Menu Tutup

Peninggalan-Peninggalan Kebudayaan Islam

Lukisan Kehidupan Islam

Pada waktu Islam telah berkembang luas dan Arab muslim telah bercampur baur dengan berbagai bangsa lain, terbukalah mata mereka melihat kea rah seni budaya lama dan kemudian dikembangkan dengan jiwa agama. Demikian ufuk seni menjadi lebar meluas dalam pandangan mereka dan akhirnya mereka pun berhasil menciptakan seni budaya baru yang tidak menyimpang dari garis Islam. di mana menurut anggapan mereka, bahwa yang demikian sama halnya dengan menyembah patung. Karena itu, dasar atau motif dari seni rupa mereka yaitu annabatiyah (tumbuh-tumbuhan) dan al-handasiyah (gambar berdasarkan ilmu ukur).

Setelah Arab muslim menguasai negeri-negeri Syam dan Persia, mereka melahirkan aliran khusus dalam seni bangunan yang sesuai dengan tata hidup mereka. Muncullah bangunan-bangunan mereka dengan gaya khas Arabnya yang berwujud pada bentuk pilar, busur, kubah, ukiran lebah bergantung, wajah menara menjulang tinggi. Penonjolan seni bangunan Arab muslim pertama kalinya pada mesjid-mesjid. Tipe mesjid Quba yang dibangun Rasul menjadi dasar umum bagi segala mesjid Islam. lalu lintas jama’ah haji ke Mekkah dan Madinah tiap-tiap tahun, di mana mereka melakukan ibadah sembahyang dalam mesjid-mesjid kota dan desa yang dilaluinya telah menyebabkan tipe mesjid-mesjid Hijaz menjadi contoh.

Al-Khithabah

Al-khithabah (seni pidato) merupakan kepandaian khusus dan menjadi syarat utama bagi seseorang pemimpin atau kepala kabilah. Karena itu, khithabah telah menjadi suatu kalangan mereka para “khuthaba” yang mahir berpidato dalam bahasa yang indah (bayan). Demikian pula, seni pidato berkembang pesat lagi dalam kalangan orang Arab muslim di zaman permulaan Islam, oleh karena Dakwah Islamiyah memerlukan para “khathib” yang petah lidahnya dan memiliki teknik tinggi serta bahasa balaghah dalam berpidato. Karena itu, kecuali Rasul sendiri yang memang seorang khathib ciptaan Allah, juga para sahabat dan para panglima perang semuanya adalah “singa podium” yang ulung.

Perbedaan khithabah zaman Jahiliyah dengan khithabah zaman permulaan Islam, yaitu bahwa khithabah terakhir ini telah terpengaruh benar dengan uslub Qur’an yang bernilai balaghah dan hikmah, bahkan para “khuthtbah” telah menjadi khithabah-khithabahnya penuh dengan ayat-ayat al-qur’an yang digodok menjadi satu kesatuan yang padu. Pengaruh seni khithabah setelah Islam dalam jiwa menjadi hebat dan mendalam dengan sebab kebangkitan Arab dan kemenangan-kemenangan mereka dalam berbagai medan perang, hal mana menambahkan kebanggan mereka serta bertambah tinggi nilai dirinya yang mengakibatkan tambah halus rasa balaghahnya. Pada saat itu, nilai khithabah dalam kalangan mereka menjadi tinggi sekali, telah sampai pada derajat yang belum pernah dicapai oleh bangsa apapun sebelumnya, juga tidak pernah oleh bangsa Yunani dan Romawi.

Orang Arab pada permulaan Islam adalah bangsa yang paling banyak memiliki khtahib yang sanggup berpidato dengan seni bahasa yang jarang ada bandingannya. Karena para khalifah para gubernur dan para panglima pada umumnya semuanya khuthaba yang mahir, bahkan juga para ulama dan para ahli zuhud. Ini tidak heran, karena orang Arab memiliki khayal yang kaya sekali dan mempunyai jiwa perasa yang sangat tajam. Kalau kita memperhatikan hasil-hasil dari dakwah Islamiyah dan kemenangan-kemenangan perang akan kita dapati hal yang ajaib sekali yaitu pengaruhnya khithabah dari para khuthaba.

Satu pemberontakan dapat dipatahkan dengan satu pidato yang berhikmah. Umpamanya pada waktu penduduk Madinah hendak membangkitkan revolusi berdarah pada waktu wafatnya Rasul, maka Khalifah Abu Bakar dapat mendinginkan mereka dengan satu khithabah pendek yang berbunyi:

Saudara-saudara!

Kalau Muhammad telah meninggal maka sesungguhnya Allah tetap hidup, tidak akan mati. Muhammad hanyalah seorang Rasul, di mana sebelumnya telah berlalu rasul-rasul. Apakah kalau dia meninggal atau terbunuh, lantas kamu menjadi kafir kembali?.

Seni Bahasa

Unsur yang tidak baik yang terdapat dalam syair Jahiliyah, telah dibersihkan dari syair pada permulaan Islam, seperti ashabiyah, caci maki, hasut fitnah, cabul, dan sebagainya.

Para penyair di zaman ini mendapat bimbingan Al-qur’an:

Yang menjadi pengikut para penyair, adalah kaum petualang. Tidaklah engkau lihat, bahwa mereka bertualang di lembah-lembah? Mereka berkata yang tidak dikerjakannya. Kecuali mereka yang beriman dan beramal salih, senantiasa berzikir kepada Allah. Mereka itu mendapat kemenangan setelah ditindas. Kaum penindas akan mengetahui ke tempat mana mereka akan di halau. (QS. Asy-Syu’ara [26]: 224-227).

Ayat-ayat ini adalah untuk mencela para penyair Jahiliyah yang tiada bermoral dan untuk membimbing para penyair muslim. Rasul sendiri menganjurkan umat untuk menjadi penyair, terutama untuk membela dakwah dan membangkitkan semangat jihad:

Sesungguhnya keindahan bahasa adalah sihir, dan sesungguhnya syair adalah kata berkhidmat. (Al-hadits).

Syair-syair di zaman ini banyak terpengaruh dengan Uslub Qur’an. Tema dari syair-syair di zaman ini yaitu jihad, memuja Rasul, memaki musuh Islam, kebesaran Islam, surge dan neraka. Syair juga digunakan untuk menafsirkan makna dan kandungan Al-qur’an dan Hadits. Para penyair yang terkemuka pada zaman ini antara lain yaitu Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Malik, Ka’ab bin Malik dan Ka’ab bin Zubair.

Seni Bangunan

Seni bangunan Islam terbagi dalam tiga bidang besar yaitu:

  1. ‘Imarah Madaniyah (bangunan sipil) yang menjelma dalam bentuk kota-kota dan gedung-gedung khusus.
  2. ‘Imarah Diniyah (bangunan agama) yang berwujud dalam mesjid-mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.
  3. ‘Imarah Harbiyah (bangunan militer) yang bersemi dalam benteng-benteng dan menara-menara pertahanan.

Bangunan-bangunan Arab adalah sangat sederhana. Di Mekkah hanya sedikit sekali bangunan dan yang terpenting bangunan Ka’bah. Rumah orang-orang kaya terbikin dari batu, sementara rumah-rumah rakyat banyak terbuat dari batu merah. Pada umumnya rumah-rumah terbikin satu tingkat dengan pekarangan yang luas dan bersumur di dalamnya. Setelah Daulah Islamiyah meluas di zaman Khalifah Umar dan tanah Hijaz menjadi makmur dan kaya, berdatanganlah ke Madinah para ahli seni bangunan (arsitek) dari luar Jazirah Arab dan seni bangunan memuncak kemajuannya. Waktu itu, para pembesar Arab muslim di Mekkah dan Madinah membangun gedung-gedung batu yang lebar besar yang diperindah dengan marmar. Kata orang, istana Saidina usman yang terbesar di antaranya.

Menurut Mas’udi dalam buku sejarahnya, bahwa para sahabat di masa Khalifah Usman telah membangun rumah-rumah gedung besar, baik di Madinah, Kaufah, Fusthath, Iskandariah atau kota-kota lainnya. Khas seni bangunan Arab dengan menara, kubah, pilar dan ukiran lebah bergantung yang semuanya mengarah ke pohon kurma yang mereka cintai, karena kurma adalah makanan pokok mereka.

Pembangunan Mesjid

Selama masa permulaan Islam (masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin), sesuai dengan kebutuhan kaum muslimin telah banyak didirikan mesjid-mesjid, baik dalam kota-kota ataupun dalam desa-desa, apalagi bila disadari bahwa fungsi mesjid tidak saja sebagai tempat sembahyang, tapi mesjid pada permulaan Islam adalah pusat kegiatan ibadat, politik, ekonomi dan kebudayaan.

Di antara mesjid-mesjid yang dibangunkan di masa ini, yaitu:

Mesjid Quba

Pada hari pertama Rasul datang di Madinah, beliau sampai pada satu tempat di luar Yasrib, yang bernama Quba. Di tempat inilah Rasul beristirahat empat hari yaitu hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Dan di tempat inilah beliau membangun sebuah mesjid pertama dalam Islam yang dinamakan mesjid Quba. Mesjid Quba ini dibangun pada tanggal 12 Rabiulawal 1 HIjriyah (28 Juni 622 M) secara gotong royong, di mana Rasul sendiri bersama para sahabat turut mengangkat batu. Batu pertama diangkat oleh Rasul, kemudian berturut-turut Abu Bakar, Umar dan usman. Mesjid Quba tidak begitu besar, tapi arsitekturnya menjadi model bagi mesjid-mesjid yang dibangun kemudiannya.

Mesjid Madinah

Untuk mendirikan mesjid Madinah, Rasul memilih sebidang tanah kepunyaan dua anak yatim. Sekalipun wali dari anak-anak yatim tersebut ingin menyerahkan cuma-cuma tanah tersebut, namun Rasul tetap membelinya. Mesjid didirikan sangat sederhana. Tembok dindingnya batu bara, sementara atapnya terdiri dari daun kurma yang dicampur dengan tanah liat. Di samping mesjid dibangun ruangan tertutup untuk para fakir miskin kaum muslimin. Mesjid diberi pintu dua, yaitu pintu Aisyah dan pintu Atiqah. Setelah perang Khaibar, nabi sendiri memperbesar mesjid ini, kemudian berturut-turut diperbesar lagi oleh Khalifah Umar dan Khalifah Usman, malahan oleh Khalifah Usman diperindah dengan batu-batu berukir dan batu akik berwarna.

Pada zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin, mesjid Madinah ini menjadi kantor besar Negara yang di dalamnya diurus segala urusan pemerintahan. Mesjid tidak saja menjadi ekonomi dan sosial. Rasul menerima duta-duta luar negeri dalam mesjid, sebagaimana mengurus urusan-urusan Negara lainnya. Di atas mimbar mesjid Rasul berpidato membentangkan urusan-urusan politik dan agama. Demikian pula para khalifah sesudahnya, mesjid ini juga menjadi pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan. Tidak pernah mesjid memisahkan urusan agama dengan urusan politik, seperti halnya dengan gereja.

Selain mesjid Nabawi, di kota Madinah banyak didirikan mesjid-mesjid selama masa permualan Islam diantaranya yaitu mesjid al-Qiblatain, mesjid Fatah, mesjid Salman, mesjid Saiyidina Ali, mesjid Ijabah, mesjid Rayah, mesjid Suqya, mesjid Fadikh, mesjid Bani Quraizah dan mesjid Afr. Sebagian dari mesjid-mesjid ini sudah tak ada lagi sekarang.

Mesjid Al-‘Atiq

Dalam membuat rencana pembangunan kota Fusthath, termasuk sebuah mesjid Jami’ yang berdiri di tengah-tengahnya. Demikian kehendak panglima Angkatan Perang Islam yang menaklukkan Mesir, Amr bin Ash. Mesjid yang dinamakan mesjid Al-‘Atiq ini akhirnya lebih terkenal dengan namanya sendiri yaitu Jami’ Amr bin Ash.

Mesjid-mesjid di sekitar Mekkah

Selain mesjid Haram dengan Ka’bah di dalamnya, dalam kota Mekkah dan sekitarnya juga terdapat mesjid-mesjid lainnya yang dibangunkan di zaman permulaan Islam, antaranya yaitu mesjid Rayah, mesjid Mukhtaba, mesjid Abi Qubais, mesjid Haras, mesjid Ijabah, mesjid Al-Bai’ah, mesjid Nakar, mesjid Al-Kibasyi, mesjid Khaif, mesjid Dab, mesjid namrah, mesjid Al-Hiyallah, mesjid Ja’ranah dan mesjid Fathah. Dan sebagaian dari mesjid-mesjid ini sudah tidak ada lagi.

REFERENSI

Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.

Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Pijper, G.F., Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Jakarta: Universitas Indonesia, 1985.

Baca Juga: