Sejarah dan Penyebab Terjadinya Perang Salib
Perang salib terjadi selama kurang lebih dua abad. Peristiwa ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap orang Islam, yang kemudian meletusnya Perang Salib ini. Kebencian ini bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan Dinasti Fathimiyyah yang berkedudukan di Mesir. Hingga akhirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh Dinasti Seljuk bagi umat Kristiani yang hendak berziarah kesana dirasakan sangat memberatkan dan menyulitkan. Perang ini juga merupakan kumpulan gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani, yakni pada periode 1096-1291.[1]
Perang salib (1096-1291) terjadi sebagai reaksi dunia kristen di Eropa terhadap dunia Islam di Asia yang sejak 632 M, dianggap sebagai pihak “penyerang”, bukan saja di Siria dan Asia Kecil, tetapi juga di spanyol dan sisilia disebut Perang Salib, karena ekspedisi militer kristen mempergunakan salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitulmakdis (Yerusalem) dari tangan orang-orang Islam.
Penyebab langsung terjadinya Perang Salib adalah permintaan Kaisar Alexius Connenus pada tahun 1095 kepada Paus Urbanus II. Kaisar dari Bizantium meminta bantuan dari Romawi karena daerah-daerahyang tersebar sampai ke pesisir Laut Marmora “dibinasakan” oleh Bani Saljuk.
Penyebab lain Perang Salib adalah faktor sosial ekonomi. Perang Salib bagiorang-orang kristen juga merupakan jaminan untuk masuk surga sebab mati dalam Perang Salib, menurut mereka adalah mati sebagai pahlawan agama dan langsung masuk surga walaupun mempunyai dosa-dosa pada masa lalunya.
Periodisasi Perang Salib
Philip K. Hitti menyederhanakan periodisasi perang salib dalam tiga periode :
- Masa penaklukan (1009-1144)
- Masa timbulnya reaksi umat islam (1144-1192)
- Masa perang saudara kecil-kecilan yang berakhir sampai 1291 M.
Periode pertama disebut periode penaklukan. Jalinan kerja sama Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitkan semangat umat Kristen. Pidato tersebut membuat orang-orang kristen mendapat suntikan untuk mengunjungi kuburan suci. Hasan Ibrahim menggambarkan gerakan ini sebagai gerombolan rakyat jelata yang tidak memiliki pengalaman perang, tidak disiplin dan tanpa persiapan. Gerakan ini dipimpin oleh Pieera I’ermite.
Pasukan salib berikutnya dipimpin oleh Godfrey of Bouillon. Mereka berhasil menduduki kota suci Palestina (Yerussalem) pada 7 juli 1099. Sebelum menduduki Baitulmakdis, pasukan ini terlebih dahulu merebut Anatalia Selatan, Tarsus, Antiolia, Allepo, dan Ar-Ruba’(Edessa), juga merebut Tripoli, Syam (Suriah), dan Arce.
Periode kedua, disebut periode reaksi umat islam . Jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan islam ketangan kaum salib membangkitkan kaum muslimin menghimpun kekuatan untuk menghadapi mereka. Dibawah komando Imaduddin Zangi, Gubernur Mosul, kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan salib. Bahkan, mereka berhasil merebut kembali Allepo Edessa.
Setelah Imadudin Zangi wafat tahun 1146, posisinya digantikan oleh putranya, Naruddin Zangi. Ia meneruskan cita-cita ayahnya yang ingin membebaskan negara-negara islam ditimur dari cengkraman kaum salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskan antara lain Damaskus (1147), Antiolia (1149), dan Mesir (1169).
Kemenangan kaum muslimin ini, terutama setelah munculnya Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitulmakdis pada 2oktober 1187. Ekspedisi ini dipimpin oleh raja-raja besar Eropa, seperti Frederick I, Richard I, dan Philip II.
Frederick yang memimpin divisi darat tewas ketika menyeberangi sungai Armenia, dekat kota Ruba’. Dua divisi lainnya yang menempuh jalur laut bertemu di Sisilia. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Suriah (Syam).
Dalam keadaan demikian pihak Richard dan pihak Saladin sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan membuat perjanjian. Inti perjanjian damai itu adalah daerah pedalaman akan menjadi milik kaum muslimin dan umat kristen yang akan berziarah ke Baitulmakdis akan terjamin keamanannya. Adapun daerah pesisir utara, arce, dan jaita berada dibawah kekuasaan tentara salib.
Periode ketiga lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan (periode kehancuran) didalam pasukan salib. Ini disebabkan oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat materialistik daripada motivasi agama. Dalam periode ini muncul pahlawan wanita dari kalangan kaum muslimin yang terkenal gagah berani, yaitu Syajar Ad-Durr. Ia berhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari Prancis sekaligus menangkap raja tersebut.
Akibat Perang Salib
Perang Salib menimbulkan beberapa akibat penting dalam sejarah dunia. Perang Salib membawa Eropa ke dalam kontak langsung dengan dunia muslim dan terjadinya hubunngan antara timur dan barat.
Keuntungan Perang Salib bagi Eropa adalah menambah lapangan perdagangan, mempelajari kesenian dan penemuan penting seperti kompas pelaut, kincir angin dan sebagian dari orang islam mereka juga dapat mengetahui cara bertani yang maju dan mempelajari kehidupan industri timur yang lebih berkembang. Orang barat mulai menyadari kebutuhan akan barang-barang timur dan karena kepentingan ini perdagangan antara menjadi lebih berkembang.[2]
Kondisi Pasca Perang Salib
Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Orthodox Timur. Kekerasan terhadap Kristen Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, Perang Salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 M dan sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme pada Perang Salib Albigensian, ide perang Salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran lembaga kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa. Orde ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Knights Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798 M.
Peninggalan dari Perang Salib
Diantara beberapa peninggalan dari hasil pertempuran ini adalah :
- Politik dan Budaya
Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan Pada masa itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14, perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib. Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa Perang Salib. Pengalaman militer Perang Salib juga memiliki pengaruh di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia. Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur atau barat.
Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
- Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesin, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan banyak lagi. Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium. Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204 M, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada tahun 1453 M.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang kedua adalah mencoba menyelamatkan kekristenan.
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara bangsa Frank dengan Tentara Salib meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai perang salib. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan tentang Perang Salib. Menurut ahli sejarah, Peter Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung menarik diri. Ilustrasi dalam Injil Perancis dari tahun 1250 M yang menggambarkan pembantaian orang Yahudi (dikenali dari topinya yakni Judenhut) oleh tentara Salib.Terjadi kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit. Meski tidak ada satu Perang Salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Kebencian kepada bangsa Yahudi meningkat. Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan.
- Pegunungan Kaukasus
Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara Salib. Di pegunungan Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara Salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan sebagian budaya Perang Salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografiRusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan, bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun 1935 M.[3]
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam (Dirasah Islamiah II), (Jakarta: PT Raja Grafinda Persada, 2008). h. 76.
[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), h. 171-175.
[3] Maslani dan Ratu Suntiah, Sejarah Peradapan Islam, (Bandung: CV. Insan Mandiri, 2010). h. 137-138.