Menu Tutup

Pentingnya Fiqih Musafir

[otw_shortcode_dropcap label=”A” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]da beberapa penyebab mengapa kita perlu membahas fiqih musafir, antara lain :

Pertama : sekarang kita sedang berada di masa liburan, dimana banyak di antara kita bahkan mungkin malah kita sendiri yang memanfaatkan liburan ini dengan menjadi musafir. Oleh karena itu tentu bekal secara konsep fiqih harus kita perdalam dan kita lengkapi biar tidak keliru dalam menjalaninya.

Kedua : safar itu punya keunikan dari sisi hukum, yaitu menjadi salah satu ‘illat yang meringankan beberapa taklif seperti dalam masalah thaharah, shalat, puasa dan lainnya. Namun tidak seperti ‘illat-‘illat lainnya, ternyata safar ini karatkternya berubah seiring dengan perubahan zaman.

Di masa lalu, safar dilakukan dengan susah payah, berjalan kaki atau naik unta menembus pekatnya lautan pasir tak bertepi. Ada begitu banyak resiko dan bahaya yang selalu mengintai para musafir.

Mereka bisa saja dirampok oleh para pencoleng di tengah padang pasir. Harta benda mereka dirampas lalu mereka dibunuh. Kadang bisa lebih menyakitkan, yaitu tidak dibunuh melainkan dijadikan budak dan dijual dengan harga yang murah, seperti yang pernah dialami oleh Nabi Yusuf alaihissalam.

Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: “Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!” Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. Yusuf : 19)

Kalau tidak mati di tangan mansia jahat, di padang pasir liar masih ada lagi makhluk jahat yang mengintai, yaitu hewan buas. Mereka juga bisa saja diterkam binatang buas, atau diganggu oleh jin penghuni padang pasir.

Dan bisa juga para musafir ini di masa lalu mati di padang pasir akibat terkena serangan badai gurun pasir. Kalau pun mereka bisa selamat, belum tentu mereka kenal arah tujuan perjalanan, lalu mereka pun tersesat di padang pasir, seperti yang terjadi pada bangsa Israel tatkala mereka menuju pulang ke negeri leluhur, Tanah Kan’an.

Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu”. (QS. Al-Maidah : 26

Intinya menjadi musafir di masa lalu bukan hal yang mudah. Sehingga wajar ketika Rasulullah SAW pun menyebut bahwa safar itu bagian dari adzab.

Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Maka masuk akal ketika syariat Islam turun dengan memberikan berbagai keringanan bagi musafir, sebagaimana diberikan keringanan itu bagi orang sakit, wanita, anak-anak, orang gila, orang lupa, dan seterusnya.

Namun yang menarik untuk dibahas ternyata zaman berubah dan safar di hari ini sudah mengalami merubahan total. Yang dulunya safar itu bagian dari adzab dengan segala resiko hingga kematian, hari ini umumnya safar yang kita lakukan sangat aman dari semua resiko itu. Memang tetap ada saja kecelakaan dalam perjalanan, namun secara statistik safar di hari ini justru sangat aman. aman tanpa resiko yang berarti, hukum safar sebagai salah satu ‘illat yang meringankan beberapa ibadah tetap masih berlaku.

Awalnya dijadikan safar sebagai ‘illat karena adanya masyaqaah. Namun ternyata para ulama sepakat bahwa ‘illatnya berpindah dari masyaqqah kepada safarnya itu sendiri. Jadi kita sebagai musafir hari ini tetap mendapatkan keringanan, meski perjalanan yang kita lakukan sangat ringan nyaris tanpa resiko.

Disini kajian tentang fiqih safar menjadi unik dan istimewa, yaitu merupakan bagian dari keistimewaan syariat Islam dan segala kemudahannya.

Sumber:

Ahmad Sarwat, Lc,.MA., Fiqih Musafir, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.

 

Baca Juga: