Menu Tutup

Perbedaan pendekatan terhadap politik Islam

Berikut adalah klasifikasi yang bisa diambil dari fenomena-fenomena politik Islam.

Pendekatan Muslim Konservatif

Pendekatan kebanyakan umat Islam biasanya menekankan pada kewajiban untuk kembali pada versi Islam yang belum ternoda untuk menghadapi permasalahan politik hari ini. Secara tipikal, mereka mengeluhkan fakta bahwa dunia telah dekaden, di mana manusia telah diperbudak oleh kediktatoran, teknologi, dan seks, dan disertai oleh ketundukkan negara-negara kepada ideologi-ideologi asing dan kekuatan superpower. Para penguasa politik sudah tidak lagi melindungi kehidupan, kepemilikan dan martabat warga negaranya. Mereka telah menjadi “para koruptor”, yang menjadi budak kekuasaan. Mereka bahkan telah pula memanipulasi sentimen agama untuk melegitimasi kekuasaan mereka.

Apa yang didengungkan untuk mengobatinya adalah bahwa kebebasan mereka terletak pada agama: “pembebasan dari tirani mereka terletak pada mengatributkan semua otoritas pada Tuhan”. Mereka harus juga memahami bahwa Islam adalah agama terbaik; agama yang menyelamatkan secara imanen sekaligus secara transenden, karena ia adalah agama yang praktis, yang membimbing masalah politik, sosial, ekonomi, dan internasional. Politik Islam akan terwujud jika Islam itu sendiri terwujud dan hal ini hanya akan terjadi dengan cara keimanan dan pengorbanan. Jika umat Islam hari ini mendapatkan kembali semangat umat Islam awal, mereka akan melakukan perubahan sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan oleh generasi Islam awal tadi.

Mereka yang berpendapat seperti ini mempunyai asumsi dasar tentang Islam, politik, dan masa depan. Pertama, mereka berasumsi bahwa Islam merupakan pemikiran yang terbaik dalam kerangka peradaban, sekaligus sebagai kekuatan yang utuh. Di sini mereka menghadapkan Islam dengan Barat secara diametral. Kedua, karena mereka menekankan adanya penyatuan agama (din) dan negara (daulah), mereka berasumsi bahwa tidak ada manfaatnya untuk melakukan pembatasan terhadap politik. Ketiga, mereka tidak begitu mempedulikan detail-detail masa depan -bahwa, bagaimana regenerasi politik dihubungkan dengan regenerasi Islam. Dengan demikian, diperlukan adanya “spiritualisasi” politik.

Pendekatan Muslim Progresif

Pendekatan konservatif di atas, jika diringkaskan adalah sebuah pendekatan yang membuat politik yang lebih religius (Islami). Selain pendekatan ini, terdapat pula pihak-pihak yang menyerukan agama untuk lebih bersifat politis. Pendekatan ini memusatkan pada pentingnya ideologisasi doktrin agama kepada tujuan-tujuan politik yang radikal. Pendekatan ini bianya memperlihatkan bahwa selama ini pemikiran keagamaan bersifat konservatif: bahwa Tuhan itu berada di atas kita dan jauh, kurang memperhatikan ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi pada manusia.

Dengan lebih memfokuskan pada transendensi Tuhan dan kepasifan-Nya, para ulama telah membantu dan menyenangkan kelas feodal, yang bahagia jika kita semua berpikir bahwa kepasifan itu adalah sebuah hal yang alamiah. Maka adalah sangat penting bagi umat Islam untuk menjadikan agama sebuah ideologi yang menekankan imanensi daripada transendensi, dan melakukan gerakan linier, bukan hirarkis: “Semangat peradaban adalah semangat bangsa, semangat ketuhanan yang menyejarah.” Teologi dan agama secara umum perlu menyediakan “logika” bukan dalam kerangka kapitalisme seperti apa yang terjadi pada masa lalu, tetapi sosialisme revolusioner.

Kita dapat membandingkan asumsi pendekatan ini dengan pendekatan lain. Pertama, Islam di sini dilihat sebagai sebuah ideologi, program dan aktivitas kebenaran, yang dapat membangkitkan umat Islam dengan gairah komitmennya untuk keadilan sosial dan kejelasan tantangannya pada status quo. Kedua, politik bukanlah hanya bagian tertentu dari Islam, tetapi ia adalah sebab utamanya (raison d’etre). Di sini nampak bahwa Islam diperlukan baik oleh para penguasa yang menggunakannya sebagai opium bagi rakyat, atau oleh mereka yang menyerukan “perjuangan kaum tertindas”.

Ketiga, dalam hubungannya dengan masa depan, penegasan kembali atau penafsiran kembali keimanan itu tidaklah cukup, walaupun sangat penting. Dalam bentuknya yang terakhir, yaitu fundamentalisme (sebut saja begitu), Islam dipandang tidak lagi hanya sebagai “mesianisme murni”: “Umat Islam sedang menunggu perubahan radikal” dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan kewargaan mereka, dan kelompok-kelompok Islam harus memenuhi harapan masyarakat dan memimpin revolusi. Demikian, misalnya pendapat Ali Syari’ati. Ringkasnya, pendekatan ini memandang bahwa Islam harus dipolitisasikan. Cara pandang seperti ini telah begitu banyak percabangannya.

Pandangan ini melihat agama telah dilemahkan dalam kehidupan publik. Dengan demikian, diperlukan adanya emansipasi agama. Pandangan ini menjelaskan alasan kemunculan kelompok-kelompok seperti Ikhwanul Muslimin sebagai akibat dari adanya penjualan besar-besaran dari kaum feodal dan nasionalis borjuis kepada para imperialis. Inilah yang menimbulkan reaksi terutama di kalangan kelas bawah kota dan para mahasiswa. Tetapi tidak berakhir di situ saja, dan tentu saja terlihat bahwa masa depan “materialisme dan nasionalisme” akan menggantikan “idealisme dan metafisika”.

Garis historis betul-betul menakjubkan: Islam nampaknya akan dipaksa untuk tidak diberi ruang. Inilah dampak dari analisis Francis Fukuyama bahwa ideologi sudah berakhir (the end of ideology). Yang lain lebih mendukung ide pemisahan agama dari politik, tetapi dapat dibedakan menjadi dua jalan. Mereka tidak merujuk pada kualitas-kualitas yang buruk dari agama. Mereka lebih menunjuk pada kualitas-kualitas sejarah Islam sendiri yang tidak menguntungkan. Kemudian, mereka tidak membicarakan pemisahan itu secara positif, tetapi lebih bersifat saran atau keinginan saja.

Sebagian, misalnya, menemukan dalam politik Arab sebuah aliansi yang tidak suci antara kekuatan politik reaksioner dengan otoritas religius reaksioner. Memang tidak sepenuhnya begitu, tetapi energi original Islam yang diturunkan menjadi “Islam rakyat” lebih populer. Islam seperti ini membuat adanya penyatuan agama dan negara lebih berbahaya karena ia mengizinkan ulama atau otoritas keagamaan menjadi kelas keturunan yang mengklaim monopoli pengetahuan dan mendapatkan pendapatan dari wakaf. Demikian pula, nilai-nilai yang mereka sampaikan, seperti ketundukan pada Allah dan takdir, hanya membuat fatalisme. Hasilnya adalah bahwa agama dan negara tidak dapat dipersatukan.

Walaupun banyak varian-nya, para pendukung pemisahan agama dan negara itu mempunyai asumsi-asumsi yang sama. Pertama, mereka tidak berpikir bahwa Islam itu sebuah peradaban atau ideologi, seperti dalam dua pendekatan lain, tetapi sebagai masalah yang sulit dan perlu diselesaikan. Kedua, mereka melihat politik sebagai wilayah utama aktivitas, di mana setiap hal yang penting dapat diputuskan; yang dalam hal ini terdapat kesamaan dengan mereka yang ingin mempolitisasikan Islam. Ketiga, sementara “para politisi” mengajukan masa depan yang religius dalam cara yang revitalistik, kelompok “para pemisah” ini berbeda, karena mereka melihat abad modern secara esensial itu sekular dan dengan demikian merekomendasikan pemisahan agama dan politik. Ciri khas pandangan kaum sekular.

Pendekatan Ilmu Sosial

Para ilmuwan sosial juga mempunyai variasi cara pandang terhadap politik Islam secara tersendiri. Kebanyakannya mereka berasumsi bahwa pemisahan Islam dan politik itu memang diinginkan. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan setuju pada pandangan bahwa Islam itu stagnan, rigid, atau merupakan suatu masalah; bahwa politik merupakan pusat utama aktivitas, dan bahwa masa depan modernisasi berdasarkan pada pembentukan tatanan sekular. Tetapi yang lain menganggap masalah ini secara berbeda.

Satu kelompok, misalnya, berpikir bahwa politik di negara-negara berkembang itu dipengaruhi lebih oleh identifikasi keluarga, etnis, dan pasar daripada oleh kebijakan birokratis dan pembangunan institusi. Bertentangan dengan Barat, sumber-sumber otoritas formal di negara-negara ini sangat jarang menjadi satu-satunya sumber loyalitas dan kekuasaan yang efektif. Di negara-negara mayoritas Muslim, otoritas dan tradisi Islam seringkali tidak proporsional pada peran sosial yang diakui secara resmi; mereka lebih sering menerjemahkan politik dalam artian informal. Walaupun terdapat persaingan dan keseimbangan kekuasaan yang tetap di kelas ulama yang membuat pemerintah mudah untuk mengeksploitasinya, sementara para ulama itu menyerah pada pemerintah, mereka tetap mempunyai pengikut setia di masyarakat.

Bersamaan dengan itu, yang lain menyatakan bahwa informalitas politik Islam tidak begitu banyak bermanfaat. Argumennya di sini adalah bahwa politik di negara-negara Islam tertinggal dalam perkembangan institusional karena Islam kekurangan dalam mengorganisasikan keulamaan. Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi. Salah satunya adalah bahwa sejarah Islam tidak begitu memerlukan adanya Pembaharuan. Karena tidak ada gerakan yang meruntuhkan kekuasaan ulama. Konsekuensi kedua adalah bahwa ulama tidak pernah secara riil membentuk suatu kekuasaan yang mantap. Ulama selalu dalam keadaan diam terhadap status quo. Betapapun banyak perbedaannya, mereka yang berpandangan politik informal biasanya sama dalam memandang Islam, politik, dan masa depan.

Pertama, Islam dalam pandangan ini dipandang sebagai sebuah ideologi, suatu keimanan yang mungkin mempengaruhi perilaku tetapi menyediakan kesempatan kecil untuk tindakan independen. Islam lebih bersifat “variabel dependen” yang manuvernya dialamatkan pada konteks politik -pandangan yang berbeda dari mereka yang bersifat “politis”.

Kedua, hampir sama dengan pendekatan politik informal, pendekatan utilitarian ini menyatakan bahwa politik merupakan jaringan perhubungan sosial yang kaya yang berdasarkan pada umur, keluarga, posisi resmi, dan pengetahuan; dengan demikian pemikiran ini menunjukkan kehalusan politik itu sendiri. Hal ini dikatakan oleh seorang peneliti politik Indonesia antara 1948 hingga 1962, “Loyalitas tradisional menimbulkan struktur politik, dan proses politik modern hanyalah merupakan organisme temporer yang mengadaptasikan diri pada mekanisme sosial tradisional dalam budaya politik Sunda”.

Jika Islam merupakan variabel dependen, maka begitu pula politik. Ketiga, mengenai masalah masa depan, nampak bahwa, dengan majunya modernisasi, isi dan konfigurasi kekuatan sosial akan berubah. Ketika hal ini terjadi, akan terdapat juga perubahan-perubahan dalam menentukan siapa yang memegang kekuasaan dan bagaimana mereka menjalankannya, dan ini juga dalam konteks perubahan yang saling berhubungan bahwa kita dapat mengevaluasi pentingnya politik Islam secara khusus.

Demikianlah berbagai arus pemikiran terjadi pada diri umat Islam. Semua ini merupakan respons terhadap modernisasi yang begitu massif. Dan sebagai penutup, menarik apa yang diungkapkan oleh Natsir yang menyebutkan: bahwa aplikasi model politik Islam apapun bisa dipakai, termasuk demokrasi — selama jika dengan demokrasi ini bisa mendatangkan manfaat yang besar buat Islam dan umatnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an hari ini, politik Islam mestilah bisa ditampilkan dengan semangat Islam yang menzaman, cerdas, lugas dan berpihak pada upaya tegaknya nilai-nilai keadilan sosial yang kini makin jauh dari harapan umat. Dan syari’ah Islam mesti berupaya untuk mewujudkannya. Dan pada akhirnya setiap pemikiran politik Islam akan diuji oleh kontekstualisasi di mana pemikiran politik Islam itu hidup.

Baca Juga: