang Toejoe, Jamu Air Mancur. Dengan ini Indonesia siap untuk menyongsong MEA 2016, dibanding dengan negara ASEAN lain, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand, industri jamu Indonesia yang paling siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sekarang ini. Negara-negara di Asia Tenggara bisa dibilang sebagai pendatang baru dalam industri jamu. Justru mereka yang khawatir dengan industri jamu Indonesia.
Kalau kita takut dan tak siap menghadapi MEA 2016, itu tidak logis, karena negara Indonesia adalah negara yang penuh dengan sumber daya yang melimpah yang dapat diolah, dikembangkan dan dimanfaatkan dengan baik. Kalau industri obat tradisional siap menyambut MEA tahun depan, lain halnya dengan usaha mikro obat tradisional kita. Kami cemas dengan pasar terbuka ASEAN karena modal kami sedikit dan alat produksi terbatas. Itu sebabnya, produsen obat herbal asal Klaten, Jawa Tengah, ini mendesak pemerintah lebih serius membantu usaha mikro dan kecil jamu memperbaiki kualitas produknya. Jika tidak, mereka akan terdesak dan mati perlahan karena kalah bersaing dengan produk. Tanpa pasar bebas ASEAN saja, obat tradisional impor dan ilegal yang menggunakan bahan kimia sudah sangat memukul bisnis jamu lokal. Apalagi, dari sisi regulasi juga kurang pro pengusaha kecil sehingga mereka sulit berkembang. Maklum, pengurusan izin usaha masih rumit. Banyak persyaratan yang membebani akibat sering berubah-ubah. Alhasil, sulit buat pengusaha kecil untuk memenuhi syarat-syarat itu.
Persyaratan izin usaha obat tradisional yang lebih ketat berdampak positif terhadap pemenuhan kualitas, aspek keamanan, dan kesehatan produk jamu sesuai standar. Sebab, pelaku usaha wajib menerapkan cara pembuatan obat tradisional yang baik , dengan dukungan data keamanan serta kemanfaatan produk secara praklinis dan klinis.
Minimnya sosialisasi dan sumberdaya manusia (SDM) berkualitas. Kedua, belum ada alat pemroses bahan baku seperti pengering sehingga kualitas tidak konsisten. Ketiga, beredarnya produk herbal dan jamu ilegal yang mengandung bahan kimia obat. Dampaknya, bukan hanya susah menciptakan produk jamu yang berkualitas, namun juga sulit dalam pengembangan dan pemasaran produk. Maka dari itu kita harus saling kerjasama dengan negara ASEAN dalam menghadapi masalah seperti masalah diatas, supaya negara kita dapat menyongsong MEA 2015 yang akan datang dengan baik.
Namun, dengan keterbatasan anggaran, pemerintah semaksimal mungkin memberikan fasilitasi dan pendampingan kepada usaha mikro. Memang, investasi yang harus pengusaha jamu keluarkan untuk lolos standarisasi ini sangat mahal. Cuma, ini akan memberi nilai lebih terhadap produk dan daya saing.
Upaya lainnya, Toleti menambahkan, pemerintah mengingatkan gerakan minum jamu dan menanam tanaman obat. Langkah ini untuk menggugah masyarakat agar kembali ke tradisi leluhur dan lebih mengenal kekayaan hayati nusantara. Apresiasi terhadap obat tradisional Indonesia menjadi sangat penting. Tanpa itu, eksistensi jamu nusantara akan terancam. Pangsa pasar negara kita yang sangat besar bisa direbut obat-obatan herbal dari negara lain.
Semua itu akan dapat menjadikan negara Indonesia lebih kuat untuk menyongsong MEA 2015 sekarang ini dengan perdagangan obat herbal yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
[1] ASEAN Vision 2020
[2] Harian Kompas edisi September tahun 2014
[3] Data Biro Pusat Statistik tahun 2013
[4] Aribowo Mondrowinduro (Corporate Human Resource Management Function Head Triputra Group).