Menu Tutup

Pensyariatan Puasa di Masa Nabi Muhammad SAW

[otw_shortcode_dropcap label=”D” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]i masa kenabian Muhammad SAW belum ada perintah puasa sepanjang masa 13 tahun di Mekkah. Perintah puasa baru disepakati keberadaannya secara nyata ketika Rasulullah SAW sudah hijrah ke Madinah dengan turunnya ayat 183-184 surat Al-Baqarah.

“Wahai orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaiman telah diwajibkan kepada umat sebelummu agar kamu bertaqwa. Yaitu beberapa hari” (QS Al-Baqarah : 183)

Kalau diperhatikan seksama, ayat ini tidak memberi perintah untuk puasa Ramadhan, hanya memerintahkan puasa sebagaimana puasa orang sebelum kamu. Para ulama beda pendapat, apakah lafazh ayat ini sekedar memberi tahu bahwa umat terdahulu juga diperintahkan puasa, ataukah maksudnya kita disuruh mengikuti tata cara puasanya orang terdahulu?

Pendapat Pertama

Muadz bin Jabal dan ’Atha4 berpendapat bahwa kesamaan itu terbatas dalam hal bahwa umat terdahulu juga diwajibkan puasa. Bahwa seluruh nabi sejak Nabi Adam alaihissalam yang diutus kepada umatnya selalu membawa perintah berpuasa. Sedangkan bagaimana tata cara berpuasa masing-masing umat itu, tidak tercakup dalam ayat ini. Karena tata cara berpuasa tiap umat berbeda-beda. Maka membacanya menjadi : sebagaimana kewajiban itu juga dibebankan kepada umat sebelum kamu.

Pendapat Kedua

Bahwa kesamaannya bukan hanya dalam hal kewajiban berpuasa, namun juga termasuk bagaimana tata cara berpuasanya. Maka membacanya menjadi : sebagai cara berpuasanya umat sebelum kamu. Dalam hal ini ada dua pandangan, yaitu cara berpuasa yang dimaksud adalah puasa di bulan Ramadhan, dan yang kedua adalah haramnya makan, minum dan jima’ di malam hari yang merupakan tata cara berpuasa orang terdahulu.

Pertama : Puasa Ramadhan

Bahwa orang terdahulu juga diwajibkan puasa Ramadhan, sebagaimana hadits berikut ini :

Puasa Ramadhantelah Allah wajibkan atas umat-umat sebelummu (HR. Ibnu Abi Hatim)

Meski di masa Rasulullah SAW yahudi dan nasrani sudah tidak lagi menjalankannya, dan seiring dengan perjalanan waktu, terjadilah berbagai penyelewenangan dan penyimpangan. Maka ketika Allah SWT mengutus Rasulullah SAW, penyimpangan itu dikembalikan lagi ke bentuk aslinya semula yaitu puasa di bulan Ramadhan.

Penyimpangan Yahudi adalah menukar puasa Ramadhan menjadi puasa sehari saja dalam setahun, dengan meyakini bahwa hari itu adalah hari ditenggelamkannya Fir’aun.

Penyimpangan Nasrani ketika saat Ramadhan mereka tertimpa panas yang menyengat lalu mereka pindahkan ke waktu lain yaitu musim semi, sambil ditambahi 10 hari. Kemudian salah seorang rahib mereka sakit dan bernadzar atas kesembuhannya, sehingga ditambahi lagi 7 hari. Raja yang lainnya menambahi lagi 3 hari lagi biar genap, sehinga total menjadi 30 hari Ramadhan + 10 + 7 + 3 = 50 hari. Itulah mengapa Al-Quran menyebut bahwa mereka telah menjadikan rahib dan pendeta mereka sebagai sesembahan selain Allah.

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At-Taubah : 31)

Pendapat seperti ini didasarkan pada hadits berikut :

Awalnya orang nashara diwajibkan puasa sebulan. Lalu salah seorang dari mereka sakit dan bernazdar bila Allah sembuhkan akan menambahinya 10 hari. Lalu orang lain ada yang makan daging hingga mulutnya terkena masal ah dan bernazdar bila Allah menyembuhkannya akan menambahi puasanya 7 hari. Lalu ada raja lain berkata,”Kita sempurnakan 7 hari ini dan kita jadikan puasa kita di musim semi, sehingga menjadi 50 hari. (Al-Qurtubi, 2/274)

Kedua : Puasa Asyura dan 3 Hari Sebulan

Pendapat kedua mengatakan bahwa umat terdahulu maksudnya adalah Yahudi, dimana mereka tidak puasa Ramadhan melainkan puasa Asyura. Sehingga surat Al-Baqarah ayat 183-184 ini merupakan perintah untuk mengerjakan puasa Asyura dan puasa 3 hari dalam sebulan. Hal itu dikuatkan dengan hadits berikut ini :

Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: ketika Rasulullah SAW tiba di kota Madinah dan melihat orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum assyuraa, beliau pun bertanya, “apa ini?”. Mereka menjawab: “Ini hari baik, hari di mana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka lalu Musa shaum pada hari itu. Maka Rasulullah SAW menjawab: Aku lebih berhak terhadap Musa dari kalian, maka beliau shaum pada hari itu dan memerintahkan untuk melaksanakan shaum tersebut. (HR Bukhari)

Masih Puasa di Malam Hari

Kalau kita pakai versi pertama bahwa orang yahudi dianggap sudah berpuasa Ramadhan, maka sesungguhnya puasa Ramadhan mereka itu masih belum disempurnakan. Sebab puasanya bukan hanya siang hari, tetapi juga malam hari juga wajib berpuasa.

As-Suddi, Abul ‘Aliyah dan Ar-Rabi’ menyebutkan bahwa orang terdahulu punya tata cara puasa yang unik, yaitu tidak boleh makan, minum dan berjima’ bukan hanya pada siang tetapi juga malam hari, yaitu begitu bangun dari tidur meski masih malam hari sudah wajib puasa lagi. Maka di awal pensyariatan para shahabat masih mengalami tata cara puasa yang aneh dan berat ini. (Al-Qurtubi, 2/275)

Begitu Tertidur Wajib Segera Puasa

Batasannya adalah waktu Maghrib untuk berbuka puasa. Tetapi begitu waktu maghrib terlewat dan masuk waktu Isya atau sudah tifur dan biasanya mereka tidur di awal malam, langsung sudah wajib puasa lagi. Meski masih malam tapi mereka sudah diwajibkan puasa.

Ibnu Katsir menceritakan bahwa seorang shahabat bernama Qais bin (Abu) Shirmah Al-Anshari setelah seharian bekerja di ladangnya, pada sore menjelang Maghrib dia pulang untuk berbuka puasa. Namun istrinya belum menyiapkan hidangan berbuka. Sambil menunggu istrinya mencari hidangan berbuka, Qais pun tertidur pulas. Ketika istrinya pulang mendapati suaminya tertidur, maka otomatis makanan yang dibawanya sudah tidak boleh lagi dimakan, karena sudah wajib puasa lagi begitu tertidur.7

Keesokan harinya nampak kelemahan di wajah Qais, lalu diceritakan kasusnya kepada Nabi SAW, sehingga turunlah ayat :

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu (QS. Al-Baqarah : 187)

Umar Melanggar Larangan Jima’ Malam Hari

Ibnu Abbas menceritakan bahwa menceritakan bahwa pada awalnya puasa Ramadhan itu sudah dimulai sejak selesai shalat Isya. Tidak boleh makan, minum dan berjima’. Puasa semacam ini tentu sangat berat, sehingga ada shahabat yang ‘melanggar’ ketentuan puasa malam hari, salah satunya adalah Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu. Maka mereka mengadu kepada Rasulullah SAW dan kemudian turunlah ayat berikut :

Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (QS. Al-Baqarah : 187)

Perubahan Batas Mulai Puasa

Sejak saat itu kemudian puasa sudah mulai ditetapkan batasnya sejak terbitnya fajar dan bukan lagi selepas shalat ‘Isya. Dan pada malam hari dibolehkan makan, minum dan berjima’ dengan istri.

Sumber:
Ahmad Sarwat, Lc. MA., Sejarah Puasa, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2021.

Baca Juga: