Menu Tutup

Perbedaan Asuransi Syariah dengan Konvensional

Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal, yaitu:

Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Dimana nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).

Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudhârabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.

Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaanlah yang memiliki  otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.

Bila ada peserta yang terkena musibah, untuk pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru’ (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.

Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.

Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.

Loading[1] pada asuransi kovensional cukup besar terutama untuk komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua (yang mengakibatkan terjadinya hangus) sedangkan pada asuransi syariah komisi agen tidak dibebankan kepada peserta tapi dana pemegang saham, sekalipun dari peserta diambil hanya 2-30% saja sehingga tiada ada hangus.

Unsur premi pada asuransi konvensional menggunakan tabel mortality, bunga dan biaya-biaya asuransi. Sedangkan asuransi syariah menggunakan iuran atau kontribusi dari unsur tabarru’dan tabungan. Tabarru’ dihitung dari tabel mortality tanpa hitungan bunga.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa letak perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional  adalah bagaimana resiko itu dikelola dan ditanggung.

Dalam pengelolaan dan penanggung resiko, asurasni syaraiah tidak memperbolehkan adanya gharar dan maisir, Dalam investasi atau manajemen dana tidak diperkenankan adanya riba. Ketiga larangan ini, gharar, maisir dan riba adalah area yang harus dihindari dalam praktik asuransi syariah dan yang menjadi pembeda utama dengan asuransi konvensional.

Dana Tabarru’ Pada Asuransi Syariah

Dana tabarru’ dari kata dana dan tabarru’. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata dana adalah uang yang disediakan atau sengaja dikumpulkan untuk suatu maksud, derma, sedekah, pemberian dan hadiah.

Sedangkan tabarru’ merupakan semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong. Berasal dari kata تبََرَّعَ – يتَبََرَّعُ – تبََرُّعًا (tabarra’a-yatabarra’u-tabarru’an) yang berarti sumbangan, hibah, dana kebajikan atau derma. Orang-orang yang berderma disebut مُتبََ رِّ  ع (mutabarri’) atau dermawan, sementara orang yang berhak menerima dana tabarru’ disebut مُتبََرَّع لَه (mutabarra’ lahu).

Tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas utnuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi syariah, ketika di antara mereka ada yang mendapat musibah.

Menurut  fatwa DSN MUI  No. 53/DSN- MUI/III/2006 tentang akad tabarru’, pada asuransi dan reasuransi syariah, bahwa akad tabarru’ pada asuransi syariah dan reasuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong antara peserta, bukan tujuan komersial.

Dalam akad tabarru’ pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah bukan manusia.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa dana tabarru’ dalam asuransi syariah adalah  dana kebajikan yang diberikan oleh semua peserta dengan niat untuk saling tolong-menolong jika peserta lain mendapat musibah. Dan dana tabarru’ adalah dana yang disediakan untuk kebaikan berupa pembayaran klaim kepada orang yang ditunjuk sesuai kesepakatan di awal polis atau dengan kata lain ahli waris jika di antara peserta ada yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah lainnya.

Dalam dana tabarru’ tidak mengandung unsur tabungan atau no saving. Karena tujuan dari akad tabarru’murni utnuk tolong-menolong, maka dana ini tidak bisa dirubah menjadi dana tijârah.

Dana tabarru’ tidak bisa digunakan untuk biaya operasional perusahaan atau bahkan diklaim sebagai keuntungan perusahan. karena dana tabarru’  boleh digunaan untuk membantu siapa saja yang mendapat musibah. Tetap dalam bisnis asurasi syariah, karena melalui akad khusus, maka kemanfaatannya hanya terbatas pada peserta asuransi syariah saja.

Dengan kata lain, kumpulan dana tabarru’ hanya dapat digunakan untuk kepentingan para peserta yang mendapat musibah. Sekiranya dana tabarru’ tersebut digunakan untuk kepentingan lain ini berarti melanggar syarat akad.

Secara kolektif, peserta merupakan penanggung. Setiap peserta memberikan dana tabarru’ kemudian dikumpulkan menjadi satu akun yang terpisah dari dana-dana lain yang terdapat pada asuransi syariah.

Dari dana tabarru’ yang dikumpulkan setiap peserta asuransi syariah dapat menunjukkan bahwa setiap peserta merupakan penanggung dari peserta lain yang terkena musibah. Bentuk pertanggungannya adalah dengan memberikan dana tabarru’ yang berfungsi untuk membantu peserta lain.

Dana tabarru’ yang telah terkumpul dikelola oleh perusahaan atas dasar wakalah. Perusahaan menginvestasikan kumpulan dana tabarru’ tersebut agar dana tabarru’ lebih produktif.

Meskipun tabarru’ merupakan suatu transaksi nirlaba (non-profit), perusahaan pengelola merupakan lembaga profesional yang profit oriented sehingga dana tabarru’ diinvestasikan dan keuntungannya dapat dibagi antara perusahan dan peserta.

Namun, hasil investasi dana tabarru’ tersebut sebenarnya murni hak peserta, sementara perusahan asuransi dapat memperoleh bagi hasil dari dana investarsi dana tabarru’ melalui akad mudhârabah atau akad mudhârabah musyârakah.

Perusahaan juga bisa mendapatkan keuntungan dengan akad lain. yaitu wakalah bi al-ujrah yang mana perusahaan asuransi sebagai pengelola bisa mendapatkan ujrah atau fee melalui akad tersebut.

Dari hasil investasi kumpulan dana tabarru’ bisa lebih menguntungkan karena akan membuat dana tabarru’ ada pada posisi surplus underwriting. Menurut fatwa DSN, jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif, yaitu:

  • Diperlakukan seluruhnya sebagai cadangan dalam akun tabarru’
  • Disimpan sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagai lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria atau manajemen resiko
  • Disimpan sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh peserta lain.

Salah satu alternatif di atas dapat dipilih oleh para pihak, namun hal ini harus sesuai kesepakatan pada awal perjanjian. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam isi perjanjian antara peserta dengan pengelola asuransi syariah.

Namun, dalam akun tabarru’ tidak selalu terjadi surplus underwriting, bisa jadi akun tersebut mengalami defisit underwriting sering kali terjadi ketika banyaknya pengajuan klaim, sementara cadangan tabarru’ dalam akun jumlahnya sedikit. Fatwa DSN mengenai tabarru’ mengatur defisit underwriting pada bagian keenam.

Menurut peraturan tersebut, apabila terjadi underwriting atas dana tabarru’ (defisit), maka perusahaan wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk qardh. Pengemblian qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa dengan adanya akad tabarru’ ini yang menjadi pembeda dengan asuransi konvensional. Dana yang diperuntukkan untuk kebajikan terhadap sesama peserta digunakan ketika peserta lain mengalami musibah melalui pembayaran klaim dari dana tabarru’. D ana tabarru’ telah diatur oleh fatwa DSN MUI No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang akad tabarru’ yang didalamnya memcangkup tentang dana tabarru’ yang mengalami surplus underwriting dan defisit underwriting.

Adapun jika terjadi perselisihan pada para pihak, langkah awal yang harus dtempuh dalam menyelesaikan adalah melalui musyawarah. Badan Arbitrase Nasional menjadi alternatif penyelesaian sengketa terakhir setelah tidak ditemukan kesepakatan pada tahap musyawarah.

[1] Loading adalah kontribusi biaya yang diberikan kepada peserta, yang pada asuransi konvensional diambil dari premi tahun pertama dan kedua. Biaya tersebut dimasukkan ke dalam unsur premi yang terdiri atas: Biaya penutupan asuransi, biaya pemeliharaan, biaya lain-lain. Loading pada asuransi syariah adalah kontribusi biaya yang diambil dari sebagian kecil kontribusi peserta sebesar 20-30% pada premi tahun pertama, biaya tersebut terutama untuk komisi agen dan biaya penangguhan. Lihat Abdullah Amrin, Asuransi Syariah Keberadaan dan Kelebihannya di Tengah Asuransi Konvensional, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), h. 78-79

Sumber: Muhammad Ajib, Asuransi Syariah, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

Baca Juga: