Menu Tutup

Penghayatan Eksistensial-Filosofis

Setting Sosio-Kultural Munculnya Penghayatan Eksistensial-Filosofis

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa pertama sekali Nabi Muhammad diutus Allah di alam dunia adalah karena misinya untuk menanamkan keyakinan atas keberadaan Allah yang satu (iman bi tauhid Allah). Keyakinan tersebut merupakan sendi paling pokok dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad, yaitu agama Islam. Penanaman keyakinan atas keberadaan Allah diusahakan oleh Nabi agar diikuti umatnya.

Karakter penanaman yang dituntunkan Nabi sama sekali bukan terbentuk renungan dan bersifat konseptual, tidak pula bersifat doktriner dan normatif, melainkan penanaman keyakinan atau iman yang dilakukan Nabi lebih bersifat tuntunan praktis, yaitu bagaimana agar umatnya dalam merespon keberadaan Allah tersebut mempunyai pengaruh positif terhadap pembentukan nilai sikap dan pembangunan perilaku.

Kemudian dengan sepeninggal Nabi, maka hilanglah modal hidup yang selalu dijadikan referensi keberagamaan umat Islam, padahal kita mengetahui bahwa problema yang dihadapi umat Islam terus berkembang, takkan pernah usai. Terlebih-lebih semakin bertambah kuantitas pemeluk Islam yang baru (muallaf), yang berasal dari berbagai wilayah, dengan membawa latar belakang sosial dan budaya yang beraneka ragam.

Pada sisi yang lain yang sering juga terjadi adalah adanya debat-debat teologis antara umat Islam dengan pemeluk agama atau kepercayaan lain, seperti orang-orang madinah, orang-orang zindik, dan terlebih lagi orang-orang Nasrani di Damaskus tentang kasus-kasus yang menyangkut kebebasan dan keterpaksaan manusia, al-Qur’an sebagai firman Allah, termasuk tentang sifat-sifat Tuhan (L. Gardet dan M.M. Annawati, 1981:37-38).

Perlu diketahui bahwa lawan debat umat Islam waktu itu sudah mempunyai kultur intelektual yang tinggi, namun mereka kritis dan menolak kebenaran Islam. Kondisi tersebut memaksa umat Islam untuk merumuskan ulang sistem-sistem kepercayaan mereka dengan sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh akal lawan dan bahkan diharapkan dapat menghancurkan argumennya. Dalam konteks ini meniscayakan dilakukan pencangkokan metode-metode yang lebih rasional oleh umat Islam. Disinilah channel lain upaya mengakses ide-ide Yunani dalam Islam.

Berangkat dari latar belakang yang telah terdeskripsikan di atas maka lahirlah respons keberagamaan baru, yang berbeda dari respons keberagamaan tuntunan Nabi. Corak keberagamaan baru ini lebih mengedepankan rasio, sehingga nuansanya sangat filosofis dan spekulatif. Tidak lagi bersifat teknis dan operasional. Corak keberagamaan baru ini juga mempengaruhi umat Islam dalam merespons keberadaan Tuhan, sehingga lahirlah doktrin-doktrin baru dan tipe pemahaman baru. Tipe pemahaman baru atas eksistensial dan sifat-sifat Tuhan dengan pendekatan filosofis-spekulatif inilah yang akan melahirkan penghayatan eksistensial-filosofis.

Jadi, sesungguhnya tipe pemahaman eksistensial-filosofis ini terlahir karena keniscayaan sejarah, yakni sebagai konsekuensi logis atas peremuannya dengan tradisi, budaya, dan pola pikir Yunani. Juga, karena sebuah keharusan sejarah, yakni ketika umat Islam dihadapkan pada tantangan dan kebutuhan upaya pembuktian kebenaran agama Islam di hadapan afiliasi lain yang menolak Islam.[1]

Penghayatan Eksistensial Filosofis Sifat-sifat Tuhan : Pengertian dan Elaborasinya

Penghayan eksistensial-filosofis atas Allah lahir sebagai implikasi logis dari sebuah pemahaman terhadap doktrin-doktrin ketuhanan yang memakai pendekatan filosofis, rasionalistik, dan spekulatif, sebagai anak kandung dari hasil pergumulan antara tradisi Islam dengan tradisi Yunani.

Pendekatan filosofis artinya objek pembahasan dikaji secara analitis, kritis, sistematis, dan mendalam atas dasar logika atau akal, sehingga bersifat rasionalistik. Sedangkan bersifat spekulatif, karena objek bahasan, memang belum terdapat pendasaran kepastiannya dalam sumber agama (al-Qur’an dan Hadits).

Penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah, yang lahir dari pemahaman eksistensial-filosofis  atas-Nya, memposisikan keberadaan Allah sebagai objek bahasan yang akan dikaji secara mendalam, bagaimana Dia, sehingga diketahui profil-Nya. Pemahaman atas sifat dan perbuatan Allah pun terjebak pada situasi yang demikian, seperti bagaimana wujud Allah, seperti apa kalam Allah, dan sebagainya.

Menurut Wolfson, materi bahasan sifat dan perbuatan Allah masa itu, pada dasarnya bermuara dan dapat terpetakan menjadi tiga sudut pandang, yaitu sudut pandang ontologis, sudut pandang semantik, dan sudut pandang logika (Wolfson, 1976:2006).

Sudut pandang ontologis, menghadapkan problema ini pada pertanyaan-pertanyaan tentang sifat dan perbuatan Allah yang ada dalam al-Qur’an, misalnya Allah Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, yang ini berimplikasi pada kehidupan (hayah), pengetahuan (‘ilm), kekuasaan (qudrah) Allah sebagai keberadaan yang tak terpisah dari esensi (dzat)-Nya, tetapi hayah, ‘ilm, qudrah dan sifat Allah yang lain itu sendiri berbeda dengan esensi (dzat) Allah.

Dari problem yang satu ini, diantaranya memunculkan polemik antar kelompok umat Islam sendiri. Kelompok Mu’tazilah berpendapat Allah mempunyai sifat yang tidak terpisah dari dzat atau esensi-Nya, sehingga Allah mengetahui, berkuasa, dan seterusnya adalah dengan dzat atau esensi-Nya, tidak dalam sifat mengetahui, berkuasa, dan seterusnya. Karena apabila tidak demikian maka akan menyebabkan adanya banyak kekal, dan konsekuensinya akan bertentangan dengan ke-Esa-an Allah (Harun Nasution, 1986:136). Berbeda dengan Musabbihah yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat yang dimiliki manusia (al-Baghdadi,tt:225), juga berbeda dengan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat, tetapi sifat-sifat tersebut bukan Allah, tidak pula lain dari Allah. Dengan demikian, adanya sifat-sifat tersebut tidak akan membawa pada banyak kekal yang akan mendistorsi ke-Esa-an Allah (Harun Nasution, 1986:136).

Yang penting untuk diketahui adalah bahwa munculnya permasalahan yang demikian itu, berikut pemecahannya sebagaimana penjelasan singkat di atas, tidak akan dapat kita temukan dalam al-Qur’an dan Sunnah, tetapi ini adalah pengaruh dari doktrin Kristen. (Wolfson, 1976:2006)

Selanjutnya, sudut pandang semantik telah mengembangkan diskusi-diskusi pemahaman tentang Allah setelah umat beriman lebih mencermati term-term dalam al-Qur’an yang melukiskan Allah dalam keserupaan dengan makhluknya. Diskusi ini tumbuh untuk pertama kalinya ketika umat beriman berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa Allah mempunyai tangan, Allah mempunyai wajah, Allah mempunyai mata, Allah bersemayam di atas arasy, dan seterusnya.

Berhadapan dengan kasus tersebut, juga membawa pada perbedaan pendapat. Ada yang mewajibkan penakwilan seperti mu’tazilah, ada yang no comment seperti Asy’ariyah, dan ada yang menyamakannya persis sebagaimana adanya pada manusia seperti Mujassimah. (Harun Nasution, 1986:137-138)

Kemudian dari sudut pandang logika, yang tercermin saat seringnya umat Islam menggunakan proposisi-proposisi logis, upaya merasionalisasikan doktrin-doktrin agama dan ketuhanan.

Dalam perspektif ini, Van Ess mencermati adanya keterpengaruhan penggunaan proposisi-prosisi logika Yunani dalam Islam. Tetpai yang dimaksud bukan oleh logika Aristoteles (Aristotelian Logic) seperti yang selama ini sering diduga, melainkan oleh logika Stoa (Stoic Logic). Hal ini nampak sekali, terutama ketika melihat bagaimana metode yang digunakan umat Islam dalam menetapkan landasan pembuktian dengan penalaran analogi yang terkenal dengan istilah qiyas atau istidlal bi al-syahid ‘ala al-ghoib atau commemorative sign, dalam bahasa logika Stoa. Maksudnya adalah penyimpulan adanya sesuatu yang terlihat (visible) berkaitan dan berdasarkan pada sebab-sebab atau hal-hal yang tak terlihat (invisible). (Josef Van Ess, 1992:33-34)

Contoh yang sering kita dengar tentangnya adalah ketika ditempatkan segala ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi ini yang bersifat visible sebagai bukti adanya Allah yang invisible.

Problem-problem pemahaman keagamaan dan pendapat dari masing-masing kelompok sebagai wujud respons keberagamaan saat itu, dalam kurun waktu selanjutnya, terfiksasi dalam sebuah kajian yang bernama Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam.

Apabila pola pemahaman dengan elaborasi semacam itu yang dimasukkan dan didesakkan dalam arus kesadaran seseorang, maka yang dihasilkan adalah penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah. Keberhasilan keberagamaan ini akan ditandai dengan pemerolehan pengertian, yang bersifat kognitif tentang-Nya.[2]

Keterbatasan Penghayatan Eksistensial-Filosofis Atas Allah

Pengkajian ilmu kalam dan penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah, sebagai anak kandungnya, dengan materi sedemikian rupa ternyata masih berlanjut hingga kini. Sedangkan perlu diketahui bahwa problem yang sedang dihadapi umat masa sekarang sudah bergeser sangat jauh, yakni bukan lagi terkait dengan rasionalisasi doktrin-doktrin agama atau menghadapi unsur-unsur ke-Yunani-an, akan tetapi lebih dihadapkan pada penyimpangan-penyimpangan keberagamaan praktis di lapangan, yang mengakibatkan runtuhnya kualitas keberagamaan umat beriman, bobroknya moral kemanusiaan dan sikap-sikap sosial.

Apabila akhirnya nanti, bangunan ilmu yang lahir sebagai reaktor dan respons sudah tidak match lagi dengan tantangan yang dihadapi atau dengan kata lain, obat sudah tidak sesuai dengan penyakitnya, maka bangunan ilmu itu akan kehilangan relevansinya dan menjadi out off date sehingga paradigmanya perlu digeser atau bahkan di ubah.

Sesungguhnya ada kelemahan dan keterbatasan yang pasti dari corak pendekatan dan materi bahas Ilmu Kalam dan penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah ini, yaitu ketidakmampuannya memberikan solusi atas problem-problem keberagamaan yang sedang dihadapi umat beriman, termasuk juga dia tak akan mampu membangun keberagamaan umat secara maksimal.

Hal yang demikian disebabkan Ilmu Kalam dan penghayatan eksistensial-filosofis atas Allah sangat bersifat teosentris, yang ingin mencapai “wajah”, profil, esensi Allah, Allah sebagai Allah, atau dalam bahasa filsafatnya adalah being qua being, tidak dikaitkan dengan problem perilaku manusia, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberagamaan.

Perlu digarisbawahi pula dalam hal ini bahwa usaha mencapai esensi Allah adalah usaha yang sia-sia belaka, sebab kapanpun dan dimanapun, Allah tetap mukhalafah li al-chawadits, Allah tak berbentuk, Allah tak berwarna, Allah tak seperti apa-apa.

Dalam perspektif di atas, Nabi Muhammad pernah memberi petunjuk bahwa “Berfikirlah kalian (umatku) tentang ciptaan Allah, janganlah kalian memikirkan esensi Allah. Apabila kalian memikirkan esensi Allah, maka kalian akan binasa.”

Berdasarkan imperatif di atas maka patut untuk kita renungkan bersama, bahwa pada kenyataannya, Nabi Muhammad telah mengingatkan umatnya dimana potensi dan akal pikiran manusia itu sangat terbatas. Manusia seringkali tak mampu memikirkan ciptaan Allah, seperti bagaimana alat raspirasi atau alat ekskresi virus, kenapa Allah membuat ikan hiu, dan seterusnya.

Kalau ternyata memikirkan ciptaan Allah saja, potensi dan akal pikiran manusia sangat lemah maka bagaimana akan menyampaikannya pada esensi Allah.[3]***

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Dzofir, Ulya, dan Adri Efferi, Ilmu Tauhid Amali, Kudus, 2004

[1] Moh. Dzofir, Ulya, dan Adri Efferi, Ilmu Tauhid Amali, Kudus, 2004, hlm. 86-93

[2] Ibit, hlm. 94-102

[3] Ibit, hlm. 102-107

Baca Juga: