Penduduk Madinah di awal kedatangan Rasulullah terdiri dari tiga kelompok, yaitu bangsa Arab muslim, bangsa Arab non-muslim dan orang Yahudi. Untuk menyelaraskan hubungan antara tiga kelompok itu, Nabi mengadakan perjanjian dalam piagam yang disebut “Konstitusi Madinah”, yang isinya antara lain: Pertama, Semua kelompok yang menandatangani piagam merupakan suatu bangsa.
Kedua, Bila salah satu kelompok diserang musuh, maka kelompok lain wajib untuk membelanya.
Ketiga, Masing-masing kelompok tidak dibenarkan membuat perjanjian dalam bentuk apapun dengan orang Quraisy.
Keempat, Masing-masing kelompok bebas menjalankan ajaran agamanya tanpa campur tangan kelompok lain.
Kelima, Kewajiban penduduk Madinah, baik kaum Muslimin, non-Muslim, ataupun bangsa Yahudi, saling bantu membantu moril dan materiil.
Keenam, Nabi Muhammad adalah pemimpin seluruh penduduk Madinah dan dia menyelesaikan masalah yang timbul antar kelompok.[1]
Berdasarkan konstitusi di atas, dapat diketahui bahwa Nabi telah membentuk negara Islam di Madinah dan Rasulullah menjadi kepala pemerintahannya yang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan segala masalah yang timbul berdasarkan konsitusi.
Oleh karena itu di Madinah Nabi Muhammad mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul agama, tetapi juga sebagai kepala negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.[2]
Pesatmya perkembangan Islam di Madinah, mendorong pemimpin Quraisy Makkah dan musuh-musuh Islam lainnya meningkatkan permusuhan mereka terhadap Islam. Untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan gangguan dari musuh, Nabi sebagai kepala negara mengatur siasat dan membentuk pasukan perang.
Umat Islam pun pada tahun ke-2 Hijriah telah diizinkan berperang dengan dua alasan : (1) Untuk mempertahankan diri dan melindungi hak miliknya, dan (2) Menjaga keselamatan dalam penyebaran Islam dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalanginya.[3]
[1] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Rosda Bandung, 1988), h. 131-132.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya j.1 (Jakarta: UI Press, 1985), h. 101.
[3] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 28-29. Lihat juga, Ahmad Syalabi, op.cit., h. 153.